Siapa yang tidak mengenal Bali? Pulau yang sudah menjadi ikon pariwisata dunia, terkenal dengan pantai-pantai memesona, dan budaya Hindu yang eksotis dan estetis? Saya rasa, sudah jelas dan pasti bahwa semua orang tahu Bali. Namun, tahukah bahwa budaya dan tradisi di Bali tidak hanya tentang Hindu?
Ada sisi lain Bali yang jarang diketahui orang. Di Bali terdapat komunitas Muslim yang cukup besar, hidup berdampingan dengan budaya lokal Hindu, dalam harmoni yang luar biasa. Tempat itu adalah Kampung Loloan. Dalam perjalanan bersama Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, saya berkesempatan menjelajahi kampung ini.
Begitu kami tiba di Kampung Loloan ini, suasananya langsung terasa berbeda. Lain dari tempat-tempat di Bali sebagaimana pada umumnya, penduduk di sini berbicara dalam Bahasa Melayu. Logatnya khas, mengingatkan saya pada komunitas-komunitas di Sumatera atau Malaysia. Bahasa Melayu memang menjadi bahasa sehari-hari di sini. Beberapa kata dari Bugis dan Bali sebagian juga masuk dalam percakapan. Mengingat penduduk di sini mayoritas etnis Melayu, dibarengi Jawa, Bugis, dan Bali itu sendiri. Begitu kurang lebih kata Syukron Hadiwijaya selaku lurah setempat.
Kami memulai perjalanan dengan mengunjungi Masjid Agung Baitul Qadim. Masjid ini adalah masjid tertua yang masih bertahan di Bali, berdiri sejak tahun 1670-an. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol keberadaan Islam di Bali. Dengan arsitektur yang ciamik dan penuh akan ornamen Bali, masjid ini menjadi pusat spiritual masyarakat Loloan.
Ust. Syaikhurrofiq, ketua takmir masjid, menyambut kami dengan ramah dan menceritakan kisah tentang tradisi keberagamaan di kampung ini. Mulai dari agenda harian hingga perayaan-perayaan hari besar. Termasuk, kegemaran warga setempat mewakafkan tanah mereka untuk masjid, sehingga total asetnya kini bernilai lebih dari satu miliar rupiah, turut menjadi bahan obrolan. “Masjid ini adalah jantung kampung,” katanya. “Di sinilah kami berkumpul, beribadah, menguatkan ukhuwah, dan menjaga tradisi.”
Sejarah Islam di Kampung Loloan dimulai pada abad ke-17, ketika para pelarian Bugis datang ke Jembrana akibat perang Gowa-Tallo melawan VOC. Mereka diterima oleh Raja Jembrana, yang memberikan mereka tanah untuk menetap. Sebagai gantinya, mereka membantu menjaga keamanan kerajaan dengan keahlian bela diri mereka. Lambat laun, komunitas ini berkembang dengan kehadiran pendatang dari Sumatera, Pontianak, Serawak, dan Nusa Tenggara. Meski beragam, masyarakat Loloan tetap menjaga identitas asali mereka. Semua diikat dalam kesepakatan dan kesepahaman, mengedepankan harmoni di tengah perbedaan.
Tradisi di Kampung Loloan dikatakan masih cukup terjaga hingga sekarang. Salah satu yang paling menarik adalah prosesi pernikahan yang terdiri dari tahapan ngangeni, lamaran, akad nikah, hingga ketipat lepas. Setiap tahap memiliki makna, melambangkan penyatuan dua keluarga. Ada juga tradisi ngejok, yaitu bertukar makanan saat Lebaran, yang menjadi cara masyarakat mempererat hubungan dan menjaga silaturahmi, walau lintas iman sekalipun. Selain itu, pembacaan burdah dan hikayat masih menjadi bagian dari kehidupan di sini. Hikayat sering diceritakan kepada anak-anak sebelum tidur, bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk menanamkan nilai moral dan agama.
Namun, seperti banyak komunitas lain, Kampung Loloan juga menghadapi tantangan modernisasi. Bahasa Melayu yang dulu menjadi kebanggaan, oleh generasi muda, mulai jarang digunakan. Globalisasi membuat anak-anak lebih tertarik pada istilah-istilah modern daripada tradisi lokal. “Anak-anak sekarang lebih banyak mengikuti budaya luar,” kata Ust. Syaikhurrofiq dengan nada prihatin. “Makanya untuk menjaga tradisi ini, pemerintah Jembrana mencoba menjadikan Kampung Loloan sebagai destinasi wisata religi. Dengan langkah ini, diharapkan tradisi kampung ini bisa tetap lestari sekaligus diperkenalkan kepada dunia luar.”
Selanjutnya, yang membuat Kampung Loloan semakin menarik adalah bagaimana masyarakat Muslim di sini hidup berdampingan dengan komunitas Hindu di sekitarnya. Prinsip menyame bebraye, atau hidup rukun bersama, benar-benar terasa nyata di sini. Salah satu simbol toleransi adalah Pura Majapahit. Di pura ini, penggunaan sesembahan berupa daging babi dilarang sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam yang pernah menjaga pura tersebut. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, banyak penduduk Hindu sampai latah terbawa mengucap “Alhamdulillah” atau “Insya Allah” ketika sedang mengobrol. Kehidupan di Kampung Loloan terasa sangat harmonis, seperti sebuah simfoni yang berjalan tanpa nada sumbang.
Namun, perjalanan menuju harmoni ini tidak selalu mulus. Konflik budaya pernah terjadi, terutama pasca banyaknya arus pendatang dari tanah Jawa. Demikian berdasarkan keterangan dari Hasyim Ma’ali, seorang anggota DPRD Jembrana yang kami temui. Masalah kenakalan remaja kadang kala ada sebagian yang menyeret isu SARA. Fanatisme dan radikalisme agama juga sempat menjangkit, terlebih dengan pecahnya tragedi Bom Bali.
Akan tetapi, menurut pak dewan, masyarakat Loloan selalu mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. “Di sini, yang penting adalah duduk bersama, saling dengar, saling memahami, demi terus hidup harmonis sama-sama,” katanya. Adapun jika musyawarah tidak menghasilkan solusi, mau tidak mau akan melibatkan pihak berwajib untuk menyelesaikan masalah.
Kemudian, hal lain yang menjadi kebanggaan masyarakat Kampung Loloan adalah tradisi belajar agama langsung ke Mekah. Pada masa lalu, banyak pemuda dari kampung ini didorong untuk menempuh perjalanan panjang, mendalami ilmu agama langsung dari tanah suci. Sayangnya, lambat laun tradisi ini mulai memudar. Meski begitu, beberapa tokoh seperti Ust. Tamsil tetap melanjutkan jejak tersebut melalui pendidikan di Universitas Darussalam Gontor, sebagai jembatan untuk kemudian menempuh studi di Mekah.
Lantas, saya penasaran dan ingin mendengar kisah menarik tentang peran perempuan di kampung ini. Dikatakan, perempuan di Loloan juga memainkan peran besar dalam pendidikan agama, tapi mungkin jarang mendapat sorotan sebagaimana laki-laki. Dijelaskan bahwa pada faktanya banyak dari mereka menjadi guru ngaji, mengajarkan nilai-nilai agama kepada generasi muda. Hal ini dikarenakan perempuan dinilai bak mutiara yang mesti terlindungi dan terjaga, bahkan ada tradisi awik, yaitu penggunaan cadar khas dengan kearifan lokal. Ini sekaligus menunjukkan, bagaimana perempuan di sini menjalankan syariat tanpa meninggalkan budaya setempat.
Demikian catatan perjalanan ke Kampung Loloan yang bagi saya meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat di sini tetap menjaga identitas sebagai Muslim. Pada saat yang sama, mereka mampu hidup berdampingan dengan budaya Hindu Bali yang tentu sangat dominan. Harmoni yang tercipta di Kampung Loloan bukan hanya soal toleransi, tetapi juga apresiasi yang tulus terhadap perbedaan. Kampung ini adalah bukti bahwa moderasi dan keberagaman bukan sekadar konsep, tetapi sesuatu yang nyata. Harmoni dan moderasi hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, sebagaimana yang saya lihat di Kampung Loloan Bali.