Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Dari Masjid Toledo Menuju Katedral Hagia Sophia

1 min read

Katedral Hagia Sophia kerap menjadi simbol dominasi imperium atas imperium lainnya. Ia diperebutkan layaknya piala dari semenjak didirikan masa Kristen Byzantium hingga hari ini.

Bagaimana kalau tempat ibadah dijadikan simbol determinasi imperium atas imperium lainnya? Masjid Toledo sudah lebih dulu dirusak, simbol masjidnya diubah, kitab sucinya dibakar, dan ulamanya dipancung sebelum dijadikan katedral.

Jujur saya harus pandai dan bekerja keras memilah perasaan: sebagai umat Islam saya bangga sekali bisa merebut gereja—menjadikan masjid dan mengubah rupa di dalamnya, bila perlu membakarnya. Semacam pembalasan atas kekalahan sebelumnya.

Alasan agama itu yang kerap bikin ciut nyali—aroma perang dan sentimen kian berasa jika agama dijadikan alasan. Sebab itu Karen Amstrong tak mau dan memilih argumentasi lain, Nasionalisme. Yakni berebut sumber daya alam dan perbatasan geopolitik lebih rasional dan realistis ketimbang sentimen agama.

Katedral Hagia Sophia adalah sebuah gereja terbesar untuk Umat Kristen Byzantium dari tahun 537-1055. Lalu dari 1054 hingga tahun 1204 diubah menjadi gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun 1204-1261 gereja ini diambil alih oleh Katolik Roma. Sedari dari tahun 1261 hingga 1453 gereja ini kembali menjadi Katedral Kristen Ortodoks Yunani.

Pada tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Ottoman Empira (Khilafah Utsmāniyah) di bawah komando Sultan Mehmed II/Muhammad al-Fatih. Sejak itu gedung gereja ini diubah menjadi masjid yang lebih dikenal dengan nama Aya Sophia mosque.

Belakangan, dengan jatuhnya Ottoman Empire atau Khilafah Utsmaniyah menjadikan Turki terjatuh ke dalam kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk yang sekuler. Maka di bawah pemerintahannya masjid Aya Sophia kembali mengalami perubahan status dari sebuah masjid megah menjadi museum.

Lantas bagaimana Islam memberi perspektif?

Baca Juga  Menjadi Seorang Jawa-Muslim

‘Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. [Q.S. al-Hajj [22]: 40].

Umar bin Abdul Aziz menuliskan surat pada pasukannya: janganlah kalian menghancurkan gereja, biara yahudi dan rumah peribadatan majusi.”

Najran dan sekitarnya mendapatkan perlindungan Allah SWT serta jaminan Muhammad Rasulullah atas harta, agama dan biara-biara mereka serta seluruh yang ada di tangan mereka”. HR al-Thabrānī.

Khalifah Umar Bin Khattab ketika menaklukan al-Quds (Yerusalem) membuat perjanjian yang isinya adalah jaminan perlindungan pada umat Kristen dan tempat ibadah mereka. Gereja-geraja mereka tidak akan ditempati, dihancurkan atau dirusak. Demikian pula tempat ibadah lain, salib dan juga harta mereka.

Paradoksnya adalah kalau masjid Toledo yang dijadikan gereja katedral dan katedral Hagia Sophia dijadikan masjid jamik dijadikan semacam simbol determinasi? Maka mengubah Katedral Hagia Sophia menjadi masjid adalah bagian dari ghanīmah (rampasan), simbol ghīrah atau batas kemenangan.

Yang dilakukan sebenarnya hanyalah meletakkan simbol kemenangan agama atas liberalisme dan sekularisme. Tegasnya, kemenangan Islam atas hegemoni Barat yang angkuh dan arogan. Jadi tidak lagi bisa diletakkan pandangan syariat, tapi justru pendekatan ‘fiqh perang’ dalam konteks luas—jadi kita impas dan tak perlu mendramatisir dan menyebut Islam intoleran atau lainnya yang memojokkan. [MZ]

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.