M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan

Perdebatan Besar antara Filsuf Rasionalis dengan Filsuf Mistik dalam Filsafat Islam

2 min read

Sejarah filsafat Islam menyimpan cerita menarik tentang perdebatan besar antara filsuf rasionalis dengan kubu filsuf mistik. Kisah ini dimulai oleh Al-Ghazali. Filsuf besar bagi kaum Sunni ini mewakili pandangan metafisika mistik. Ia mengkritik pandangan filsuf rasionalis melalui karya Tahafut Al-Falasifah.

Perdebatan ini memang tidak bisa dibayangkan seperti perdebatan hari ini yang kerap kita tonton di layar kaca yang menampilkan dua orang yang saling berhadap-hadapan di sebuah ruangan. Perdebatannya tidak terjadi seperti itu. Perdebatan filsafat Islam ini dilakukan hanya melalui buku dan itupun sosok yang dikritik adalah filsuf yang sudah wafat.

Al-Ghazali menulis buku Tahafut Al-Falasifah (Kesesatan Para Filsuf) yang mengkritik pandangan-pandangan filsuf rasionalitik seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi ketika dua seleb filsafat Islam ini sudah mangkat dari dunia. Meski sudah wafat, dua seleb filsafat Islam ini pandangan-pandangannya masih populer di banyak lembaga pendidikan Islam zaman itu.

Amin Abdullah melalui buku hasil disertasinya berjudul Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (2020) menyebut sosok Ibnu Sina dan Al-Farabi ini sebagai sosok filsuf dengan pandangan “Islamic Aristotelian.” Pemikiran dua pendekar filsafat Islam ini banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Klasik, Aristoteles. Mereka kerap juga disebut sebagai Aristotelesnya dunia Islam.

Filsuf rasionalis Aristotelian ini memiliki pandangan bahwa rasio manusia dapat menyelesaikan sebagian besar persoalan teologi. Pandangan utama para rasionalisme Islam inilah yang meresahkan Al-Ghazali. Menurutnya, untuk menyelesaikan masalah teologi, rasio manusia tak dapat diandalkan untuk menjawabnya. Bagi Al-Ghazali kita butuh bantuan wahyu untuk menyelesaikan masalah teologi.

Konsep Emanatif Filisuf Muslim Rasionalis

Pertanyaan besar dalam filsafat Islam adalah seputar penciptaan dan Tuhan. Para filsuf memulai refleksinya dari pertanyaan bagaimana alam semesta ini hadir seperti ini? Apakah ini diciptakan Tuhan? Bila Tuhan menciptakannya, bagaimana itu bisa terjadi?

Baca Juga  Fenomena Gairah Beragama di Indonesia (2)

Menjawab pertanyaan besar ini Ibnu Sina membuat rumusan metafisika rasionalnya. Bagi filsuf yang terkenal dengan nama Avicena di dunia Barat ini, menyebut bahwa alam semesta ini tak mungkin hadir begitu saja. Pasti ada penyebabnya, sehingga ada akibat berupa alam semesta ini. Pasti Tuhan telah menciptakan alam semesta ini.

Namun, logika perihal sebab-akibat tersebut membuat dilema bila yang dipertanyakan adalah “Jika segala sesuatu itu ada harus memiliki penyebab, bagaimana dengan entitas Tuhan? Apakah harus ada penyebab sehingga Tuhan itu ada?.”

Pertanyaan filosofis itu dijawab oleh Ibnu Sina dengan rumusan bahwa ada sesuatu wujud yang tidak memerlukan penyebab sama sekali untuk membuat ia mewujud. Ibnu Sina menyebut sosok wujud pertama ini sebagai Tuhan, yakni sosok pertama yang menyebabkan segala sesuatu yang ada di alam semesta di kemudian hari.

Konsep ini disebut emanasi. Sosok pertama menyebabkan sosok kedua, kemudian sosok kedua menyebabkan sosok ketiga dan seterusnya. Konsep metafisika ini menjadi tulang punggung filsafat Islam kubu kaum rasionalis. Mereka menjelaskan kehadiran Tuhan dan alam semesta ini secara rasional dan logis.

Filsuf rasionalis ini memposisikan Tuhan hanya sebagai pencipta pertama. Tuhan menurut mereka tidak lagi ikut campur dengan apa yang terjadi di alam semesta. Apapun yang terjadi di alam semesta yang terjadi di kemudian hari berlaku hukum alam yang baku dan tidak ada campur tangan Tuhan.

Sanggahan Filsuf Mistik

Al-Ghazali sebagai juru bicara paling fasih yang mewakili pandangan para filsuf mistik, ia mengkritik pandangan para filsuf rasionalis dengan menyebut pikiran-pikiran mereka tentang penciptaan alam semesta secara emanatif tidaklah terbukti.

Menurutnya, bila alam semesta ini diciptakan secara bertahap melalui sosok pertama yang menciptakan sosok kedua, sosok kedua kemudian menciptakan sosok ketiga dan seterusnya, padandangan demikian itu bertentangan dengan kenyataan alam semesta yang beragam. Bagi Al-Ghazali, bila benar alam semesta diciptakan secara menatif, maka tidaklah mungkin alam semesta tercipta secara beragam seperti ini.

Baca Juga  Metafisika al-Farabi dan Teori Emanasi

Al-Ghazali melihat bahwa argument para filsuf rasionalis tidaklah memadai. Perlu ada metafisika baru yang mampu memecahkan persoalan ini. Al-Ghazali melihat penggunaan rasio dalam persoalan metafisika tidaklah memadai dan tak mampu. Al-Ghazali mengajak untuk kembali kepada “wahyu Tuhan” untuk memberitahukan jawaban pertanyaan seputar metafisika penciptaan alam semesta.

Pandangan metafisika Al-Ghazali ini kemudian disebut sebagai metafisika mistik. Hal ini ditandai dengan mengembalikan segala persoalan filosofis kepada Tuhan. Sebuah entitas yang melampaui dunia fisik, yakni dunia mistik.

Pandangan Al-Ghazali tentang metafisika mistik ini kemudian dikritik filsuf generasi setelahnya melalui karya Tahafut At-Tahafut (Kesesatan atas Kesesatan). Buku ini dikarang pengusung filsafat rasionalistik generasi baru.

Itulah kisah perdebatan dua aliran besar dalam filsafat Islam. Dua aliran ini bahkan masih banyak yang mendukungnya. Bahkan buku-buku Ibnu Sina, Al Farabi, Al-Ghazali, hingga Ibnu Rushd masih banyak yang mempelajarinya hingga saat ini. (mmsm)

 

M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan