Bagaimana pendapatmu mengenai khutbah Jum’at yang menggunakan bahasa lokal?. Pertanyaan itu saya sampaikan kepada teman kuliah saya yang berasal dari Makassar dan baru beberapa bulan menetap di Jogja. Dia menjawab “biasa saja mas, karena di Makassar saya juga pernah mendengar khutbah menggunakan bahasa Bugis, tapi ya saya tidak terlalu mendengarkan karena memang tidak mengerti, ucapnya sambil tersenyum”. Sangat Menarik.
Sebenarnya, fenomena Khutbah menggunakan bahasa lokal sudah saya temukan di beberapa masjid ketika nyantri di Jawa, khususnya Jogja dan Kudus. Mendengar jawaban teman saya itu, tidak menutup kemungkinan bahwa khutbah bahasa lokal tidak hanya terjadi di Jawa. Namun, di beberapa daerah lain juga terdapat khutbah yang menggunakan bahasa lokal. Biasanya, khutbah tersebut hanya terdapat di masjid-masjid perkampungan dan sangat jarang sekali saya menemukan khutbah berbahasa daerah di masjid tengah-tengah perkotaan.
Hal ini disebabkan karena kampung masih sepi dan jauh dari hiruk pikuk dunia perkotaan yang cendrung metropolitan dan sangat ramai. Selain itu, watak keislaman muslim di perkampungan dan perkotaan memiliki perbedaan. Menurut Sumanto Al-Qurtubi, warga muslim kampung lebih cenderung berpikiran sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Komunitas muslim di kampung juga lebih rileks, lentur, dan fleksibel dalam beragama ketimbang jamaah Islam kota yang cenderung kaku dan tegang. Baca lengkap di sini
Islam dan Lokalitas
Berkaitan dengan hal ini, bisa dikatakan bahwa fenomen khutbah berbahasa daerah merupakan sebuah ekspresi keislaman yang lentur, rileks dan fleksibel dalam beragama. Hal ini menandakan bahwa fenomena tersebut bisa di masukkan dalam kategori “Pribumisasi Islam”. Nur Khalik Ridwan dalam “Islam di Jawa Abad XIII-XVI” yang mengutip komentar Gusdur mengenai Pribumisasi Islam. “Pribumisasi Islam, menempatkan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam kesadaran mempertemukan antara agama dan budaya, dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan pemahaman islam untuk mencapai kemaslahatan, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan”.
Dalam bukunya, Nur Khalik Ridwan merespon komentar Gusdur sebagai berikut. Pribumisasi Islam berupaya untuk menjadikan Islam agar dapat dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual dan kebutuhan masyarakat. Titik tolaknya adalah islam, dengan berpijak dari nilai-nilai, yang kemudian manifestasinya diolah sedemikian rupa. Misalnya dalam arsitektur, dalam tembang-tembang dan lain-lain. Perwujudan luar dapat berubah dan diolah sedemikian rupa, namun dengan nilai-nilai yang sama.
Dalam konteks ini, penulis menilai bahwa khutbah jum’at berbahasa lokal merupakan sebuah manifestasi keislaman yang telah diolah namun bukan dalam bentuk arsitektur dan tembang-tembang melainkan dalam bentuk bahasa lokal. karena sejatinya bentuk, perwujudan dan ekspresi keislaman tidak berbentuk tunggal tetapi memiliki berbagai macam karakter dan corak yang berbeda-beda. Bergitu hal nya dengan ekspresi keislaman di Indonesia bisa bermacam-macam.
Abdul Karim dalam bukunya“Islam Nusantara” menyebutkan persinggungan antara ajaran islam dengan budaya setempat merupakan sebuah akulturasi ajaran agama itu sendiri yang berporses dalam bahasa, seni, baik kerajinan, arsitek, monumen, kaligrafi, dan mozaik yang terlihat pada interior bangunan rumah atau masjid. Sehingga, dapat dikatakan bahwa khutbah berbahasa lokal merupakan sebuah bentuk dari akulturasi Islam dan budaya setempat. Karena proses penyampaian dan pemahaman dalam khutbah dilakukan dengan bahasa daerah setempat tanpa mengurangi nilai-nilai dari khutbah itu sendiri. Kemudian mengapa harus menggunakan bahasa daerah, Bukankah bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan?
Mengapa Bahasa Daerah
Indonesia merupakan negara yang kaya dan tidak terbatas pada hasil alam saja, tetapi juga terdapat berbagai macam suku, budaya dan bahasa yang beragam. Sekar Gandhawangi dalam tulisannya di kompas.id mengatakan Indonesia memiliki 718 bahasa daerah di Indonesia, 25 diantaranya terancam punah, 6 kritis, dan 11 bahasa dinyatakan punah. Kepunahan terjadi karena bahasa daerah tidak digunakan lagi, dan tidak diwariskan ke generasi selanjutnya. Baca lengkap di sini
Bahasa daerah memiliki kedudukan utama dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan komunikasi utama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di rumah, di sekolah, dipasar, dan dimasjid. bahkan di kampung-kampung proses transmisi keilmuan juga menggunakan bahasa daerah karena akan lebih mudah untuk di pahami. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam proses dakwah juga menggunakan bahasa daerah. Khutbah misalkan.
Oleh karena itu, khutbah menggunakan bahasa daerah penting dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, mempertahankan warisan leluhur yang sudah mulai menghilang. Kedua, sebagian masyarakat kampung terutama yang sepuh (menua) belum bisa menggunakan dan faham bahasa Indonesia. Ketiga, mempertahankan identitas kultural yang telah dibangun berdasarkan nilai-nilai keislaman. Keempat, memudahkan proses transmisi keilmuan, karena sebagian jama’ah di kampung-kampung lebih mudah paham dengan bahasa daerahnya daripada bahasa Indonesia. Kelima, menunjukkan bahwa islam bisa di ekspresikan dalam bentuk yang beragam bukan tunggal. Dan tentunya sebagai wujud dari Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.