Dengan dialek Melayu yang khas dan ramah, seseorang menceritakan banyak hal tentang kehidupan masyarakat di Kota yang sedang saya kunjungi, Kota Singakawang. Kota yang tepat saat saya berkunjung (17/10) tengah merayakan ulang tahun ke-22.
Namanya Yudi, warga etnis Melayu yang usianya terbilang masih cukup muda. Ia menuturkan bahwa masyarakat di kota ini secara garis besar terdiri dari tiga unsur etnis: Melayu, Tionghoa, dan Dayak. Sebagian kecil terdiri dari Jawa, Madura, Bugis, Minang, dan lainnya.
Sambil mengemudikan mobil yang kami tumpangi, Yudi dengan antusias menceritakan kehidupan masyarakat yang penuh dengan toleransi. Ia menuturkan bahwa sejak dulu memang masyarakat di kota ini saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, termasuk perbedaan etnis dan agama.
“Masyarakat di sini itu saling menghormati satu sama lain. Masyarakat Tionghoa biasa pakai bahasa Mandarin, Bang. Bahkan sebagian besar masyarakat lokal (Melayu dan Dayak) juga yang fasih berbahasa Mandarin.”
Mendengar penuturannya, saya kaget karena takjub sekaligus terkejut. Dalam benak, saya bergumam, “Ini kah salah satu praktik baik yang membuat Kota Singkawang tiga kali (3018, 2021, dan 2022) mendapatkan predikat sebagai kota paling toleran se-Indonesia versi SETARA Institute?”
Kunjungan saya ke kota kecil ini, yang usianya terbilang masih muda, dalam rangka menghadiri kegiatan Festival HAM 2023 yang diadakan atas kerja sama Komnas HAM, Kantor Staff Presiden (KSP) RI, dan INFID.
Dalam kunjungan ke kota San Kew Jong, yang secara harfiah bermakna Gunung Mulut Lautan, yang merupakan asal-usul penyebutan nama Singkawang, saya menyempatkan diri berkunjung ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang terletak di pusat kota.
Di sana, tampak tiga orang lelaki berusia lanjut duduk di dalam Vihara. “Amin,” ujar lelaki yang duduk sendirian di sebelah sisi kanan Vihara ketika saya menanyakan namanya.
Saya merasa kurang yakin dengan jawaban yang saya dengar sehingga saya mencoba memastikan lagi. Ternyata benar, namanya Amin—sama dengan nama saya. Pria berusia 80-an tahun yang tampak kurang fasih dalam berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Amin mengaku bahwa ia telah tinggal di Kota ini sejak tahun 1967 pascakonflik yang terjadi di daerah asalnya, Kabupaten Bengkayang.
Di sisi lain vihara, dua pria, yang usianya saya rasa seumuran dengan Amin, tampak sedang asik berbincang dengan bahasa yang tidak saya pahami sama sekali, yakni bahasa Mandarin.
Apa yang saya saksikan di vihara ini memvalidasi cerita Yudi, bahwa masyarakat etnis Tionghoa di sini memang terbiasa menggunakan bahasa Mandarin.
Pun demikian, di beberapa sesi kegiatan Festival HAM 2023, saya pun juga menyaksikan sebagian peserta asyik ngobrol dengan bahasa Mandarin.
Di kesempatan ini, saya juga bertemu dengan Edi, seorang tokoh agama yang saat ini menjadi Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Singkawang. Pria ini mengundang saya untuk singgah sejenak di kantornya.
Bangunan kantor PCNU yang berukuran kurang lebih 9×18 m ini terletak di bawah kaki gunung dan di tengah pemukiman warga etnis Tionghoa.
Sambil duduk dan berbincang santai di teras, kami ditemani sejuknya embusan angin nan asri. Di tengah perbincangan kami tentang masyarakat kota Singkawang yang toleran, Saya sempat bertanya kepada Pak Edi tentang kemungkinan potensi konflik sosial berlatar identitas agama yang mungkin terjadi.
Senada dengan apa yang diceritakan oleh Yudi, setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di Singkawang, bahkan sebelum kota ini sendiri lahir, Pak Edi mengatakan bahwa ia belum pernah menemukan adanya gesekan antarmasyarakat dengan latar belakang agama.
“Tidak pernah (terjadi konflik dengan motif agama). Biasanya gesekan antarmasyarakat muncul lebih karena faktor politik yang ditarik ke ranah etnis, bukan agama. Itu pun sumbernya lebih banyak berasal dari para elit politik yang memanfaatkan isu politik identitas, bukan dari masyarakat akar rumput.”
Dalam hati, saya pun sepakat dengannya. Memang begitulah adanya. Konflik antarmasyarakat yang sering kali dicitrakan berlatar belakang agama maupun etnis, kebanyakan penyebabnya bukanlah soal identitas primordial mereka. Kepentingan individu atau kelompoklah yang menjadi pemicu utamanya, sebagaimana teori Ervin Staub dalam karyanya The Origins and Prevention of Genocide, Mass Killing, and Other Collective Violence (1999).
Terlepas dari soal potensi konflik, saya melihat banyak kebaikan dan keramahan selama empat hari berada di Kota Seribu Vihara ini. Setiap orang yang saya temui tampak ramah dan antusias menceritakan praktik toleransi dan kerukunan di tengah ragam perbedaan.
Saya lebih suka menyebutnya ‘lived tolerance’—meminjam istilah lived religion dalam kajian sosiologi agama.
Masyarakat Singkawang, ketika ditanya soal definisi toleransi, bisa jadi banyak yang akan merasa kesulitan untuk menjawab. Namun, tanpa ndakik-ndakik berbicara definisi toleransi, mereka sudah sejak lama dan lebih memahami bagaimana cara mempraktikkannya.
Di titik inilah kelebihan masyarakat kota Singkawang yang patut dicontoh oleh masyarakat Indonesia di wilayah lain.
Dirgahayu Singkawang, Kota Toleran yang Inklusif dan Dinamis. Arus!