Syafiq Hasyim Alumnus S3 Freie Universitat Berlin, Jerman

Titik Temu Sunni-Syiah dalam Syair Tolak Balak, Li Khamsatun [2]

3 min read

Dalam kitab Said Nursi ini, Diya’uddin Ahmad bin Mustofa bin Abdurrahman (w. 1311 H) ini disebut dengan al-Kamuusyakhanawi saja, ada huruf wāwu–tulisan yang benar al-Kamsyakhanawi, tidak ada wawu. Kitab yang merupakan kumpulan hizib Tarekat al-Syadziliyyah, pendirinya Qutb Abi Hasan al-Syadzili ini, dikaitkan dengan alasan keberlangsungan sanad syair di atas tidak dijamin sepenuhnya.

Kitab Majmū‘at edisi al-Kamusyakhanawi yang berjuz dan berhalaman lebih dari 500 yang dikutip di dalam al-Mulāhiq karya Said Nursi berbeda edisinya dengan edisi Majmū‘at al-Ahzāb cetakan Book Publisher, Lebanon, yang jumlah halamannya 448.

Memang syair ini ada dalam kitab Majmū‘at al-Ahzāb Tarīqat al-Shādhilīyah, namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa syair li khamsatun…dst ini berpangkal pada Abu al-Hasan al-Syadzili, namun lebih dari itu bisa juga memuat interpretasi lain yakni bisa jadi itu didapatkan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili dari sanad Ahlul Bait.

Hal itu saya kontraskan dengan bacaan saya atas Majmū‘at Awrād wa Ahzāb al-Tarīqah al-Naqsyabandīyah di mana saya menemukan syair “lī khamsatun utfi bihā…”. Pun syair ini ditemukan pada Majmū‘at Awrād wa Ahzāb al-Tarīqah al-Naqsyabandīyah yang dikumpulkan oleh Ahmad Diya’uddin Afandi pada halaman 333 dalam subjudul “Hizbun li Daf’in al-Tā‘ūn wa al-Wabā’ wa Kullu al-‘Ilal (Hizib untuk menolak pandemic, wabah, dan semua penyakit).

Dalam rangkaian hizib itu memang dimulai dengan syair di atas, namun dalam syair ini tidak ada penjelasan tentang dari mana doa ini berasal. Karena tidak ada keterangan sumber dari doa ini, maka sangat sulit untuk mengatakan bahwa syair tolak balak ini berasal dari lingkungan ulama Sunni.

Baca Juga  Negatif adalah Positif

Namun, jika kita baca silsilah Tarekat Naqsyabandiyyah yang dijelaskan di dalam Majmu’at ini, di mana di tiga figur terakhir adalah Hasan al-Basri, lalu Sayyidina Ali dan terakhir adalah Abu al-Qasim, Muhammad Rasulullah. Di sini, ada jalur Sayyidina Ali, di mana jalur ini memberikan ruang penafsiran jika syair “li khamsatun” bisa saja bersumber dari tradisi yang dekat dengan Sayyidina Ali r.a (Majmū‘at, hal. 13-14).

Mari kita lihat juga kitab yang berjudul Masādir al-Dirāsat al-Islāmīyah, al-Aqā’id wa al-Adyān wa al-Madhāhib al-Fikrīyah al-Qadīmah wa al-Hadītsah, jilid 2. Saya kutipkan pendapat yang dirujuk pada al-Fatāwā al-Radlawīyah dalam kitab ini (hal. 960), sebagai berikut:

Inna tartība al-aghwās yubda’u bi ‘Aliy, wa anna Aliyya yadfa’u al-balā’ wa yaksyifu al-karūb, wa min du’aihi:

Nāda ‘Aliyya mudhīr al-‘ajā’ib # tajidhu awnan laka fī al-nawāib
Lī khamsatun utfī bihā harra al-wabā al-hātimah# al-mustafā wa al-murtadā wa abnahumā wa al-fātimah”.

“Sesungguhnya urutan berdoa itu dimulai dari Ali dan sesungguhnya Ali itu menghilangkan bala’ dan menyingkap kesedihan”.

“Panggillah Ali penampak keajaiban # maka engkau temukan pertolongan bagimu dalam segala bencana itu”.

“Bagiku ada lima hal yang aku gunakan untuk mematikan wabah yang panas #al-Mustafā dan al-Murtadā dan kedua anak laki-lakinya dan Fatimah.”

Pertama, sumber dari kitab Masādir al-Dirāsat al-Islāmīyah, al-Aqā’id wa al-Adyān wa al-Madhāhib al-Fikrīyah al-Qadīmah wa al-Hadītsah adalah al-Fatāwā al-Radlawiyah.

Alhamdulillah saya berhasil mendapatkan kitab ini dan dalam pembahasan pertama dijelaskan siapa Ridla Ali Khan pemilik kitab ini. Dia lahir di Kandahar, Afghanistan pada 1857 M dan keluarganya pindah ke India. Ayahnya bernama Naqyu Ali bin Ridla bin Kadzim Ali bin A’dzam Syah bin Saad Yar al-Afghani al-Barilawi, salah seorang ulama besar mazhab Hanafi yang lahir 1830 M.

Baca Juga  Perbankan Syariah di Oman: Pemain Baru yang Langsung Melejit

Guru Ridla Ali Khan adalah kakeknya, Mufti Ridla Ali Khan, lalu belajar dengan ayahnya sendiri, lalu belajar ke Alsyah Ali Rasul al-Marahrawi dan dia menjadi Imam Tarekat Qadiriyyah dari Alsyah Ali Rasul ini. Lalu ia belajar ke Abu al-Ali al-Ramafuri (1885), ulama terkenal di India pada zamannya, lalu ia belajar ke Alsyah Abu Hasan Ahmad al-Nuri (1883 M), ulama India juga, lalu belajar ke Ghulam Qadir Bek Luknow, India pada 1917M, lalu belajar ke Ahmad bin Zaini Dahlan al-Syafi’i al-Makky pada 1881 (guru para ulama Nusantara), lalu belajar ke Abdurrahman Syiraj Mufti Mazhab Hanafi Mekkah, 1883 M dan belajar kepada Husein bin Shalih Jamal al-Lail al-Makki pada 1884, ulama seumurnya.

Oleh kalangan Wahabi, Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawi ini dianggap sebagai ulama Syiah yang taqiyyah (menyembunyikan identias Syiah). Hal ini misalnya bisa dilihat dalam Kitab Mawsū‘at al-Firaq al-Muntasabah li al-Islām al-Durar al-Sunniyyah, al-Matlab al-Sānī Usratuhu, hal. 361.

Dari ini kita bisa tahu beberapa kemungkinan bahwa syair li khamsatun itu dikenal di kalangan Syiah dan Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawy yang bermazhab Hanafi mungkin saja mendapatkannya dari bacaan dia tentang tradisi Syiah.

Bagaimana dengan K.H. Hasyim Asyari, jelas di dalam silsilah gurunya Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawi terdapat Zaini Dahlan yang menjadi guru para ulama Nusantara yang belajar di Mekkah.

Kedua, dari segi isi syair li khamsatun mengindikasikan tradisi yang juga dianut oleh kalangan Syiah. Mari kilat lihat, apa yang dimaksud dengan al-Mustafā adalah Rasulullah, al-Murtadā adalah Sayyidina Ali, wa abnahumā adalah Hasan dan Husein dan wa al-Fatimah adalah Fatimah.

Baca Juga  Potret Jejak Perjalanan Panjang Ormas Islam Terbesar di Indonesia: Resensi Buku “Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H / 1926 M”

Titik Temu

Saya tidak tahu kebenaran akhirnya. Ini semua hanya hasil bacaan saya. Namun diskursus tentang syair ini benar-benar membantu kita untuk kembali melihat pertemuan (encounter) antara Sunni-Syiah dan kemungkinan adanya mutual exchange antara ulama kedua paham besar Islam ini.

Mungkinkah kita bisa mengambil titik-titik temu yang lainnya. Mungkin saja, asal ada driving force behind discourse. Masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia sesungguhnya adalah kelompok yang paling dekat untuk bertemu dengan tradisi Syiah. [MZ]

Syafiq Hasyim Alumnus S3 Freie Universitat Berlin, Jerman

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *