Berangkat dari pengalaman bangsa Eropa dan Amerika di mana revolusi yang dilakukan untuk menuntaskan ketimpangan sosial sejak abad 19, Indonesia sendiri menganut konsep demokrasi sebagai dasar negara mewujudkan keadaan keberagaman Indonesia. Namun konsep demokrasi Indonesia selama ini hanyalah konsep idea semata.
Pancasila menjadi fondasi atau titik temu berbagai keragaman manusia Indonesia dari suku, agama, ras, adat-istiadat, dan corak berpikir. Kata Bung karno, “Pancasila harus bisa menggerakkan rakyat untuk berjuang menggapai cita-cita,”
Pinsip kebhinekaan yang Indonesia yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia sebetulnya masih merupakan legitimasi ideologi negara. Masyarakat belum cukup dewasa dalam menghidupkan konsep keberagaman. Bangsa Indonesia tidak jarang kehilangan momentum dalam melihat fenomena krisis keberagaman yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Baru-baru ini beredar foto surat pelarangan rumah ibadah di desa Ngastemi, Mojokerto. Demikian halnya dengan video yang beredar di dunia maya terkait sebuah mushala di tangerang yang dicoret dengan kalimat “saya kafir” yang diikuti dengan berserakannya kitab al-Quran di lantai.
Sebelum itu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mencatat, sejak Januari hingga awal Mei 2020, setidaknya terdapat tiga puluh delapan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tersebar di enam belas provinsi. Provinsi dengan kasus terbanyak adalah Sulawesi Selatan dengan enam kasus. Disusul oleh Jawa Timur dan Maluku Utara dengan masing-masing lima kasus.
Menurut Direktur YLBHI, Asfinawati, mengingat niat atau kesengajaan cenderung tidak dibuktikan dalam kasus-kasus penodaan agama, hal ini justru menjadi salah satu sebab kriminalisasi kebebasan beragama, berkeyakinan atau berpendapat melalui pasal 15a KUHP ataupun Pasal 27 (3) dan 28 (2) UU ITE.
Polemik yang terjadi menunjukan Indonesia mengalami krisis keberagaman. Sejarah kelam tangisan Indonesia Timur tentu menjadi cambuk bagi sistem demokrasi di negara Indonesia. Politik identitas seakan-akan menjadi dasar bagi negara Indonesia. Kata demokrasi hanyalah mimpi dan tidak efektif dalam dunia yang nyata. Negara Indonesia telah merdeka selama tujuh puluh lima tahun, umur yang tidak lagi muda, namun belum cukup dewasa dalam menciptakan keharmonisan umat beragama.
Berkaca dari konflik agama di Maluku yang terjadi pada tahun 1999 yang menimbulkan duka cita mendalam bagi masyarakat. Konflik yang diduga merupakan permainan dari sebuah politik masa Orde Baru telah meruntuhkan slogan kebangsaan kita: “Berbeda-beda tapi tetap satu”. Jangan-jangan, kata “satu” memiliki arti hanya satu yang benar.
Dalam pidato Presiden Jokowi Widodo di Sidang Umum PBB, “Tujuh puluh lima tahun usia PBB di bentuk agar perang dunia II tidak terjadi kembali. PBB diciptakan untuk membawa damai. Apakah kata damai sudah tecapai dalam dunia? Jawabnya belum, konflik masih terjadi di dunia. Indonesia sebagai peacebuilder dalam membantu PBB”.
Tergambar sebuah pesan dari pidato Presiden Jokowi tersebut bahwa hendaknya seluruh negara yang tergabung dalam PBB dapat bekerjasama agar dunia bisa damai.
Pertanyaanya, apakah Negara Indonesia selaku peacebuilder dunia telah berhasil menciptakan perdamaian di negaranya sendiri? Bagaimana negara Indonesia berbicara tentang perdamaian dunia sementara rakyatnya masih berada dalam krisis keberagaman?
Rekonstruksi Kebhinekaan Indonesia
Kata “kebhinekaan” mengandung makna keberagaman. Dalam catatan sejarah Indonesia, bangsa ini berhasil mencapai kemerdekaan disebabkan memiliki agama, ras, suku yang beragam. Seluruh bangsa bersatu demi menciptakan perdamaian di negara Republik Indonesia. Kata kebhinekaan bukan hanya dilihat sebagai jargon ideologi negara, melainkan sebagai bentuk kesadaran akan pentingnya keberagamaan di Indonesia. Pentingnya kerjasama antarseluruh masyarakat demi menciptakan perdamaian di Indonesia.
Krisis keberagaman di negara Indonesia diakibatkan kepentingan individualistik tanpa melihat kolektifitas dalam masyarakat. Mengutip kalimat Smith dalam bukunya Agama-agama Manusia:
“Bukankah masing-masing agama itu mengandung bentuk tertentu dari “hukum utama”, hukum cinta akan semua manusia? Bukankah semua agama itu beranggapan bahwa sikap mementingkan diri sendiri itu merupakan sumber kesulitan hidup manusia dan berusaha untuk membantu manusia itu untuk mengatasi kesulitan itu? Bukankah setiap agama itu mengakui adanya satu dasar Ilahi yang bersifat universal dari mana berasal seluruh manusia ini, dan di mana harus dicari kebaikan manusia yang sebenarnya itu? Jika semua kebenaran yang diperlukan bagi keselamatan manusia itu bisa ditemukan dalam suatu agama, maka kebanaran itu juga bisa ditemukan dalam tiap–tiap agama besar lainnya.”
Kutipan di atas mengandung pengertian bahwa dalam setiap agama, hukum yang terutama ialah hukum cinta. Dengan kata lain, dalam konteks keindonesiaan dewasa ini, konsep keberagamaan dapat terwujud apabila hukum agama diubah menjadi hukum kebhinekaan. Dengan demikian, seluruh agama dapat mengedepankan kesatuan bangsa daripada hanya melihat keselamatan satu agama. Keselamatan itu ada pada khebinekaan bangsa Indonesia yang makmur, harmonis dalam pelbagai suku bangsa dan agama.
Agama dan Budaya Mewujudkan Perdamaian
Menurut Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, “Islam di Indonesia itu timbul dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan, maka kemungkinannya ada dua, yaitu pertama kebudayaan akan mati, kedua Islam akan hancur. Pesan saya, jadilah pemikir yang sehat.”
Pernyataan Gus Dur itu sejalan dengan penelitain dari Salakory yang mengkaji tentang peran Islam di Maluku. Maluku dikenal dengan kebudayaan yang kuat, antara lain simbol nama pranata budaya, yaitu Nama Teong di Negeri Haya (Nakajarimau).
Kata “Naka” atau “Naga” sangat mungkin karena adanya perjumpaan dengan para pedagang dari Cina pada abad ke-15 sebelum datangnya bangsa Eropa. Hal ini terlihat dari temuan beberapa keramik antik yang diduga berasal dari Cina pada zaman Dinasti Qing. Sedangkan kata “Harimau” atau “Jarimau” sangat mungkin memiliki keterkaitan dengan perjumpaan dengan penyiar Islam dari luar.
Likur Samalehu merupakan penyiar agama Islam berasal dari Arab, yang dalam jalur pelayaran melewati Buton, dan setelah itu pada tahun 1625 menuju ke Seram Selatan. Nama Teong Negeri (Nakajarimau) merupakan penghormatan terhadap kepemimpinannya yang telah memimpin serta melindungi seluruh masyarakat dari bahaya eksternal (Salakory, 2020).
Jadi, benar apa yang dikatakan Gus Dur bahwa agama itu untuk membawa kebaikan bagi sesama. Begitu pun dalam kajian Salakory ditemukan bahwa agama dan budaya menjadi satu untuk mengedepankan kemanusiaan. Indonesia adalah sebuah negara yang sangat beragam baik suku, agama maupun budayanya. Sehingga, demokrasi yang dinarasikan dalam Pancasila seyogyanya dihidupkan dalam relasi kehidupan antar sesama manusia. [AZH]