Maghfur Munif Pecandu Kopi yang Hidup Nomaden, Arbitrer seperti Bahasa dan Suka Catur. Aktif Menulis di Berbagai Media

Kulit Putih dan Kerinduan Romantisme Sederhana Kaum Milenial [2]

1 min read

Di samping menggambarkan Aisyah dari segi mental dan fisik, lagu ini juga menggambarkan perilaku Aisyah yang bersikap romantis dengan Nabi. Romantisme yang dimaksud di sini adalah perasaan, pikiran dan tindakan spontanitas Aisyah di saat bersama Rasulullah. Romantisme, dalam karya sastra, mengutamakan imajinasi, emosi dan sentimen idealisme.

Dalam lirik lagu Aisyah, setidaknya terdapat 6 bentuk gambaran romantisme Aisyah dengan Baginda Nabi: “hingga Nabi minum di bekas bibirmu,” “bila marah, Nabi kan bermanja, mencubit hidungnya,” “dengan baginda kau pernah main lari-lari,” “selalu bersama hingga ujung nyawa, kau di samping Rasulullah,” “bukan persis novel mula benci jadi rindu,” dan “hingga lelah Nabi baring di jilbabmu, seketika kau pula bermanja, mengikat rambutnya.”

Saya pikir tidak perlu dijelaskan arti dan makna dari gambaran romantisme di atas. Yang perlu ditekankan di sini adalah lirik nomor 3 dan 4, karena itu merupakan reff dari lagu tersebut. Reff di sini, jika mengukuti teori new criticism, fungsinya bisa menjadi maksud atau tujuan dari keseluruhan teks (intension).

Pada lirik dengan baginda kau pernah main lari-lari, kita bisa membayangkan Baginda Nabi bermain kejar-kejaran dengan Aisyah, seperti anak kecil yang berlari-lari di tengah taman yang indah, hijau, penuh bunga. Bukankah frasa main lari-lari identik dengan permainan anak kecil? Dan anak kecil mengensankan ketulusan (No.5 dan No.6), kesederhaan (No.1), dan tidak ribet (No.2 dan No.6), tidak sok dewasa dan sok logis. Anak kecil hanya main lari-lari, tidak perlu uang, gawai, kamera, tiket liburan, dan rencana-wacana.

Sementara lirik selalu bersama hingga ujung nyawa, kau di samping Rasulullah mengesankan kesetian yang luar biasa dari Aisyah kepada Rasulullah. Tidak peduli dengan fisik, ekonomi atau masalah apapun, Aisyah selalu setia kepada Rasulullah. Hal ini sudah mulai jarang kita temukan dalam kehidupan kaum milenial, dimana ribuan kasus perceraian terjadi.

Baca Juga  WNI, Ramadan dan Penanggulangan Covid-19 di Riyadh

Coba kita bandingkan dengan bentuk romantisme kaum kiwari: kenalan melalui aplikasi daring, kencan daring, media sosial, dan berburu foto di tempat instagramable. Sebentuk romantisme yang kaku, ketat dan minim komitmen. Pada intinya, rumit sekali menjalin hubungan di era kiwari, ketika grafik dan angka perceraian terus meningkat. Atau malah menjadi trend?

Meski demikian, di tengah pandemi virus korona, lagu ini bisa memuaskan kerinduan masyarakat kiwari untuk menghadirkan romantisme yang sederhana dalam percintaan mereka yang lenyap ditelan modernitas. Masyarakat kiwari seolah muak dengan romantisme yang mereka bangun sendiri dalam pikiran mereka sendiri: bahwa romantisme adalah mengajak pasangan nonton bioskop bukannya main lari-lari; bahwa romantisme adalah liburan ke luar negeri untuk melepas penat bukan berbaring di jilbab, bermanja dan mengikat rambut.

Terlepas dari perdebatan mana yang lebih baik atau mana yang lebih romantis antara Khadijah dan Aisyah, antara mereka berdua dengan Hafsah, atau dengan istri-istri Nabi yang lain, lagu Aisyah ini menyiratkan dua hal. Pertama, membenarkan konstruksi sosial bahwa perempuan cantik itu berkulit putih atau terang. Kedua, lagu ini menjadi obat rindu kaum kiwari akan romantisme ideal ala Aisyah-Nabi yang tidak ribet, tidak mahal, dan tanpa pencitraan. Lagu Aisyah membuktikan kepada kita, bahwa musik juga bisa memiliki peran di tengah mewabahnya virus korona ini. Musik bisa menghibur dan menyenangkan kita dengan caranya yang magis. [AS]

Maghfur Munif Pecandu Kopi yang Hidup Nomaden, Arbitrer seperti Bahasa dan Suka Catur. Aktif Menulis di Berbagai Media

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *