Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

Kedewasaan dalam Beragama dan Realitanya

3 min read

Dalam tulisan ini saya tertarik meramaikan pembahasan tulisan Abiel Matthew Budiyanto berjudul “Riuh Rendah Mereka yang (Mengaku) Ateis”. Yang dibalas oleh Rizky Prasetya “Balasan untuk Artikel Riuh Rendah Mereka yang (mengaku) Ateis” di mojok.co. Keduanya membahas tentang urgensi orang-orang ateis (antiteis) berdebat dengan orang-orang yang agamis.

Meskipun saling membantah, saya menangkap keduanya sebagai suatu pembahasan yang intinya bagaimana agama tidak mendewasakan manusia, dan orang ateis –yang antiteis- cenderung ingin enaknya saja dengan dalih menjadi dewasa.  Padahal umat beragama yang diolok-olok oleh kaum ateis sebagian besar memang tidak ingin menjadi dewasa. Untuk itulah agama berperan menjadi orang tua bagi umatnya yang tidak ingin menjadi dewasa.

Hal ini disebabkan masa yang paling indah dalam fase kehidupan manusia yaitu, justru ketika masa kecil seseorang itu masih kanak-kanak. Bebas bermain, bebas menuntut sesuatu, bebas menangis, bebas mengekspresikan amarah, bebas untuk tidak melakukan sesuatu hal, bebas dari tuntutan tanggung jawab, bahkan hampir hari-hari yang dilaluinya adalah sebuah keindahan. Karena orang yang lebih tua akan maklum adanya terhadap kesalahan yang ia buat.

Persis sebagaimana tingkah polah umat beragama pada umumnya. Mereka suka sekali “mengintervensi” Tuhan melalui do’a. Berburuk sangka dengan merasa Tuhan tidak sayang kepada mereka ketika do’a-do’a mereka tidak dikabulkan, dan merasa bangga ketika do’a-do’a itu terwujud.

Hal ini wajar, karena seandainya seluruh umat manusia dewasa di dunia ini diadakan survey secara menyeluruh, disuruh memilih antara ingin menjadi dewasa atau menjadi anak-anak, saya yakin akan banyak manusia yang memilih untuk menjadi anak-anak, dengan berbagai alasan, mungkin juga termasuk beberapa alasan di atas. Bahkan sampai ada ungkapan “ menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa itu pilihan”.

Baca Juga  Sel-Sel NII (Bagian II)

Maka akan menjadi sebuah isapan jempol belaka, ketika Sigmund Frued dan Ricard Dawkinds –tokoh pujaan gerakan new atheism– mengatakan bahwa agama dan percaya kepada Tuhan merupakan sifat manusia yang kekanak-kanakan (infantil) dan tidak rasional.

Jika mau menundukan pandangan kita terhadap pemikiran agama, justru ajaran agama dan percaya kepada Tuhan, itulah tingkat rasionalitas yang dimiliki sebagian besar umat beragama  menghadapi semua kekacauan di dunia ini. Hal ini karena tidak banyak manusia mau dewasa dan mampu berpikir keras dalam menghadapi semua  hal itu.

Memang tidak selalu memuaskan jawaban yang diberikan oleh agama, tetapi agama tidak pernah melarang umatnya untuk berhenti, -bahkan cenderung memerintahkan- manusia terus menanyakan tentang “hakikat” keberadaannya. Seperti pertanyaan “aneh-aneh yang selalu ditanyakan oleh anak kecil”. Kenapa harus seperti ini, kenapa harus begitu. Bahkan terkadang sampai orangtuanya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Batasan-batasan yang diberikan oleh agama, pada hakikatnya untuk menjaga umatnya agar tidak menjatuhkan dirinya untuk mengarah kepada “kehancuran dirinya sendiri”. Sebagaimana orang tua menjaga anak-anaknya. Maka kalau pun ada yang mau menjadi “dewasa” itu adalah ajaran agama, tidak demikian dengan sebagian besar pengikutnya.

Di dalam agama Islam, ada yang istilah disebut baligh dan mukallaf (mampu menggunakan akal sehatnya), untuk menyebut tingkatan seorang muslim disebut dewasa. Di mana tingkatan baligh dan mukallaf adalah fase seorang muslim dibebani tanggungjawab dan wajib menjalankan hukum syari’at. Mereka wajib shalat, puasa, zakat dan menjalankan aturan-aturan yang lain untuk mendapatkan “pahala”. Jika tidak melaksanakan perintah tersebut maka mereka dikenai “konsekuensi” berdosa.

Pada fase ini, agama Islam “memaksa” diri seseorang untuk menjadi “dewasa” untuk lebih bertanggungjawab dalam menjalani kehidupannya. Bukan berdasarkan psikologinya semata, tetapi juga berdasarkan sisi biologisnya. Jika perempuan ditandai dengan  telah mengalami haid, sedangkan laki-laki telah mengalami “mimpi basah”.

Baca Juga  Banyak Belajar dari Orientalis

Oleh karena itu, banyak sekali tuntunan dalam agama Islam yang mengajarkan orang tua agar mempersiapkan anak-anaknya menghadapi fase menjadi dewasa. Di mana sejak umur 7 tahun  hingga umur 13-14 tahun, agar anak dididik dengan cukup keras, bukan lagi dengan penuh kelembutan. Jika mereka tidak shalat, puasa atau pun mau belajar mengaji, orang tua boleh melakukan peringatan yang lebih keras yaitu dengan memukulnya, dengan catatan memukul dibagian tertentu yang intinya tidak untuk mencederai tetapi untuk membuat si anak jera.

Apabila orang tua tidak mau dan mampu mendewasakan anaknya sesuai dengan ajaran agama Islam, itu pun menjadi masalah besar, karena kewajiban menjaga keluarganya dari “api neraka” (kehancuran diri sendiri) adalah perintah Allah dalam al-Qur’an.

Karena pada hakikatnya berkenaan hukum fikih apabila menyangkut kehidupan akhirat semua ibadah itu dilarang, kecuali yang diperintahkan oleh Allah dan Nabi Muhammad –lihat saja perintah di dalam al-Qur’an dan Hadis perintah beribadah itu sangatlah sedikit, karena mengadakan ritual agama baru itu disebut bid’ah-.

Tetapi terkait hal-hal yang bersifat duniawi segalanya pada hakikatnya  agama Islam memperbolehkannya, kecuali yang dilarang, contohnya umat Islam hanya dilarang makan-makanan tertentu, seperti makan babi, hewan-hewan buas, dan makan-makanan yang haram cara mendapatkannya, sedangkan di luar itu, agama Islam justru lebih banyak membolehkan umat Islam memakannya, seperti soto, papeda, nasi pecel dan lain sebagainya sampai tidak terhitung jumlahnya.

Tetapi bagi segolongan umat Islam, menganggap dosa dan pahala hanyalah motivasi yang diberikan oleh agama untuk terus menyelamatkan umatnya dari jurang kehancuran yang tanpa sadar selalu mereka tuju. Karena hidup di dunia ini penuh dengan konsekuensi-konsekuensi maka agamalah yang memberikan petunjuk untuk manusia mendapatkan jawaban terbaik atas segala problem kehidupan mereka.

Baca Juga  Alumni Universitas al-Azhar Mesir di Indonesia, Saatnya Move On!

Dari sini dapat dilihat, betapa ajaran agama selalu dituntut untuk menjadi dewasa, meskipun pada praktek di lapangan tidak semua umatnya mau dan mampu untuk menjadi dewasa. Konsekuensi ketidakmauan dan ketidakmampuan umat tersebut berbeda-beda. Agama (Islam utamanya) selalu memberikan alternatif-alternatif sesuai dengan kondisi riil umatnya.

Karena memang manusia pada umumnya seperti kata Thomas Aquinas “terlalu malas” untuk menggunakan pikirannya dalam menelusuri hakikat kehidupannya. Maka ajaran agama berupa wahyu dari langitlah yang menjadi “orang tua” yang membimbing “anak-anaknya”(baca: umat manusia) menjalani seluruh kehidupan ini.

Jadi ketika seseorang memilih menjadi ateis maupun antiteis, anggap saja anak yang ingin mandiri tidak ingin hidup di bawah bimbingan orang tuanya, dan tidak perlu dianggap sesuatu yang istimewa. Dan apabila ada umat beragama mencoba menghakimi manusia yang lain dengan bersikap “sok menjadi Tuhan”, anggap saja dia ingin menjadi dewasa sebelum pada waktunya.  Lagi-lagi benar kata-kata di atas, “menjadi tua itu pasti tetapi menjadi dewasa itu adalah pilihan”. [AH].

Mubaidi Sulaiman Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya