Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Digiseksual: Fenomena Seksual Era Modern yang Dilarang dalam Al-Qur’an

2 min read

Munculnya Revolusi Industri pada tahun 1784 menuntut manusia untuk menciptakan berbagai hal yang mampu meringankan pekerjaan manusia. Seiring berjalannya waktu, revolusi industri terus mengalami perkembangan, bahkan saat ini telah sampai pada revolusi industri 4.0.

Hal ini sangat menguntungkan bagi manusia karena perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat segalanya menjadi mudah. Manusia tidak perlu lagi bersusah payah dalam mengerjakan berbagai hal, karena semua pekerjaan telah diambil alih oleh teknologi.

Revolusi Industri 4.0 telah memberikan banyak terobosan dalam teknologi di antaranya, komputer, ponsel pintar, robot pintar, robotika, kecerdasan buatan atau AI (Arificial Intelligence), internet, kendaraan, dan lain-lain.

Keterlibatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan manusia menjadi ketergantungan, dan di sisi lain teknologi juga memberikan pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan, di antarnya adalah perilaku seksual di era modern yang disebut dengan digiseksual.

Mengenal Digiseksual

Mungkin selama ini orientasi seksual yang kita kenal hanya ada tiga, yaitu homoseksual (sesama jenis), heteroseksual (lawan jenis), dan biseksual (tertarik kepada keduanya). Adapun yang masih menjadi kontroversi adalah homoseksual dan biseksual. Belum selesai dengan keduanya, muncul lagi tipe seksualitas di era moden yang dikenal dengan digiseksual.

Menurut Nurbaiti dalam artikelnya, digiseksual merupakan perilaku seksual yang muncul dari kemajuan teknologi. Istilah ini diperkenalkan oleh Neil McArthur, seorang Lektor Kepala di Universitas Manitoba. Kemudian secara spesifik dikenalkan kembali oleh Markie L.C. Twist dari Universitas Nevada dalam tulisannya, The Rise of Digisexuals. Singkatnya, digiseksual merupakan pemuas hasrat seksual dengan menggunakan alat bantu seks seperti boneka seks.

Dalam hal ini, boneka seks menjadi pengganti lawan jenis untuk memenuhi kebutuhan seksual. Bukan menjadi sesuatu yang tabu, hari ini penggunaan boneka seks justru telah dinormalisasi di beberapa negara bahkan dijual secara bebas. Dilengkapi dengan berbagai fitur teknologi yang lengkap, boneka seks tidak seperti benda mati, tetapi bisa bergerak dan bersuara layaknya manusia.

Baca Juga  Tiga Formula Menghadapi Pandemi Covid-19

Seksualitas dalam Al-Qur’an

Sebagai petunjuk bagi manusia sekaligus shalih likulli zaman wa makan, Al-Qur’an tentu saja selalu mempunyai jawaban di setiap permasalahan, termasuk digiseksual di era modern ini. pada dasarnya Al-Qur’an sebenarnya telah membahas terkait seksualitas secara global sebagaimana terdapat dalam QS. Al-A’araf ayat 189 yang artinya:

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia mencipatakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-istri) memohon kepada Allah, Tuhannya, seraya berkata: ‘Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’”

Ayat al-Qur’an di atas menunjukkan sebuah oritentasi dasar dalam hubungan seksual laki-laki dan perempuan, di mana hal itu merupakan fitrah manusia sejak pertama kali diciptakan. Frasa nafsin wahidah diartikan oleh sebagian ulama dengan jenis manusia laki-laki dan perempuan.

Sejalan dengan hal tersebut, M. Quriash Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskann nafsin wahidah (jiwa yang satu) memberi kesan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatukan jiwa, arah, dan tujuan sehingga mereka benar-benar hidup dan mati bersama. Karena, jiwa suami adalah jiwa istri.

Di sisi lain, Al-Qur’an juga menyebutkan perilaku penyimpangan seksual sebagaimana terdapat dalam QS. Al-A’araf ayat 80-81 yang artinya

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth. (ingatlah) ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Apakah kamu mengerjakan Fahisyah yang tidak satu pun yang mendahului kamu mengerjakannya di alam raya. Sesungguhnya kamu telah mendatangi laki-laki untuk syahwat, bukan wanita. Bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.’”

Ayat al-Qur’an di atas secara umum mengisahkan kaum Nabi Luth yang homoseksual. M.. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan homoseksualitas merupakan perilaku yang melanggar fitrah manusia sehingga dapat menimbulkan fahisyah. Dalam hal ini, fahisyah dapat berupa penyakin HIV/AIDS.

Baca Juga  Islamisme dan Fenomena Agama sebagai Kendaraan Politik

Respons Al-Qur’an terhadap Digiseksual 

Dua ayat di atas merupakan gambaran seksualitas yang terjadi pada manusia. Ada yang menjalani sesuai dengan fitrahnya laki-laki dan perempuan. Namun, ada pula perilaku yang menyimpang, yaitu sesama jenis. Perlaku menyimpang inilah yang melampaui batas, sehingga mendapatkan fahisyah.

Secara umum ayat di atas memang tidak berbicara tentang digiseksual, tetapi dalam hal ini hubungan seksual yang dilegalkan dalam Islam adalah dengan lain jenis, dengan catatan sudah menikah.

Artinya, perilaku digiseksual merupakan perilaku penyimpangan seksual yang tidak sesuai dengan syariat sehingga dilarang dalam Islam. Sebagaimana dalam QS. al-Mukminun ayat 7 yang artinya, Maka, siapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Maksudnya adalah Allah melarang seseorang melakukan hubungan seksual di luar koridor yang telah ditentukan, dalam hal ini adalah pernikahan.

Bagi yang telah terpapar perilaku digiseksual, diperlukan penanggulangan untuk menyikapi masalah tersebut. Perilaku digiseksual memilki dampak negatif terhadap diri sendiri dan orang-orang sekitar. Dalam Islam sendiri digiseksual dapat diminimalisir dengan berpuasa, menahan hawa nafsu, dan menikah. Wallahualam. [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta