Dua tahun terakhir ini saya terlibat dalam penelitian yang memonitor kasus-kasus intoleransi di Indonesia. Salah satu data yang terus muncul setiap tahun dengan jumlah yang cukup signifikan adalah kasus pelarangan pendirian gereja. Kasus terbaru pelarangan pendirian gereja terjadi di Cilegon, Banten.
Kasus ini beberapa hari yang lalu viral di media sosial. Sebuah video menampilkan sosok wali kota Cilegon menandatangai sebuah petisi untuk melarang pendirian gereja. Petisi yang dituliskan di kain putih yang ditempel di sebuah dinding tersebut berasal dari dorongan sekumpulan kaum muslim yang menginginkan tidak ada pendirian gereja di wilayah tersebut.
Apa sebenarnya yang menyebabkan peristiwa yang menerabas nilai-nilai kemanusian ini terjadi?
Sekilas tampak bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah bentuk mayoritarianisme, dimana mayoritas merasa berkuasa dan dapat menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kelompok minoritas. Arogansi mayoritarianisme tersebut diamini oleh pragmatisme politik seorang pejabat publik yang punya kepentingan untuk tetap mendapat dukungan elektoral kedepannya.
Aksi para mayoritas yang menginginkan pelarangan pendirian gereja tersebut sebenarnya adalah tindakan inkonstitusional yang melanggar kebebasan beragama warga negara. Namun, pejabat publik yang seharusnya menjadi penjaga jaminan kebebasan beragama malah larut dalam pragmatisme politik untuk kepentingan elektoral.
Konspirasi Bahaya Kristenisasi
Pada ranah permukaan, kasus pelarangan pendirian rumah ibadah ini didorong oleh mayoritarianisme dan pragmatisme politik. Kemudian, pada ranah bawah, kasus pelarangan pendirian rumah ibadah ini tampaknya didasari oleh sebuah konspirasi bahaya adanya kristenisasi.
Ada sebuah narasi yang berkembang di masyarakat Indonesia bahwa orang-orang nasrani sedang gencar melalukan upaya pengkristenan orang-orang muslim dengan beragam cara, bahkan dengan biaya mahal sekalipun. Upaya pendirian gereja tampaknya dianggap sebagai pijakan awal bagaimana orang-orang nasrani akan mengkristenkan warga sekitar.
Meskipun seberapa tampak menakutkan dan berbayanya cerita tentang kristenisasi tersebut, hal itu tetaplah hanya sebauh konspirasi dimana masing-masing bagian cerita tersebut hanya saling dicocok-cocokkan.
Cocokologi ala konspirasi kristenisasi ini kemudian tumbuh subur di kalangan umat Islam yang pernah ditesiskan Wertheim sebagai “mayoritas dengan mental minoritas.” Kondisi keterbatasan psikologis yang demikian itu sangat mudah tumbuh rasa takut adanya kehadiran kelompok lain yang dapat melemahkan kelompok mereka.
Islam dan Jaminan Kebebasan Beragama
Dalam situasi ketakutan atas hadirnya kelompok agama lain di sekitar, kita perlu menelisik pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. Pemikiran Gus Dur tentang jaminan kebebasan beragama penting untuk kita telisik kembali. Mengapa? Karena gagasan Gus Dur berangkat dari ajaran Islam itu sendiri. Dimana yang sebelumnya kelompok ormas yang sering melakukan pelanggaran kebebasan beragama mengingkari adanya gagasan dalam Islam bahwa ada perintah untuk menjamin kebebasan agama lain.
Gus Dur mendasarkan pemikirannya melalui gagasan yang ada dalam tradisi pesantren, yakni Maqashid Syari’ah. Maqashid Syari’ah sendiri terdiri dari lima prinsip dasar yang menjadi tujuan akhir sebuah syari’at Islam. Demikian itu meliputi sebagaimana berikut.
Pertama, hifdzu nafs yakni keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, hifdzu ad-din, jaminan keselamatan atas pilihan agama masing-masing. Ketiga, hifdzu nasl yakni keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, hifdzu al-mal, yakni jaminan kepemilikan harta benda. Terakhir, hifdzu al-aql, jaminan keselamatan pikiran atau profesi.
Terkait dengan prinsip jaminan kebebasan beragama, Gus Dur menimba inspirasinya dari prinsip Maqasyid Syari’ah yang kedua, yakni hifdz ad-din, sebuah jaminan setiap pemeluk agama mendapatkan keselamatan atas pilihan agamanya masing-masing. Menariknya, landasan pemikiran harmonisasi hubungan antar agama dalam ruang publik tersebut ada dalam ajaran Islam itu sendiri.
Islam memiliki anjuran untuk memberikan kebebasan beragama bagi setiap orang. Setiap orang berhak memilih agamanya sesuai hati nuraninya. Patokannya adalah selama tidak mengganggu keimanan yang kita percayai. Hal ini sesuai dengan dalil al-Qur’an Surat Al-Kafirun ([109]:6) bahwa “lakum dinukum, wa liyaddin/ bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.
Dalam konteks persoalan ini, ajaran Islam sama sekali tidak melarang agama lain mendirikan rumah ibadahnya. Bahkan, dalam Islam hak untuk mendirikan rumah ibadah mereka perlu dijaga. (mmsm)