Tapi tahukah anda bahwa sebenarnya ada konglomerat yang tidak pernah disebut siapa atau apa dia? Dia yang bernama Muhammadiyah.
Bayangkan, Muhammadiyah memiliki amal usaha yang tersebar di seluruh bahkan pelosok pelosok wilayah Indonesia, di bidang pendidikan dasar dan menengah dijumpai 7.651 sekolah dan madrasah, di bidang pendidikan tinggi 174 universitas, sekolah tinggi, institut, dan akademi. Di bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terdapat rumah sakit 457, panti asuhan 318 buah, panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat 82 buah.
Untuk bidang sarana ibadah terdapat masjid dan musala sebanyak 11.198. Di samping itu, sejumlah Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM), Koperasi Matahari, minimarket, semakin memperlihatkan geliatnya yang signifikan (Abbas, 2015).
Valuasi aset Muhammadiyah yang dikalkulasi mendekati angka Rp. 320 triliun, belum lagi dana likuid (jangka pendek) yang tersimpan pada rekening yang dimiliki Muhammadiyah dan AUM, diperkirakan Rp. 15.000.000.000.000. (lima belas triliun rupiah) (Sudibyo, 2014). Dari jumlah sebesar itu, yang baru dimanfaatkan Muhammadiyah diestimasikan Rp. 1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah) atau hanya 10%.
Kenapa Muhammadiyah begitu besar asetnya? Salah satu penyebabnya adalah anggota, warga atau pengikutnya yang memiliki kesadaran (bisa dibaca fanatisme, atau militansi) tinggi bahwa Muhammadiyah hanya jalan dan alat berjuang dalam meraih rida Allah.
Banyak sekali masjid dibangun hanya dengan dana iuran warga muhammadiyah yang tak seberapa jumlah anggotnya, mereka rela dengan ikhlas menginfakkan sebahagian hartanya demi berdirinya masjid untuk beribadah.
Yang paling mengharukan dari mereka walaupun dengan segala kesulitan dalam membangun amal usaha mereka tak lantas ingin mengaku-aku amal usaha mereka. Mereka dengan ikhlas akan mewakafkan hasil usaha mereka pada ikatan bersama dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Hebatnya, semua Amal Usaha Muhaammadiyah (AUM) secara hukum hanya 1 (satu) pemiliknya, yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Faktor ini yang tidak akan dimiliki semua konglomerat yang katanya 1 orang menguasai 50 juta penduduk Indonesia hajat hidupnya. Saya bisa bayangkan Muhammadiyah juga NU dengan faktor fanatisme dan militansi pengikut tersebut jika membangun perekonomian dengan istilah sekarang “Jihad Ekonomi”, saya bisa pastikan para konglomerat yang ada di Indonesia tidak akan bisa seperti itu lagi bahkan bisa-bisa bangkrut. Kenapa?
Modal tidak hanya uang saja tetapi juga pengikut yang berkarakter dan jaringan, bahkan bisa dibilang modal pengikut yang berkarakter dan jaringan merupakan modal terbesar dan terkuat (social capital). Coba kita bayangkan seandainya Prof. Haedar Nashir sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah memaklumatkan “Jihad Ekonomi” dengan pemberdayaan Umat Islam terutama warga Muhammadiyah.
Misalnya, Muhammadiyah akan mendirikan “Bank Syariah MU” dan setiap Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting harus memiliki kantor cabang Bank Syariah MU. Selanjutnya, semua warga dihimbau melakukan pengaturan dan kebutuhan keuangannya di kantor-kantor Bank Syariah MU demi terbebasnya dari Riba.
Apa yang terjadi? Yang pasti 1/3 uang rakyat akan berpindah tempat dari bank-bank konglomerat tersebut ke Bank Syariah Muhammadiyah. Padahal selama ini kekuatan keuangan para konglomerat tersebut salah satunya dari faktor perputaran uang rakyat yang ditempatkan di banknya.
Ini baru dalam hal bisnis finansial. Belum bisnis minimarket dengan sistem jaringan dan fanatisme anggota, mendirikan pabrik penghasil produk sembako, air mineral, yang hasil produknya dipasarkan di jaringan minimarket se-Indonesia, juga pemberdayaan petani, nelayan, dan lain-lain.
Jadi, Muhammadiyah sebaiknya jangan hanya berkutat dalam dakwah kontemporer saja, tetapi harus merambah dakwah yang benar-benar berkemajuan. Orientasi akhirat wajib, namun urusan dunia jangan dilupakan. Karena ladang amal sebagai bekal akhirat itu ada di dunia. Pemimpin Muhammadiyah hanya bilang “Ayo…!!!”, yang di bawahnya pasti langsung bergerak baik tenaga juga dana. Karena di kalangan warga Muhammadiyah masih berlaku ungkapan “Meskipun saya miskin tapi kalau urusan Muhammadiyah, saya pasti sami’nā wa ata’nā, sebab saya tahu Muhammadiyah berjuang untuk Islam”. Nūn wa al-qalam wa mā yasthurūn. [MZ]
Sumber: Grup Alumni Magister Manajemen UMY