Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang

Dia Mencuci Piring Sebelum Makan

4 min read

Lazimnya, kebiasaan mencuci piring dilakukan orang sesudah makan. Jarang atau bahkan tidak pernah, orang mencuci piring sebelum makan. Kecuali terpaksa. Misal, tak ada lagi piring yang dipakai. Kotor semua. Maka dia akan cuci piring dahulu untuk itu. Supaya bisa makan dengan piring bersih.

Hal ini tidak berlaku untuk sulung saya. Tiap akan makan dia harus mencuci piring dahulu. Bukan apa-apa, ada alasannya. Alasan yang membuat saya pernah merasa useless, tidak berguna sebagai ibu. Sedih karena tak mampu memenuhi kebutuhannya. Padahal itu untuk hal primer yang menjadi kewajiban orang tua. Memberi makan anak.

Situasi rumah kala itu sedang genting, jangankan berpikir bisa mengirim uang untuk anak yang sedang kuliah. Bertahan bisa memenuhi kebutuhan perut untuk tak melilit saat menunggui bapaknya sakit bukan perkara mudah.

Dinding bangsal rumah sakit menjadi saksi, betapa untuk makan saya menggantungkan uluran tangan. Tidak masalah untuk pasien, belahan nyawa. Tapi untuk penunggu, dia harus berjuang mendapatkan. Kalau tak ada kiriman, puasa merupakan pilihan. Jalan terbaik melupakan lapar.

Sebagai guru swasta, saya dan suami menerima penghasilan tidak seberapa. Nominal gaji bila dikumpulkan antara saya dengan dia tak sampai menyentuh angka nol enam. Dalam kondisi normal, kami bisa mendapatkan pemasukan dari sumber lain. Dia menjadi guru les, saya keliling jualan makanan dan minuman.

Mampu mencukupi kebutuhan dasar, untuk makan, pun bayar tanggungan bulanan. Listrik, air, juga biaya sekolah adiknya yang masih belum lulus SD. Bahkan biaya hidup si sulung yang sedang kuliah semester awal tak pernah telat kami kirim. Meski jumlahnya sangat sedikit dibanding teman-temannya. Seratus ribu seminggu. Untuk makan dan apa saja kebutuhan hidupnya.

Sulung saya tidak pernah meminta lebih. Bahkan dengan ceria dia katakan bahwa untuk makan di lingkungannya cukup murah. Lima ribu rupiah sudah kenyang. Ambil nasi sendiri dengan lauk satu biji tempe dan kuah sayur plus segelas air putih. Itu artinya uang seratus ribu yang saya anggarkan untuk kebutuhannya tidak kurang. Pas, presisi. Ada lebih untuk beli sabun cuci.

Baca Juga  Kontribusi Alquran dalam Mengarusutamakan Budaya Literasi

Melupakan kirim untuk pertama kalinya saya lakukan. Ketika bapaknya tetiba mengeluh sakit perut dan harus rawat inap di Puskesmas. Seluruh pikiran tercurah padanya. Tidak ingat ada tanggungan yang harus rutin saya tunaikan. Mengirim uang mingguan bagi si Sulung.

Dia datang saat saya kabari bapaknya dirawat. Membantu saya berjaga, ikut melayani kebutuhan pula. Tidak meminta jatah ketika pamit akan kuliah, sungging senyum melenakan. Lupa kalau belum memberinya uang. Hingga lewat dua minggu baru saya tersadar.

Bapaknya masih sakit, rawat inap juga rawat jalan. Dirujuk ke rumah sakit kota, kondisi ini membuat saya menghentikan aktivitas pekerjaan. Izin tak mengajar juga berhenti jualan. Fokus pada yang sakit. Tak ada pemasukan, hanya mengandalkan kiriman dari saudara, teman dan handai taulan.

Sadar tak bisa memberi uang pada si Sulung saya katakan, “Maafkan ibu ya, lupa gak ngasih kamu jatah uang. Di samping itu kau tahu pula kondisi ibu begini, kalau memang kau tak bisa bertahan, terminal dulu ya. Nanti kalau kondisi sudah membaik. Ibu akan usaha lagi untuk biaya kuliahmu”.

“Sudah, ibu tenang saja. Gak usah mikir ngirimi saya uang. Konsentrasi merawat bapak saja, biar cepat sembuh. Ibu juga, jaga kondisi. Gak usah mikir aneh-aneh. Saya baik-baik saja kok. Selalu kenyang meskipun ibu tak mengirimi uang”.

“Kok bisa? Darimana kau dapatkan uang untuk membeli makan?”

“Ada deh, sudah jangan susah. Makan saya tiap hari mewah loh. Menu nasi Padang”.

“Ha, malah mahal. Yang hemat ya. Jangan boros-boros. Gak baik hutang”. Tetiba saja saya jengkel dengan gaya hidupnya, menuduh dia berhutang pula.

“Duh ibu ini suka nuduh. Saya tidak hutang bu. Makan di warung padang saya dapatkan tiap hari dengan gratis”.

Baca Juga  [Cerpen] Mimpi Maryam (2)

“Gratis? Bagaimana bisa?”sergah saya.

“Iya sudah dua minggu ini saya nyambi kerja di warung Padang. Dapat makan, dapat uang. Enak, bu”. Nada bicaranya gembira, tapi saya menitikkan air mata.

Hal yang tak pernah saya bayangkan. Dia harus jadi pelayan. Sedih menggayuti pikiran. Mestinya dia memikirkan belajarnya saja. Konsentrasi biar berprestasi. Ingin marah, tapi keadaan melarang.

Membandingkan dengan saya zaman kuliah dahulu, yang tak pernah telat uang. Ayah-ibu selalu mencukupi kebutuhan, tak pernah telat. Berkelebihan malah. Bisa untuk belanja di mall kota ketika akhir pekan tiba. Jalan-jalan, nonton, hangout, itu aktivitas saya dulu. Penuh sukacita. Tidak ada cerita tak punya uang. Malah tukang traktir teman yang kantongnya tipis.

Berbanding terbalik dengan kondisi anak saya, untuk bersenang-senang mana sempat dia. Bukan hanya tak ada waktu, uang dari mana coba.

Makin deras air mata di pipi. Bapaknya yang mendengar dari atas pembaringan kasur ruang kelas tiga rumah sakit mengulurkan tangan. Memanggil namanya.

“Lung, sini nak”.

Sulung saya yang dipanggil menghampiri. Dia sambut tangan bapaknya. Sunyi, hujan air mata menimpa pipi suami saya,”Maafkan bapak ya nak”.

Keduanya berpelukan. Saya lihat si Sulung berusaha sekuat tenaga mengatasi keadaan. Dari yang asalnya rona muka tegang, berangsur sumringah, seperti tak ada beban.

“Jangan menangis, Bapak. Saya bahagia kok. Makan enak tiap hari loh. Ganti ganti lauk terus. Ngambilnya sesuka saya”.

Melihatnya tenang saya berusaha menghentikan tangis pula. Memberi dia sebuah pertanyaan lagi.

“Itu bagaimana ceritanya. Kok bisa kamu diterima kerja di sana. Kan kamu masih kuliah?”

“Awalnya sih saya cuma nanya gini, ‘Bang ada pekerjaan nggak, saya lapar’. Lalu dia jawab ‘Ada, cuci piring mau? Tuh banyak. Tukang cuci piringnya sedang tidak masuk hari ini’. Ya saya jawab mau. Waktu itu pulang kuliah, hampir asar. Perut lapar banget”.

Baca Juga  Konsep Aswaja Perspektif Nahdlatul Ulama

“Trus, kamu cuci piring-piring itu?”

“Ya iyalah Bu, demi dadar telur gede yang terlihat menggiurkan di etalase”.

Ya, sulung saya penggemar telur memang. Makanan paling mewah yang menjadi menu andalan rumah.

Tak ingin larut dalam kesedihan, saya goda dia”, padahal kamu kan paling malas kalau disuruh cuci piring di rumah”.

Iya. Sesudah makan saja malas, apalagi ini sebelum makan, banyak lagi. Tapi demi telur dadar, cuci piring sebelum makan terasa ringan. Hehe…”.

“Syukurlah kalau kau tak merasa berat, jaga sehat ya, biar kuliahmu tetap lancar”.

“Ya bu. Saya akan buktikan itu. Lancar kuliah, lancar kerja pula. Jadi, ibu sekarang jangan sedih lagi. Gak usah mikir uang untuk saya. Ini saya punya”.

Dua lembar uang lima puluh ribuan dia tunjukkan. Satu diberikan saya. Satu lagi dimasukkan dompetnya.

“Ini apa?” Ternganga saya mendapati sikapnya.

“Buat beli nasi goreng nanti malam bu, yang pedas, seperti kesukaan ibu. Tapi awas, bapak jangan dikasih”.Kelakarnya ketika menjawab pertanyaan saya.

Tak lagi mampu saya bendung air mata ini. Gusti Allah, anak saya. Mestinya saya yang memberi. Bukan sebaliknya.

Bapaknya yang menonton adegan ini tersenyum, ada bening menggantung di dua bola matanya.

Tangis-tangisan menjadi pertunjukan berikutnya ketika si sulung pamit kembali ke asrama kampus. Doa ini terus bergumam. Kata hati-hati mengiringi pamitnya.

Pada sebuah kebekuan, pemandangan sepi tak ada riuh si Sulung lagi. Suami saya memanggil, meminta saya menghampiri. “Anak kita sudah besar ternyata. Biarkan dia berjuang. Aku bangga padanya. Dia akan jadi orang besar. Aku percaya itu. Tuhan akan membayar setiap keringat yang dia keluarkan”.

Lirih suami saya berkata. Tapi mampu membunyikan keyakinan bertalu-talu dalam dada. Susahnya akan dibayar Tuhan. Insya Allah! [AZH, MZ]

Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *