Sepertinya baru kemarin saya menulis refleksi tentang satu abad Nahdlatul Ulama (NU). Waktu memang cepat berlalu dan tidak terasa 28 Januari 2024 kemarin NU kembali mengadakan Harla NU yang ke-101.
Adapun tema yang diangkat pada harlah kali ini adalah “Memacu Kinerja Mengawal kemenangan Indonesia”. Dilansir pada nu.or.id, puncak harlah kali ini diselenggarakan pada 31 Januari 2024 di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta sekaligus peresmian gedung baru UNU Yogyakarta.
Secara historis NU memang dikenal sebagai sebuah organisasi untuk kalangan tradisional. Hal ini dikarenakan berdirinya dilatarbelakangi munculnya gagasan pembaruan Islam di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Akibatnya, aktivitas lokal berupa praktik-paktik keagamaan yang dilakukan oleh kelompok muslim tradisional dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menjaga Warisan Walisongo
Latar belakang berdirinya NU tersebut menandakan bahwa NU berusaha untuk merawat apa yang telah diwariskan oleh Walisongo ketika melakukan islamisasi di tanah Jawa. Sebagaimana yang kita ketahui, sebelum masuknya Islam di Nusantara, masyarakat pribumi sudah berkeyakinan Hindu-Buddha. Terlebih lagi, di Jawa pada waktu itu, masih kental suasana Hinduisme dengan kekayaan budaya dan tradisinya.
Sebagai sebuah organisasi tradisional yang berakar di pedesaan Jawa, NU mengambil sikap toleran terhadap praktik tradisi sinkretis pribumi. Ragamnya budaya dan tradisi yang kita saksikan hari ini merupakan tradisi yang telah berkelindan selama berabad-abad lalu. Walisongo, sebagai ulama yang toleran, menggunakan tasawuf dalam berdakwah yang dimanifestasikan dalam bentuk tradisi masyarakat Jawa seperti gamelan, wayang, dan tembang.
Penyelarasan Islam dengan budaya setempat dilakukan oleh Walisongo dengan penuh ketekunan, kesabaran secara berangsur-angsur, serta dengan menampakkan sikap toleran, menghargai kearifan lokal tanpa menyakiti siapa pun dan mengantimidasi masyarakat pribumi.
Upaya yang dilakukan oleh Walisongo tersebut berdampak besar dalam penyebaran Islam. Oleh sebab itu, NU sebagai sebuah organisasi yang berangkat dari kalangan pesantren berusaha untuk membentengi berbagai praktik keagamaan sebagai bentuk penghormatan dan menjaga warisan, tentu saja dengan hujah yang merujuk pada dua sumber utama ajaran Islam.
Al-Muhafadzah ‘ala al-Qadim al-Shalih Wal Akhzu bil Jadidil Aslah
Prinsip al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah (memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik) merupakan sebuah konsep atau metode berpikir dari kalangan Nahdliyyin yang masih di pertahankan hingga hari ini.
Adapun pengaplikasian prinsip ini biasanya terkait hal-hal masa lalu yang hingga hari ini masih dijadikan perdebatan oleh para ulama. Salah satunya adalah aktivitas lokal atau tradisi yang masih aktif di kalangan masyarakat akar rumput.
Dalam konteks Indonesia, tradisi yang berkembang di masyarakat seperti ziarah kubur, haul, acara manakib, dan selawatan merupakan bagian dari tradisi bernilai luhur yang patut diperlihara dan dijaga.
Sementara itu, maksud dari mengambil dan memanfaatkan nilai-nilai baru adalah dengan mengembangkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya, nilai-nilai yang telah diwariskan dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat hari ini.
Sedangkan dalam konteks pesantren, misalnya, prinsip al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah dapat ditemukan dari adanya kajian kitab-kitab kuning. Terlebih lagi, di zaman modern ini pesantren dituntut untuk memperkuat tradisi dan dasar-dasar metodologi pendidikannya. Pesantren telah banyak mengalami pembaruan kurikulum. Masuknya mata pelajaran umum menjadi nilai-nilai baru dalam pembaruan pesantren hari ini.
Walaupun demikian, menurut penulis, pesantren harus mempertahankan substansi pendidikannya yang terletak pada kitab kuning. Sebagai salah satu pilar pendidikan di pesantren, ilmu-ilmu keagamaan dalam kitab kuning harus memiliki porsi lebih daripada pengetahun umum.
Selain itu, tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat dan tradisi intelektual yang berekembang di pesantren merupakan bagian dari prinsip al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah yang masih dirawat dan dipertahankan oleh NU.
Jargon “NKRI Harga Mati”
“NKRI Harga Mati” adalah jargon dari warga Nahdlatul Ulama dalam menjaga NKRI. Jargon tersebut merupakan spirit menumbuhkan semangat dan kekuatan dalam menjaga keutuhan NKRI dari komunitas-komunitas keagamaan yang berseberangan dengan ideologi Pancasila.
Upaya pendirian khilafah dan maraknya isu-isu radikalisme manjadi PR penting bagi masyarakat dalam menjaga keutuhan NKRI hari ini. Walaupun pada akhir-akhir ini isu-isu tersebut mulai surut, tetap saja perlu untuk diwaspadai.
Spirit dalam semboyan “NKRI Harga Mati” dapat diwujudkan dengan saling menghargai budaya, agama, dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Indonesia diperkaya dengan keragaman tersebut yang kemudian disatukan melalui ideologi Pancasila sehingga menjadikannya tetap bertahan hingga hari ini, walaupun masih saja ada yang menganggap tradisi keagamaan tersebut sebagai bidah, sesat, dan lainnya.
Oleh sebab itu, apa yang telah penulis sampaikan di atas merupakan upaya dari NU sebagai garda terdepan dalam menjaga peradaban yang telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu, dan itu semua terwujud dengan spirit al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah dan diperkuat dengan semboyan “NKRI Harga Mati”. Wallahua’lam [AR]