Musyawarah merupakan salah satu pilar penting dalam Pancasila, dasar negara Indonesia. Sila terkait musyawarah sudah diusulkan oleh Bung Karno pada sidang BPUPKI tertanggal 1 Juni 1945 sebagai sila ketiga waktu itu.
Beliau mengusulkan sila mengenai mufakat berdasar permusyawaratan dan perwakilan sebagai solusi dan jalan tengah atas setiap perselisihan yang ditimbulkan akibat pergesekan suku, budaya, maupun agama.
Kemudian, ditetapkanlah sila keempat Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila ini disimbolkan dengan kepala banteng yang memiliki arti filosofis sebagai hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah, di mana dalam musyawarah, orang-orang berdiskusi untuk melahirkan suatu keputusan.
Saking pentingnya musyawarah, Al-Qur’an membahas persoalan tersebut. Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan musyawarah dan menyebutnya sebagai ciri penduduk surga. Ayat yang dibahas dalam tulisan ini yaitu QS. Asy-Syura ayat 38.
Musyawarah dan QS. Asy-Syura ayat 38
Allah berfirman dalam QS. al-Syura ayat 38:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ ٣٨
“Juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Termasuk ciri penduduk surga dalam ayat ini adalah menerima hasil keputusan bersama atau musyawarah. Mereka bermusyawarah satu sama lain tentang urusan-urusan yang khusus maupun umum.
Mereka tidak hanya memedulikan satu pendapat dalam menghasilkan keputusan-keputusan untuk kemaslahatan umum, seperti persoalan supremasi hukum, pemerintahan, sistem pengelolaan negara, garis besar kemaslahatan rakyat, deklarasi perang, pengangkatan pilar-pilar hukum, dan sebagainya.
Selain ayat ini menetapkan sifat yang tetap pada orang-orang mukmin, Allah juga telah memerintahkan musyawarah pada ayat lain, yaitu dalam QS. Ali Imran ayat 159. Hasan al-Bashri berkata, “Suatu kaum yang bermusyawarah pasti menghasilkan keputusan yang paling benar.”
Ibn al-Arabi, seorang fakih, berkata, “Musyawarah merupakan keharmonisan bagi suatu masyarakat, penguji bagi akal, dan jalan menuju kebenaran. Suatu masyarakat yang bermusyawarah pasti mendapatkan petunjuk. Allah swt. memuji musyawarah dalam berbagai urusan dan memuji sekelompok masyarakat yang melakukan hal tersebut.”
Teladan Nabi
Nabi Muhammad sendiri disifati paling sering melakukan musyawarah bersama sahabat-sahabat beliau. Beliau mengajak para sahabat bermusyawarah dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kemaslahatan perang dan urusan-urusan lain.
Beliau juga memberikan mandat kepada para sahabat untuk menggunakan metode dan manhaj mereka dalam keputusan-keputusan besar, seperti pengangkatan khalifah, perang melawan orang-orang murtad, dan penggalian hukum-hukum syariah untuk kejadian-kejadian baru.
Nabi Muhammad memang tidak mengajak sahabat untuk bermusyawarah perihal hukum-hukum Islam, karena pembagian hukum-hukum sendiri berasal langsung dari Allah. Akan tetapi, setelah Nabi meninggal, para sahabat menggunakan isyarat atau petunjuk penggalian hukum yang ditinggalkan, untuk kemudian mereka bermusyawarah mengenai hukum-hukum Islam dan menggalinya dari Al-Qur’an dan hadis. Nabi Muhammad juga bersabda,
“Jika pemimpim-pemimpin kalian adalah orang-orang yang terpilih di antara kalian, orang-orang kaya dari kalian adalah orang-orang dermawan dari kalian, urusan kalian berdasar musyawarah antara kalian, maka luarnya bumi itu lebih baik bagi kalian daripada perut bumi. Dan apabila pemimpin kalian adalah orang terburuk dari kalian, orang kaya kalian itu orang kikirnya kalian, dan urusan kalian diserahkan pada perempuan kalian, maka perut bumi itu lebih baik bagi kalian daripada luar bumi.”
Keputusan Musyawarah Para Sahabat
Persoalan pertama yang dimusyawarahkan oleh para sahabat yaitu persoalan khilafah. Karena Nabi Muhammad saw. sendiri, tidak menetapkan hal tersebut. Sampai di dalam persoalan tersebut, muncul apa yang sudah diketahui antara Abu Bakar dan kaum Ansor, di mana akhirnya Umar berkata, “Untuk urusan dunia kami, kami rida terhadap orang yang diridai oleh Nabi Muhammad untuk urusan agama kami,”—yakni Abu Bakar.
Ketika Sayyidina Umar yang waktu itu menjabat sebagai Khalifah Kedua ditikam, beliau memerintahkan enam tokoh waktu itu untuk memusyawarahkan siapa yang akan menjadi khalifah selanjutnya.
Keenam tokoh itu yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka bermufakat untuk menyerahkan mandat Khalifah Ketiga kepada Utsman bin Affan.
Para sahabat juga bermusyawarah untuk persoalan fenomena banyaknya orang murtad setelah wafatnya Nabi, kemudian ditetapkanlah pendapat Abu Bakar untuk urusan tersebut. Para sahabat bermusyawarah perihal warisan yang diterima kakek, bilangan had untuk peminum khamr, dan peperangan setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Bahkan, Sayidina Umar bermusyawarah dengan Hormuzan, salah satu pemimpin Persia, saat beliau mengirimkan utusan seorang muslim padanya.dalam beberapa serangan, dengan berkata, “Biarkanlah kaum muslimin untuk lewat, maka mereka akan lari menuju Kisro.”
Berbagai keterangan di atas, menunjukkan bagaimana Islam menekankan pentingnya musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Musyawarah adalah sarana untuk mencapai keputusan yang benar dan adil, serta memastikan kebijakan yang diambil melibatkan berbagai pandangan dan kepentingan.
Nabi Muhammad sering bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk urusan-urusan penting, dan tradisi ini dilanjutkan oleh para sahabat setelah beliau wafat. Musyawarah penting karena keputusan kolektif yang diperoleh melalui diskusi dan mufakat membawa berkah dan kestabilan dalam masyarakat. Wallahualam bissawab. [AR]