Rahmat Hidayat Zein Dosen STAIMABA Mojokerto

Kalangan Terdidik Kok Sukanya Membenci

2 min read

Terenyuh. Itulah perasaan yang sekarang menggumpal di pikiran saya. Menyikapi, setelah awalnya melihat dan membaca catatan yang beredar di sana sini. Entah itu catatan berupa status facebook, atau pula pesan berantai melalui whatsapp dan media sosial lainnya, yang di dalam beberapa tulisan tersebut terselip kata-kata yang bernada kebencian.

Satu orang, saya tidak sudi menunjukkan identitasnya, menyelipkan kata-kata “cecunguk” di badan tulisannya. Terbaca juga dalam tulisan beberapa orang lainnya yang sempat saya amati, selipan kata-kata “dungu”, “bodoh”, “antek zionis”, “anti-Islam” dan lain-lainnya. Sangat jelas sekali kata-kata itu muncul karena ada rasa benci di dirinya. Disadari atau tidak.

Yang membuat terenyuh lagi, orang-orang tersebut sungguh pantas disebut kalangan terdidik atau ulul albab dalam bahasa Alquran-nya. Itu berdasar pantauan saya ketika membaca tulisan-tulisannya, yang disamping ada nada kebencian, sebenarnya banyak pula yang berisi gagasan cerdas yang bermanfaat bagi masyarakat.

Pada akhirnya saya merasakan kebingungan dan tidak habis pikir, mengapa beberapa kala mereka bisa menulis dengan sangat baik, berisi gagasan yang menyegarkan, tapi di kala yang lain bisa pula menulis bernada kebencian dan penghinaan? Kan eman kalau seperti itu.

Penyebab dari keparadokan berpikir itu, yang melanda beberapa intelektual kita, saya kira diakibatkan munculnya perbedaan yang diperuncing. Awalnya memang wujudnya perbedaan aspirasi politik. Kemudian oleh beberapa pihak, perbedaan politik itu ditarik ke ruang agama.

Dari situlah perbedaan yang sebenarnya harus dikecilkan itu, menjadi semakin membesar dan melebar. Hingga kemudian merambah ranah sosial, terutama di dunia maya, yang mengakibatkan suhu politik kebangsaan kita sempat tidak semakin dingin, tapi justru semakin panas.

Kalangan terdidik idealnya harus bisa mengimbangi “gerakan pembelahan” itu dengan menciptakan gagasan yang bisa menetralisir situasi. Sebab, sungguh sangat berat risiko yang akan ditanggung bangsa ini, jika gerakan tersebut tidak ada yang merespons dengan cerdas, bijak dan objektif.

Baca Juga  Merangkul Keberagaman Agama: Menumbuhkan Toleransi dan Pemahaman

Tapi naasnya, mohon maaf harus saya utarakan, para intelektual tersebut – meminjam istilah Gus Mus – tidak jejeg melihat situasi itu. Seharusnya mereka menetralisir, menjelaskan baik-buruk fenomena kebangsaan itu.

Memandang dengan adil problematika itu. Lalu memberikan arahan, apa yang terbaik dan paling ideal dilakukan. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak dari orang-orang tercerahkan itu tersapu pula arus politik yang menyamping ke kanan dan ke kiri. Mereka pun menjadi pembela arah ke mana ia mengikuti arus tersebut.

Jadilah kecondongan ke satu “arah” tersebut, menutupi pemikiran objektifnya. Bahkan pada anasir-anasir yang harusnya tidak pantas diucapkan atau dituliskan kepada orang lain. Nalar orang awam yang hidup di lembah gunung saja pasti menyalahkan seseorang yang menyatakan rasa bencinya kepada orang lain dengan kata-kata yang tidak pantas, misalnya “kamu bodoh”, “orang itu goblok”, “dia termasuk temannya setan”, dan lain-lainnya.

Membenci saja, sesuai moral dan ajaran agama, seyogianya dijauhi. Kalau ada di dalam hati, sebisa mungkin dihilangkan. Apalagi kebencian itu diwujudkan dengan ujaran verbal dan tekstual, yang didengar dan dibaca orang yang dibenci dan orang lain. Sungguh setan akan tertawa gembira, karena tugas mengadu domba dan menjauhkan manusia dari sikap rukun, sudah dikampanyekan sendiri oleh bangsa manusia. Kata setan, “Kampanye gratis nih ye”.

Di sinilah urgensinya untuk kita semua, wabil khusus orang-orang tercerahkan bangsa ini, supaya berhati-hati dalam bersikap, berbicara dan menulis pemikirannya. Tetap pegangi prinsip para intelektual yang terpatri dalam Alquran tentang silaturrahmi, dakwah bilhikmah, mauidhah hasanah, jidāl billatī hiya ahsan, dan tentang tawashau bil haq was shabr.

Kalau lupa dengan itu, bisa keblinger kita ini.
Atau jangan melupakan tugas sebenarnya dari para intelektual tercerahkan. Apa tugas mereka? Menurut budayawan Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid, 1999) di ranah nasional tugas para intelektual itu merujuk pada tiga hal: industrialisasi, demokratisasi dan pluralisasi.

Baca Juga  Apakah Selama Ini Rasisme Adalah Produk Demokrasi?

Di bidang industrialisasi, tugas nyata itu berwujud advokasi terhadap adanya penggusuran, perampasan, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lainnya. Di ranah demokratisasi para intelektual seyogianya menyadarkan pemerintah untuk tidak mengeksploitasi rakyat dan kepada rakyat disadarkan bahwa berbangsa itu tidak sekadar berpolitik. Dan di ranah pluralisasi, ini paling berat, para intelektualis diharapkan mampu mengikis lingkaran setan kecurigaan dan agresivitas dalam masyarakat di kancah bangsa yang beragam suku, agama, ras dan keyakinan. Dialog kebangsaan itulah yang paling utama.

Jika disederhanakan, tugas kalangan terdidik bukanlah menyimpan rasa benci dan menyebar kebencian itu. Tetapi, mengayomi kita-kita ini, yang awam akan ilmu dan pengetahuan, untuk bersama-sama hidup berdampingan, rukun, merangkul dan bisa menghadapi tantangan kemajuan zaman. Sebab kalau ternyata tugas ini tidak disadari oleh para intelektual tercerahkan, maka di ujung sana, sudah menunggu Kang Paidi, Kang Jumadi, Kang Sholikin, Kang Parman, dan kang-kang lainnya untuk menggantikan posisi Anda. [MZ]

Rahmat Hidayat Zein Dosen STAIMABA Mojokerto