Perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) telah hampir satu abad. Sejak pertama kali didirikan pada Januari 1926, ormas NU telah menjelma menjadi kekuatan sipil yang memiliki pengaruh besar dalam kontek keindonesiaan. Berbagai bukti telah mengiringi perjalanan NU sebagai ormas yang memiliki kekuatan besar di negara ini baik dari aspek agama maupun politik. Sebut saja misalnya menjadi bagian dari kemerdekaan Indonesia, pernah juga menjadi partai politik (1952-1973), menyemaikan ideologi moderatisme Islam di Indonesia, dan masih banyak lagi.
Pada saat itu tantangan yang dihadapi oleh ulama awal abad 20 adalah penjajahan Belanda sehingga fokus gerakannya ditujukan untuk memerdekakan Indonesia. Siapa yang menyangka bahwa di satu abad ini tantangannya berubah. Meningkatnya polarisasi keagamaan sejak awal abad 21 adalah bagian dari persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Tren persoalan ini setidaknya akan menjadi salah satu isu untuk beberapa tahun ke depan.
Persoalan lainnya adalah perkembangan media sosial yang semakin meningkat membuat perang wacana di media sosial tak bisa dihindarkan. Ini berakibat pada meningkatnya ujaran kebencian dan intoleransi yang bisa saja dilakukan oleh anggota maupun partisipan NU itu sendiri. Di era disrupsi seperti ini, orang-orang dapat mencari apa saja yang mereka inginkan. Bertindak intoleran adalah bagian tak terpisahkan dari era disrupsi ini. Meski demikian, perkembangan media sosial juga dapat menjadi wadah baru ajaran mentransmisikan ajaran aswaja NU, seperti program pengajian online, digitalisasi naskah atau kitab kuning, dan lainnya.
Dari aspek ekonomi, warga nahdliyin mengalami kelemahan disebabkan oleh pandemi yang telah berlangsung sejak awal tahun 2020. Di sini warga nahdliyin banyak yang dirugikan terutama bagi mereka yang hanya mengandalkan kerja harian, serabutan, pedagang kaki lima, petani, dan juga pekerja lapangan lainnya harus menerima imbas ini.
Problem semakin tambah ketika dalam kepengurusan baik di tingkat lokal maunpun nasional tidak satu suara. Penelitian dari Alexander R. Arifanto yang dimuat dalam Jurnal Al Jamiah (2017) menunjukkan logika kotradiksi dari NU terkait dengan persoalan sikap pluralnya. Di satu sisi, NU mendesiminasikan wacara toleransi dan kerukunan dalam skala nasional, namun di sisi lain sikap dan tindakan intoleran yang ditunjukkan oleh elit NU di akar rumput. Arifanto mencontohkan sikap atas keberadaan Syiah maupun Ahmadiyah di wilayah lokal.
Akan sangat ironi jika sikap kontradiski NU tersebut menjadi konsumsi publik. Sebab hal itu bisa mengurangi reputasi NU sebagai bagian dari pengawal toleransi dan pluralitas bangsa ini. Bagi orang yang nyinyir terhadap NU akan merasa puas karena melihat NU tidak solid.
Berbagai persoalan di atas harus menjadi perhatian serius di jajaran kepengurusan. Apalagi pada bulan ini NU mengadakan hajat besar, Muktamar, yang didalamnya merumuskan gerak lima tahun ke depannya seperti apa, serta merumuskan bahan untuk menyambut satu abad NU. Persoalan-persoalan tersebut tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Ketika sebuah lembaga besar seperti NU salah dalam mengambil kebijakan di tengah konflik dan/atau krisis, maka lembaga tersebut akan mengalami pelemahan.
Penulis sendiri percaya bahwa NU bisa menyelesaikan persoalan seperti itu dan menyiapkan untuk menyambut satu abadnya. Ini dikarenakan secara SDMnya mumpuni dan banyak kalangan intelektual-intelektual muda NU yang beragam. mulai dari lulusan pesantren, lulusan pesantren plus perguruan tinggi, dan lulusan pesantren dengan melanjutkan kuliah di luar negeri. Dengan catatan, kepengurusan dalam internal NU harus kuat, transparan, dan meminimalisir intrik politik dalam setiap pengambilan kebijakan.
NU perlu memberi ruang banyak kepada kiai-kiai dan intelektual NU muda untuk memberikan inovasi dan terobosan dalam penyelesaian problem-problem yang dihadapi NU. Ini merupakan bentuk kaderisasi dengan cara pelibatan langsung untuk mempersiapkan mereka sebagai penggerak penerus NU di satu abadnya ke depan. Oleh karena itu, pada momen Muktamar, kiai-kiai muda maupun intelektual-intelektual muda sudah sepantasnya, tidak hanya dikader, tapi juga dimintai pendapatnya dengan cara duduk bersama untuk mencari penyelesaian yang inovatif dan transformative.
Jangan sampai pada saat pemilihan nanti terjadi konflik seperti yang di Jombang. Meskipun ada, dan tidak menutup kemungkinan memang ada konflik, namun hal itu jangan sampai keluar ke publik. Jika dalam wilayah internal NU tidak bersatu, maka kekuatan di luar akan semakin lemah. Ketika Gus Dur menjabat pertama kali menjadi ketua PBNU, para anggota pengurus tidak bersatu. Akibatnya roda kepengurusan stagnan sehingga berdampak pada mandeknya program-program PBNU.
Tulisan ini sekedar refleksi dalam menyambut Muktamar sekaligus menjelang satu abad NU. Satu abad bukan umur yang muda lagi, namun satu abad perlu direfleksikan kembali tentang apa yang telah dilakukan sekaligus mempersiapkan apa yang harus dilakukan kedepannya. Perjuangan belum selesai, jadi euforianya cukup sebentar saja, selanjutnya memikirkan gerak NU kedepannya seperti apa.