Dua tahun yang lalu, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) bernama Rizki mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP). Bersama dengan paman dan Jaringan Advokasi Nasional (JALA) PRT, perempuan asal Cianjur itu melaporkan kasus kekerasan yang dilakukan oleh majikannya.
Ia bercerita bagaimana majikannya melakukan siksaan demi siksaan terhadapnya: dipukul dengan raket tenis, ditendang, rambutnya dibabat habis hingga dipaksa telanjang untuk kemudian direkam. Nasibnya kian tragis ketika mendapati gajinya tak dibayar utuh. Ia mengaku hanya dibayar 2,7 juta oleh majikannya selama bekerja 6 bulan.
Kasus yang dialami oleh Rizki adalah satu dari rentetan kasus yang jamak dialami oleh PRT. Memang, bisa dibilang PRT sebenarnya adalah pekerjaan yang riskan. Ini bisa dilihat dari data Jaringan Advokasi Nasional (JALA) PRT bahwa sepanjang tahun 2018-2023 banyak kasus kekerasan baik fisik, psikis, maupun ekonomi yang dialami oleh PRT saat bekerja.
Selain mendapatkan perlakukan yang tak manusiawi dari majikan, upah yang mereka terima juga tak jarang ditunggak dan dipotong ketika sakit dan tidak dapat bekerja. Karena itulah, tak mengherankan apabila perjuangan akan nasib PRT terus dilakukan hingga sekarang.
Mangkrak Selama 20 Tahun
Sebenarnya sudah sejak zaman Orde Baru masalah perlindungan terhadap PRT diperjuangkan. Namun, perjuangan itu masih sebatas pada pembentukan kelompok paguyuban dan arisan. Sehingga, hasil yang diperoleh terbatas dan tak terlalu berdampak besar.
Pada masa reformasi—bertepatan dengan Pemilu tahun 2004—perjuangan melindungi PRT kemudian dilakukan pada ranah hukum. Kala itu, beberapa kelompok LSM mengajukan naskah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ke meja DPR. Di masa ketika atmosfer politik berubah dan janji-janji perubahan kerap digaungkan dari mulut pejabat, RUU tersebut nyatanya hanya mangkrak di meja DPR dan hilang dari pembicaraan umum.
Barulah tujuh tahun kemudian ketika International Labour Organization (ILO) mengeluarkan Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang mensyaratkan perlindungan formal-legal PRT mengenai upah minimum, jam kerja, penghapusan PRT anak, jaminan hak berserikat dsb, perlindungan hukum bagi PRT kembali dibicarakan.
Dengan maksud untuk tidak meratifikasi konvensi ILO itu, Komisi IX DPR kemudian membentuk panitia kerja yang membahas RUU Perlindungan PRT. DPR bahkan sempat melakukan studi banding ke Argentina dan Afrika Selatan untuk melihat kondisi PRT yang ada di sana. Entah atas dasar apa memilih dua negara tersebut sebagai objek studi banding, pembicaraan RUU tersebut kembali lenyap dan tak ada kabar sama sekali bahkan setelah Pemilu 2019.
Kini, tuntutan untuk segera mensahkan RUU tersebut kembali bergema, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Ini berawal dari pengesahan RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR yang akan diselesaikan pada Maret silam. Namun, hingga masa tugas DPR berakhir, tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai RUU tersebut. Sehingga, mangkraknya pembahasan RUU tersebut kini memasuki umur 20 tahun.
Permenaker Yang Tak Melindungi PRT
Sebenarnya terdapat perlindungan hukum yang dimiliki oleh PRT. Namun, regulasi mengenai hal itu terpencar-pencar dalam berbagai undang-undang. Di antaranya adalah UUD 1945, KUHP, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dsb. Karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan regulasi khusus bagi PRT yang termaktub dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 2 Tahun 2015 tentang PPRT.
Kendati demikian, regulasi tersebut belum mampu menjawab problem substantif yang menghinggapi PRT. Penyebabnya adalah ketidaksesuaian antara regulasi dengan realitas. Pasal 5 Permenaker mengatur bahwa pemberi kerja (majikan) dan PRT harus memiliki kesepakatan lisan dan tertulis terkait hak dan kewajiban PRT. Namun, fakta di lapangan menyebut bahwa kesepakatan itu lebih banyak berupa lisan belaka. Sehingga, perlindungan hukum absen ketika sengketa antara majikan dan PRT terjadi.
Selain itu, Permenaker tidak mengacu pada UU ketenagakerjaan. Ini mengakibatkan hak kesejahteraan, perlindungan, dan pengupahan yang biasanya dimiliki oleh pekerja tak bisa dimiliki oleh PRT.
Problem lain yang jauh lebih akut dari Permenaker itu ialah paradoks antara tujuan dan isi. Dalam penelitian yang berjudul Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga dan Perlindungan Hukum di Indonesia, Yudi Azhari dan Abdul Halim menyebut bahwa Permenaker itu memang bertujuan untuk melindungi PRT, namun secara proporsi lebih banyak mengatur lembaga penyalur yang dimanifestasikan dalam perizinan, jangka waktu, perpanjangan izin, kewajiban, dan sanksi lembaga penyalur.
Itulah mengapa Permenaker tak mampu mengakomodasi hak-hak PRT dan bahkan lebih jauh melindungi PRT itu sendiri. Solusi riil yang kemudian harus dilakukan adalah mendorong pengesahan RUU PPRT.
Menurut Ja’far Suryomenggolo, ahli perburuhan, keengganan untuk mengetok palu RUU PPRT merupakan upaya elit untuk melanggengkan eksploitasi. Ia yakin bahwa banyak dari jajaran pejabat yang memiliki PRT di rumah, sehingga susah bagi mereka untuk mengakomodasikan hak-hak PRT dalam regulasi hukum.
Dengan demikian, mendorong pengesahan RUU PPRT adalah upaya massa melawan elit. Ini mengingat ada sekitar 4,2 PRT berdasarkan survei JALA PRT pada 2018. Sekalipun susah, ini bukanlah perjuangan yang mustahil. Kita bisa belajar dari pengesahan RUU TPKS, di mana banyak orang yang entah pernah mendapatkan tindak kekerasan seksual atau tidak terlibat mendukung pengesahan itu, baik melalui dunia maya maupun nyata.
Hal yang serupa juga mesti dilakukan dalam perjuangan pengesahan RUU PPRT, di mana semua orang mesti terlibat entah yang menjadi PRT atau bukan. Ini dilakukan atas dasar kemanusiaan untuk tak hanya memutus kekerasan PRT, melainkan juga melindungi hak-hak PRT. [AA]