Jika Anda pernah mengaji kitab kuning ala pesantren, Anda pasti terbiasa dengan pembedaan arti al-Rahmān dan al-Rahīm. Dua lafal ini dalam terjemahan Indonesia tidak menunjukkan nuansa perbedaan karena sejauh kedua kata itu dilekatkan kepada Zat Allah, Bahasa Indonesia akan menerjemahkannya sebagai Maha Pengasih untuk al-Rahman dan Maha Penyayang untuk al-Rahīm.
Tapi dalam tradisi pesantren, interpretasi al-Rahman dan al-Rahīm akan lengkap dengan perbedaannya. Seorang Kiai biasanya akan mengartikan bacaan basmalah seperti ini: Bismillahi (kelawan nyebut asmane Allah/Dengan menyebut asma Allah); al-Rahman (kang paring rahmat ing dunya/yang memberi rahmat di dunia); al-Rahīm (kang paring rahmat ing akhirat beloko/juga memberi rahmat di akhirat).
Pengertian ini bisa ditemukan di banyak kitab Tafsir, misalnya pada kitab yang ditulis al-Rāghib al-Asfihānī yang berjudul al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Ma’rifah, hal. 198) yang menyatakan: Inna Allah ta`ālā huwa Rahmān al-dunyā wa Rahīm al-ākhirah (Sesungguhnya Allah adalah Zat yang memberi rahmat (al-Rahman) dunia dan rahmat (al-Rahīm) akhirat.
Pertanyaan yang muncul kemudian apakah rahmat Allah di akhirat hanya untuk orang Islam? Banyak mufasir yang menyatakan bahwa Rahīm Allah di akhirat sekadar berlaku pada orang mukmin.
Menariknya, Syekh Muhammad Khalil Aytani menjelaskan bahwa al-Rahīm tidak hanya digunakan untuk menyifati Allah swt., melainkan juga bisa dipakai untuk menyifati manusia yang berlimpah kasih sayang. Dia menukil ayat Alquran, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (al-Rahīm) terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Tawbah [9]:128)
Lebih lanjut, khazanah keilmuan Islam memberi informasi yang kaya terkait dengan rahmat Allah. Misalnya, konsep keadilan dalam teologi Asy’ariyah akan memberi kesimpulan yang menarik terkait dengan perbuatan-Nya kepada makhluk. Menurut teologi Asy’ariyah, seluruh tindakan Tuhan kepada makhluk-Nya adalah adil, karena semua yang ada adalah milik Tuhan. Maka, apapun yang dilakukan Tuhan pada makhluk-Nya adalah adil. Adil dalam tradisi teologi Asy’ariyah dimaknai sebagai wad’u syay’ fi mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya).
Kemutlakan kekuasaan yang membuat Allah memasukkan manusia ke dalam surga atau neraka. Allah sama sekali tidak terikat dalam peraturan yang mewajibkan-Nya untuk memasukkan manusia ke surga atau neraka, karena manusia melakukan amal tertentu. Kalau Tuhan memasukkan manusia ke surga atau ke neraka karena “paksaan” amal manusia, maka saat itu juga Tuhan telah kehilangan kemahakuasaan-Nya.
Sekalipun narasi teologi Asy’ariyah terkesan menggambarkan Tuhan sebagai penguasa despotis yang melakukan apa saja secara sewenang-wenang sekadar untuk menunjukkan betapa berkuasa Dia, namun dengan sudut pandang yang sama, tradisi tasawuf mengajak kita kepada kemutlakan rahmat Allah. Tradisi tasawuf memberi tekanan kepada sifat welas asih/Rahmān Rahīm-Nya).
Menurut para sufi, kalau manusia merasa bahwa ia masuk surga, apalagi jika diam-diam “memaksa” Tuhan untuk memasukkannya ke dalam surga, karena amalan-amalannya, maka orang itu adalah sombong. Mengapa sombong? Karena jika ada manusia yang menjadikan tiap detik dalam hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah pun tetap tidak bisa menebus setetes kebaikan Allah yang telah diberikan kepadanya. Jika Allah tidak memberinya karunia nyawa, misalnya, tidak ada satu pun kebaikan yang bisa dilakukan oleh manusia. Maka seluruh kebaikan manusia tidak akan bisa menjadi alat barter terhadap karunia Allah.
Oleh karena itu, maka pada dasarnya tak ada satu pun manusia yang layak masuk surga jika bukan karena kemurahan Allah. Jika mau ditimbang berdasarkan ukuran keadilan yang diharapkan manusia—jika timbangan kebaikannya lebih berat dari timbangan keburukannya, maka dia berhak masuk surga, atau sebaliknya—maka tak akan ada manusia yang berhak masuk surga. Karena itu, para mutasawwif meyakini bahwa hanya rahmat Allah sajalah yang membuat manusia bisa menikmati pahala surga saat di akhirat kelak.
Apakah para sufi tidak takut neraka? Di sini puisi seorang sufi perempuan, Rabiah Adawiyah, menguraikannya. Baginya, yang didambakan seorang hamba yang jatuh cinta kepada Rabb-nya bukanlah keinginan masuk surga atau ketakutan akan neraka, tapi adalah perjumpaan penuh cinta dengan sang Kekasih. “Jika aku menyembah-Mu karena berharap surga, jauhkanlah surga itu dariku; Jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, cemplungkanlah aku ke dalamnya”.
Bagi sufi yang digelari Syahīd al-isyq al-ilāhī (sang saksi Kerinduan Ilahi), beribadah kepada Allah bukan tentang kalkulasi untung rugi, tapi karena sebuah kerinduan yang lahir dari samudera cinta yang tiada ibarat. Cinta tak memiliki alasan lain kecuali dari dan untuk cinta itu sendiri. Pecinta sejati pada akhirnya akan luruh dalam pelukan yang dicintai. Hendak ke mana mereka? Cinta yang akan menuntun langkah kaki yang bahkan mungkin tak pernah bisa dipahami oleh orang yang hatinya tak pernah disentuh cinta.
Dalam tradisi sufi ini pula kita menemukan kisah bagaimana rahmat Allah membuat seorang Bani Israil yang sudah seribu tahun dibakar api neraka akhirnya dientas Allah dan dimasukkan ke surga. Kok bisa? Jawabannya adalah karena orang itu terus berharap pada rahmat Allah, sang Rahmān Rahīm.
Apakah Anda mau memprotes Tuhan mengapa Dia memasukkan ke surga manusia yang sama sekali tak layak menjadi penghuni surga? Apakah Anda menganggap Allah tidak adil? Memang siapa Anda hendak mengusik kemutlakan kekuasaan Allah dan samudera kasih-Nya yang tak bertepi? [MZ, AS]