Perdana Putra Pangestu Mahasiswa S1 Prodi Ilmu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Inilah Maksud Hadis Penentuan Awal Bulan Ramadan

1 min read

Datangnya bulan Ramadan adalah momentum yang amat dinanti seluruh umat Islam di dunia. Hal ini berpijak pada banyaknya dalil naqli mengenai nikmat, janji, dan pahala bagi seorang mu’min yang menjumpai sekaligus beramal pada bulan ini.

Dalam hadis riwayat Bukhari no. 1310, seorang Arab Badui pernah mendatangi Nabi dan ia bertanya, “Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bila aku kerjakan, akan memasukkan aku ke dalam surga”. Nabi kemudian bersabda, “Kamu menyembah Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, kamu mendirikan shalat yang diwajibkan, kamu tunaikan zakat yang wajib, kamu mengerjakan shawm (puasa) bulan Ramadan”.

Tak ayal bulan suci Ramadan tahun ini (1441 H/ 2020 M) akan kita jumpai dalam hitungan hari ke depan. Berbagai persiapan mulai dicanangkan pemerintah untuk menentukan awal bulan puasa. Mengutip pernyataan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Kamaruddin Amin, bahwa Sidang Isbat awal Ramadan akan diselenggarakan pada tanggal 23 April 2020.

Sementara itu, dua ormas besar—Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah—telah mengeluarkan keputusan bahwa masing-masing ormas sepakat 1 Ramadan 1441 Hijriyah jatuh pada tanggal 24 April 2020 (berdasarkan hisab). Hanya saja dalam hal ini, PBNU mengimbau untuk tetap menantikan keputusan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kemenag) dalam pengamatan hilāl pada akhir bulan Sya’ban nanti.

Fenomena mengamati hilāl, dalam penentuan awal bulan puasa sangatlah penting dan utama, hal ini berdasar pada hadis Nabi riwayat Bukhari no. 1990 yang berbunyi:

سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Baca Juga  Covid-19 Menyadarkan Cinta Kasih Seorang Istri

 

“Telah mendengar dari Abu Hurairah, ia berkata: bahwa Nabi (Abu al-Qasim) bersabda: “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (hari raya) karena melihatnya (hilāl). Apabila cuacanya berawan, maka genapkanlah Sya’ban menjadi 30 hari

Terdapat hadis lain yang semakna sebagaimana diriwayatkan Ibn Umar dalam Sahīh Muslim no. 1080. “Satu bulan itu 29 hari, janganlah berpuasa sehingga kamu melihat hilāl dan jangan berhari raya sampai melihat hilāl. Namun jika cuacanya berawan, maka perkirakanlah

Dari hadis tersebut, setidaknya Yusuf al-Qaradlawi dalam Taysīr al-Fiqh fī Dhau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah: Fiqh al-Siyām mengemukakan bahwa mengamati hilāl adalah salah satu cara dalam penentuan jumlah hari dalam satu bulan tertentu (dalam hal ini adalah Sya’ban untuk penentuan Ramadan).

Berdasarkan teks literal yang termaktub dalam hadis di atas, ada tiga metode dalam penentuan awal bulan Ramadan. Pertama, melihat bulan dengan mata telanjang. Kedua, menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban. Ketiga, memperkirakan terbitnya hilāl ketika langit mendung.

Adapun maksud dan tujuan—lanjut al-Qaradlawi dengan meminjam pendapat Muhammad Rasyid Ridla dan Muhammad Syakir—dikemukakannya hadis-hadis tersebut supaya metode penentuan awal dan akhir puasa harus dilakukan dengan tepat dan terukur. Ini dilakukan agar umat Islam dapat berpuasa Ramadan selama sebulan penuh tanpa mengabaikan satu hari pun di dalamnya.

Dalam konteks sekarang, berbagai keilmuan telah berkembang tak terkecuali ilmu perhitungan (matematika) dan astronomi (falak). Penentuan awal waktu terkait ibadah puasa Ramadan memang berpijak dan tunduk pada nash agama, namun media keilmuan-keilmuan lain yang sekarang ini sudah berkembang. Karenanya, perkembangan iptek tadi harus turut berkontribusi dalam menentukan awal waktu puasa. [HM, MZ]

Perdana Putra Pangestu Mahasiswa S1 Prodi Ilmu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *