Perhitungan suara Pemilu Presiden tahun 2024 dengan metode exit poll, hampir tuntas. Lembaga Survey Indonesia Danny J.A. tepat pukul 15.00 WIB lebih satu menit bahkan sudah menyatakan bahwa Paslon 02 menang dengan satu putaran. Kisaran angka kemenangannya cukup meyakinkan 54-58 persen.
“Selamat datang Presiden dan Wakil Presiden baru Indonesia 2024,” kurang lebih begitu pesannya.
Pertarungan sudah selesai, apapun hasilnya, kembali kepada prinsip demokrasi bahwa pemenangnya adalah Rakyat Indonesia. Inilah Pemilu yang sangat mendebarkan yang diwarnai dengan berbagai manuver politik yang melibatkan kalangan akademisi dan intelektual dalam skala besar. Berbagai narasi dikerahkan untuk memengaruhi suara pemilih.
Anehnya, berbagai manuver kalangan kampus dan intelektual itu dibungkus dengan wacana, dalam bahasa mereka, seolah-olah ingin menyelamatkan demokrasi dari ancaman pelanggaran konstitusi karena hasrat politik dinasti. Maka seketika suara kalangan kampus, intelektual, dan pada aktifis itu menjadi beraroma partisan dan menjadi tampak tendensius.
Alih-alih menggunakan narasi menyelamatkan demokrasi, suara itu sedang ingin menyudutkan Presiden Jokowi dan Paslon 02 yang dianggap mendapat dukungan dari Presiden.
Hanya sedikit saja orang yang menilai bahwa arus suara kaum intelektual dan aktifis itu tidak mawas dengan tren kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden. Pun demikian dengan fakta bahwa masyarakat Indonesia secara umum telah menjadi intelektual karena memiliki media, referensi, dan preferensi politik yang lebih mandiri dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Berbagai manuver intelektual mulai dari petisi, rencana pemakzulan Presiden, aksi massa menyelamatkan demokrasi, bahkan penyebarluasan film dokumenter berjudul Dirty Vote di masa tenang telah menyasar tembok bernama intelektualisme masyarakat sendiri yang sedang bertumbuh.
Di sisi lain, lahirlah fenomena yang sangat penting saat ini, intelektualisme masyarakat menjadi kekuatan baru yang otonom dari pengaruh kelompok-kelompok akademisi dan aktifis yang selama ini menikmati klaim dan superioritas sebagai kalangan intelektual.
Masyarakat sendiri yang membangun konter narasi, untuk tidak menyebutnya counter-hegemony, terhadap berbagai propoganda yang dikawal oleh kalangan akademisi dan aktifis dengan cara-cara yang organik.
Saya lebih melihatnya sebagai cara organik. Tidak berlebihan rasanya karena cara masyarakat melakukan konter narasi dilakukan dengan mengandalkan kesadaran dan memanfaatkan kanal-kanal informasi sekecil-kecilnya yang mereka miliki.
Hasilnya, semua manuver politik dan propaganda menjadi seolah-olah tidak berdampak. Seperti petasan kena air sebelum berhasil diledakan.
Menandai fenomena ini, istilah post-truth saja tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan keadaan. Dalam istilah tersebut, secara implisit mayoritas masyarakat dipandang seolah-olah tidak mampu berpikir dan membangun kesadaran. Saya justru berpikir sebaliknya, inilah episode yg harus ditandai dengan istilah post-intelllectualism atau post-criricism.
Mengapa demikian? Jawabannya tentu karena kelompok intelektual menara gading, kampusan, para elit aktivis bukan hanya tidak mampu mempropagandakan narasi yang dibuatnya, tetapi justru berhadap-hadapan dengan narasi dan pengetahuan masyarakat yang (diklaim) diwakilinya.
Atas situasi hasil metode exit poll maupun quick count, sayangnya masih ada saja diantara mereka (kelompok elit intelektual itu) yang mengatakan “pendidikan gagal, masyarakat tidak teredukasi dg baik.”
Tanpa analisis muluk-muluk sekalipun, kita tentu bisa menilai bahwa masyarakat semakin menjadi intelektual dan bersifat otonom terhadap mereka yang selama ini selalu mengambil keuntungan dari kebodohan publik.
‘Intelektualisme versus intelektual organik masyarakat’ inikah yang sedang terjadi? Atau justru ini adalah lonceng kematian bagi intelektualisme itu sendiri karena tidak berhasil menjaga marwah dan kedaulatan pikiran kritis?
Simaklah dengan seksama, bagaimana manuver kalangan intelektual belakangan ini yang berdiri di atas klaim moralitas dan etika, tetapi diam-diam sebenarnya justru bersifat dan bersikap partisan. Tidak ada satupun gerakan yang mengatasnamakan “penyelamatan demokrasi” yang tidak partisan. Ini saja sudah cukup membuktikan bahwa intelektualisme tidak berdiri pada marwahnya.
Sikap kritis dan intelektualisme memang masyaratkan keberpihakan, tetapi bukan partisanisme. Keberpihakan dan partisanisme adalah dua hal yang berbeda secara total, karena yang pertama mengandaikan berdiri pada nilai keutamaan dan keadilan, sementara istilah kedua berdiri di atas libido politik, meski diekspresikan secara samar.
Pendek kata, Pemilu 2024 adalah momen yang biasa saja sebagai hajatan politik lima tahunan. Menjadi tidak biasa karena konstelasinya diwarnai oleh pergeseran legitimasi intelektual dari kalangan elit kampus dan aktifis.
Sebelum zaman intenet dan ruang publik yang makin terbuka, tidak ada orang yang menyangka proposisi Antonio Gramsci bahwa “setiap orang adalah intelektual” bisa menemukan bukti realnya di ruang politik.
Hari ini, saat ruang publik terbuka secara menganga, dan masyarakat mendapat kanal edukasi yang kian tak terhingga, proposisi itu menjadi konkret adanya. Setiap orang adalah intelektual, dan tanda-tanda intelektualisme menara gading kian tampak mengalam kebangkrutan. Tulungagung, 14 Februari 2024. [AA]