Rifqi Fairuz Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Editor Islami.co

Gerakan Hijrah: Pasar Bebas Dakwah dan Ustadz Mualaf yang Ngawur

2 min read

Fenomena Hijrah masih menjadi perbincangan yang menarik untuk dikupas. Sebagai sebuah gerakan, fenomena hijrah mulai mendapat panggung ketika banyaknya publik figur yang secara terbuka meninggalkan kariernya demi mendalami agama.

Bisa kita sebut nama-nama seperti artis sinetron Tengku Wisnu, eks gitaris Sheila on 7 Sakti yang mengubah namanya menjadi Salman al-Jugjawy, atau Peggy Melati Sukma yang belakangan dikenal kalangan Hijrah sebagai Ummi Khadijah dan mewarnai panggung dakwah Islam di Indonesia.

Kisah perjalanan spiritual mereka dalam meninggalkan gemerlap duniawi yang penuh madharat dipandang secara romantis oleh banyak kalangan, memikat generasi muda. Indah sekali bukan, menemukan kebenaran dengan meninggalkan dunia entertainment yang glamor, bebas dan lekat dengan maksiat.

Tentu saya tidak menempatkan para artis ini secara antagonis. Sebagai contoh, Salman Sakti mendalami secara serius pencarian ilmunya ke Pakistan. Atau Derry Soelaiman yang sampai saat ini setia berdakwah dan masih bermusik. Mereka termasuk contoh publik figur yang istiqamah pada jalan dakwahnya. Dalam hal ini, mereka patut diapresiasi. Akan tetapi yang menjadi persoalan di sini, kisah perjalanan para artis yang dikomodifikasi membentuk selera pasar tersendiri di kalangan Muslim Indonesia. 

Tidak bisa dipungkiri, gerakan Hijrah di Indonesia didukung oleh kapitalisasi perputaran uang yang besar dan dukungan yang kuat dari industri. Kekuatan ini terkonsolidasi berkat penetrasi kelompok ini terhadap sirkel selebritas dan menyasar kelas menengah Muslim perkotaan yang tidak segan mengeluarkan uang demi kesalehan yang bisa diraih secara instan. 

Sebut saja gelaran Hijrah Fest yang didominasi oleh brand-brand fashion busana Muslim(ah) ternama. Untuk masuk saja perlu menebus tiket terusan seharga 200an ribu yang bagi kalangan Muslim pedesaan setara dengan uang belanja seminggu.

Baca Juga  Dari Pancasila ke Al-Qur’an: Pentingnya Musyawarah untuk Kemaslahatan Masyarakat

Ketika tema hijrah laku di pasaran, muncul efek samping. Banyak bermunculan figur-figur ustadz yang membawa narasi hijrah secara serampangan. Mereka yang menjual cerita keluar dari agama yang mereka peluk sebelumnya demi meraih panggung dan simpati. Tampil di mimbar dakwah dengan narasi sebagai Mualaf memberi kesan yang membekas dan menyentuh hati bagi para jamaah. 

Nama Felix Siauw patut dikemukakan di sini. Ia bisa dibilang sebagai figur “ustadz” yang membawa narasi dan citra sebagai Mualaf tiap tampil di panggung pengajian. Felix pandai betul merengkuh generasi muda da lewat narasi populer bukunya yang berjudul “Udah Putusin Aja!” dan narasi heroik kekhalifahan Ottoman. Penaklukan Sultan Muhammad al-Fatih atas kota Konstantinopel tahun 1453 dipergunakan untuk menggiring dan menggugah simpati generasi muda terhadap narasi penegakan khilafah yang menjadi misi HTI.

Setelah organisasi ini resmi dilarang pemerintah, Felix tampak bermain lebih halus. Ia tidak lagi banyak memainkan narasi kekhalifahan dengan vulgar, namun tetap menarget segmen anak muda dengan mengajak artis populer. Belakangan, ia sering muncul di YouTube bersama Al, El dan Dul anak musisi kondang Ahmad Dhani. 

Belum lagi jika melihat tipuan ustadz-ustadz Mualaf yang terang-terangan mengaku pernah mendapatkan pendidikan sebagai pemuka agama Kristen/Katolik. Sebut saja nama Fauzan al-Azmi, Chris Bangun Samudera, dan Steven Indra Wibowo yang pernah memicu kontroversi. 

Sosok Fauzan al-Azmi, ia mengaku lulusan S2 Teologi Injil Vatican School di Vatikan. Ia mengaku bahwa ayahnya adalah seorang Kardinal yang bernama Yohannes Ignatius dan ibunya adalah seorang pengabar injil bernama Maria Laura. Ia mengaku masuk Islam dan mengganti nama menjadi Fauzan al-Azmi. Namun belakangan diketahui dari dulu ia adalah Muslim.

Baca Juga  Resensi Buku "Fikih Zakat Indonesia"

Lain lagi Steven Indra Wibowo. Dengan heroik ia menjual cerita pernah menolak ditawari 100 Miliar untuk pindah agama. Sekilas kisah tersebut mulia sekali bukan? Laksana Bilal bin Rabah yang tetap teguh iman ketika ditindih batu panas oleh tuannya. Namun toh kisah tersebut tak mampu dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bangun Samudera memiliki narasi yang tak kalah memukau. Ia mengaku lulusan S3 Vatikan. Padahal di Vatikan tidak ada jenjang universitas sampai gelar S3.Pada akhirnya kedoknya terbongkar bahwa dia hanya pernah bersekolah di SMA Katolik di sebuah Seminari di Blitar Jawa Timur, itupun tidak tamat. 

Ustadz-ustadz gadungan semacam ini jelas tidak datang dari ruang kosong. Gerakan Hijrah yang menggerakkan pasar dakwah di Indonesia membentuk audiens jamaah yang mudah simpati dengan narasi Mualaf dan kisah inspiratif berganti agama. Secara sederhana, gerakan hijrah membuka keran pasar bebas dakwah yang berkelindan dengan pendangkalan kajian agama.

Pada akhirnya, fenomena hijrah ini berujung pada perenungan kita sebagai Muslim: Akan ke manakah wajah Muslim Indonesia di masa depan? Apakah kita rela jika mimbar dakwah dibanjiri oleh ustadz gadungan penjaja kisah simpati saja tanpa isi? Jawabannya ada pada hati, lisan dan tangan kita sendiri. 

Rifqi Fairuz Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Editor Islami.co