Pasca reformasi, khususnya satu dekade terakhir, kegelisahan isu relasi agama dan negara kembali mencuat. Terlebih pasca pilkada DKI 2017 dan kemudian berlanjut hingga pilpres 2019. Agama yang semula basah karena nilai-nilai substantif yang mengalir dalam sosial-kebudayaan kemudian terkesan kering karena sering dibawa ke dalam aspek yang remeh-temeh, politik. Ia bak menjadi ring tinju antara agama-negara.
Sebagai negara yang mengamalkan kehidupan demokratis, wacana relasi antara agama dan negara merupakan kegelisahan sepanjang masa. Sebuah bangsa demokrasi seringkali mengalami upaya-upaya penyatuan agama dan negara, khususnya dalam tataran formal. Walaupun para pendiri negara ini sudah memutuskan bentuk final dari negara Indonesia sebagai nation state dengan pancasila sebagai azas ideologinya.
Gus Dur dengan segala aspek latar belakang pemikirannya, sangat memaklumi isu-isu agama-negara yang selama ini terjadi. Lebih lanjut lagi, di antara alasan pemakluman Gus Dur atas wacana penyatuan agama-negara di Indonesia adalah karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Hal ini pula yang melatari adanya sebagian Muslim Indonesia yang terus berupaya untuk menjadikan azas agama sebagai azas formal negara.
Hal ini karena Islam sendiri menurut Gus Dur adalah agama hukum. Sehingga demi menegakkan dan melaksanakan tatanan hukum Islam, mereka berupaya untuk menyatukan agama dan negara.
Menurut al-Zastrouw, Pemikiran Gus Dur sendiri setidaknya lahir dari persilangan tiga kebudayaan; pertama, kebudayaan pesantren yang mana cenderung mengedepankan etika formal; kedua, kebudayaan timur tengah yang cenderung bersifat terbuka dan keras; dan, yang terakhir adalah kebudayaan barat yang bersifat liberal, rasional dan sekular.
Dengan latar belakang tersebut, tak heran jika pemikiran-pemikiran Gus Dur, khususnya dalam hal wacana agama-negara bersifat multidimensi. Belum lagi Gus Dur yang berperan dalam berbagai lembaga yang terkadang bahkan berlawanan. Ia adalah seorang kiai, pemimpin ormas tradisional, budayawan, politisi, bahkan presiden RI. Ini lah yang kemudian membuat kita, para pembaca pemikiran-pemikiran Gus Dur, harus bisa proporsional dalam memahami pemikirannya.
Gus Dur yang terkenal nyeleneh memang beberapa kali membuat keputusan-keputusan yang kontroversi. Bagi saya sebenarnya bukan Gus Dur yang kontroversi, hanya saja kita yang belum mampu membaca pemikirannya secara proporsional.
Seperti ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden RI, ia memutuskan untuk mengizinkan ajaran komunisme berkembang di Indonesia. Padahal secara historis, komunisme telah menyisakan sejarah pahit yang menimbulkan efek traumatik bagi bangsa Indonesia, Muslim khususnya. Ini menjadi kontroversial karena ketidakmampuan kita membaca pemikiran Gus Dur yang sangat humanis.
Perihal wacana penyatuan agama dan negara, Gus Dur memiliki pemikiran sendiri. Pemilik jargon “Gitu aja kok repot” ini menganggap bahwa tidak ada yang salah dengan keinginan untuk menyatukan agama dan negara. Namun, yang menjadi problem adalah ketika agama hanya diperankan dalam tataran formal negara saja. Gus Dur adalah penganut Islam yang substantif, yang memandang Islam dari tataran isi substansinya.
Menurut Gus Dur, ajaran Islam tidak mengenal doktrin tentang suatu negara. Gus Dur berprinsip bahwa Islam harus dijadikan sebagai landasan keimanan sebagai motivasi spiritual bangsa untuk menjalankan peran sebagai warga negara. Gus Dur tidak mengekerdilkan peran agama dalam tataran formal aturan suatu negara.
Dalam tataran politik, Gus Dur juga tidak berarti memisahkan antara agama dan negara, tetapi Gus Dur hanya membedakan antara keduanya. Ini yang kemudian membuat Gus Dur dipandang memiliki kecenderungan sekularisasi politik.
Dalam hal ini, saya melihat bahwa Gus Dur memagang prinsip lebih baik, mempertahankan–meminjiam istilah dalam salah satu artikelnya−“Republik Bumi” sampai ke surga dari pada membuat “Istana Tuhan” di bumi. Sehingga, bagi Gus Dur tidak boleh ada campur aduk antara agama sebagai sesuatu yang profan dan sakral dengan negara dalam tataran formal.
Gus Dur sangat tidak setuju dengan idealisasi negara dengan perpektif agama tertentu saja. Bagi Gus Dur agama harus diperankan secara praktis substantif dalam kehidupan bernegara. Gus Dur selalu mengedepankan demokrasi di mana UUD menjadi landasan hukumnya. Sehingga apabila ada suatu tuntutan hukum Islam untuk diterapkan dalam tataran hukum nasional, maka bagi Gus Dur, hal ini harus dikembalikan kepada UUD 1945 sebagai sumber konstitusi negara Indonesia. Bersambung… [AA]