Umat Islam di Indonesia tidak pernah mendapatkan kebebasan politik yang lebih baik dari yang dirasakan saat ini. Pada masa lalu, ketika kolonialisme sedang berkuasa, aktivitas politik umat Islam sangat dibatasi. Kemudian, pada masa awal kekuasaan Presiden Sukarno sampai 1959, umat Islam mendapat kebebasan politik dengan waktu yang singkat. Kemudian, kebebasan politik para oposan (termasuk Islam) dibatasi oleh sang proklamator dengan dalih menjaga arah revolusi.
Situasi kelangkaan kebebasan politik umat Islam terus terjadi hingga akhir kekuasaan Presiden Suharto. Rezim otoriter tersebut menggunakan kekuatan militer untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok lain termasuk kelompok Islam. Hingga masa terakhir Orde Baru tersebut aspirasi dan gerakan politik umat Islam tidak pernah mendapatkan kebebasan untuk berartikulasi.
Islam dan Demokrasi Era Reformasi
Kebebasan berpolitik umat Islam di era reformasi ini dirayakan dengan gegep gempita hingga banyak aspirasi keumatan menghiasi ruang publik kita. Tak jarang berbagai aspirasi politik tersebut kerap membuat kebisingan politik dengan melanggar batas karakter universalitas argumen yang layak disampaikan di ruang publik.
Proses demokrasi di Indonesia tidak pernah menghasilkan diferensiasi antara mana aspirasi privat dan mana yang aspirasi publik. Sehingga kadang umat Islam tidak memahami bahwa argument subyektif agamanya tidak boleh tampil untuk diperdebatkan di ruang publik.
Situasi demokrasi di Eropa berbeda. Di sana, demokrasi berkembang dengan spirit untuk keluar dari politik teokrasi yang dikuasai oleh gereja. Sehingga demokrasi politik Eropa membatasi agama untuk tampil di ruang.
Berbeda dengan yang terjadi di Eropa, di sini demokrasi tidak pernah berhadapan dengan kekuasaan politik teokrasi yang dikuasai dogma agama. Sehingga kelompok agama (termasuk Islam) tidak pernah dipaksa untuk membedakan mana aspirasi politik subyektif-privat internal agama dan mana aspirasi obyektif-publik yang dapat dipraktikkan di ruang publik yang memiliki karakter pluralis.
Demokrasi era reformasi saat ini dihantui problem ruang publik negara yang dipenuhi oleh aspirasi subyektif-privat ajaran agama umat Islam. Aspirasi politik seperti: anti pemimpin non muslim, anti alkohol, dan berbagai perda syariah telah menerobos ide-ide ruang publik yang pluralis.
Di era demokrasi, umat Islam hendaknya memahami ide tentang politik demokratik yang mana tidak diperkenankan membawa aspirasi subyektif agama Islam ke panggung publik. Umat harus memahami bahwa demokrasi hanya dapat mengakomodir aspirasi agama yang nilainya universal.
Islam dan Ide Masyarakat Post Sekuler
Angin segar kebebasan dan demokrasi yang dirayakan di Indonesia saat ini adalah sebuah kondisi yang paling menguntungkan bagi umat Islam dibandingkan dengan situasi demokrasi yang dialami umat Islam lain di negeri demokrasi lain.
Di Perancis, konsep sekulerisme (laicite) tidak memberikan kebebasan ekspresi dalam kehidupan publik sehari-hari. Di sana orang Islam dilarang berjilbab di ruang publik, orang Sikh juga dilarang pakai sorban, dan orang Yahudi dilarang pakai topi lepeknya.
Hal serupa terjadi di Turki. Demokrasi dengan haluan sekulerisme di sana juga dipraktikkan sangat kaku dengan melarang segala simbol-simbol agama di ruang publik. Perempuan di sana tidak boleh memakai jilbab dan dilarang beribadah di ruang publik.
Suasana berbeda ada di Indonesia. Demokrasi di Indonesia tidak melarang semua agama memakai pakaian dan simbol-simbol agama di ruang publik. Para perempuan muslimah boleh memakai jilbab di ruang publik dan umat Islam boleh memakai ruang publik untuk acara keagamaan seperti pengajian.
Demokrasi di Indonesia tidak membatasi penggunaan simbol agama untuk pernak-pernik kehidupan sehari-hari. Demokrasi di Indonesia hanya membatasi aspirasi politik yang sifatnya adalah subyektif. Demokrasi di Indonesia mendorong partisipasi politik kalangan agama dengan batasan harus dengan argumentasi universal dari ajaran-ajaran agama.
Secara konseptual, demokrasi dan konsepsi masyarakat Indonesia lebih dekat dengan konsep masyarakat Post Sekuler yang digagas filsuf berusia senja asal Jerman, Jurgen Habermas. Filsuf generasi akhir Mazhab Frankfrut tersebut mengoreksi gagasan sekulerisme kaku yang sebelumnya digagas oleh para filsuf Barat-Eropa.
Budi Hardiman, seorang yang otoritatif tentang pemikiran Jurgen Habermas dalam pengantar buku Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Post SekulerMenurut Jurgen Habermas (2015) karya Gusti A. Menoh mengatakan bahwa Habermas mengoreksi konsepsi sekulerisme yang sebelumnya menghilangkan semua pengaruh agama di dalam ruang publik.
Habermas memiliki pandangan bahwa aspirasi agama yang sifatnya universal masih boleh untuk dipertarungkan di ruang publik. Aspirasi agama yang bersifat universal boleh saja diperdebatkan dengan argumen sekuler di ruang publik berguna untuk sebagai wahana saling belajar dan berdialektika antara kaum berama dan kaum sekuler.
Pandangan kritis Habermas atas sekulerisme tersebut jika direfleksikan belakangan ini sangat relevan. Di Eropa sendiri, dimana sekulerisme diterapkan dengan ketat nyatanya tidak dapat membunuh keyakinan agama di masyarakat. Justu saat ini negara sekuler di Barat memiliki kebingungan untuk mengelola banyaknya aspirasi politik dengan latar agama di Barat.
Terobosan Habermas sangat kontekstual untuk dunia hari ini. Demokrasi dan ruang publik harusnya tidak mendiskreditkan agama, namun harus memberikan batasan jenis argumentasi mana yang boleh untuk menjadi dasar kebijakan publik. Aspirasi politik yang sifatnya universal boleh menjadi bahan perdebatan dalam pembuatan kebijakan publik.
Konsepsi masyarakat Post Sekuler ala Habermas ini sedikit banyak tanpa kita sadari sudah kita praktikkan sejak masa reformasi. Kebebasan memakai simbol agama dalam kehidupan sehari-hari di ruang publik di negeri kita tidak pernah dilarang. Situasi seperti ini adalah keberkahan politik yang tidak ada nilai bandingannya.
Terlepas dari berbagai kemajuan demokrasi dan kebebasan masyarakat tersebut memang masih ada beberapa hal yang dikoreksi. Masih ada sebagaian aktivitas dan argumentasi politik umat Islam yang melewati batas universalitas argument. Masih ada nuansa politik Islam yang subyektif yang didesakkan ke ruang publik. Persoalan yang demikian inilah tantangan kita bersama. (mmsm)