Ahmad Rijalul Fikri Santri Ma'had Aly dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur

Mengenal Putri-Putri Rasul

2 min read

sumber: goodwordbook.com

Momentum maulid Nabi Muhammad saw semestinya tidak sekadar dimaknai secara seremonial semisal ceramah, pengajian dan pembacaan salawat mahallul qiyam. Namun, pada momentum ini kita sejatinya juga perlu merefleksikan sejarah hidup Nabi secara komprehensif, termasuk mengenal sejarah perempuan dalam kehidupan beliau. Salah satunya adalah rekam sejarah tentang anak-anak perempuan Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad mempunyai empat anak perempuan. Mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Siti Fatimah. Keempatnya merupakan buah cinta pernikahan Nabi bersama Siti Khadijah binti Khuwailid.

Zainab adalah putri sulung Nabi yang lahir sepuluh tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul. Zainab menjadi putri Nabi yang pertama kali menikah. Dia dipersunting oleh sepupunya dari pihak ibu bernama Abu al-‘Ash bin al-Rabi’. Ia adalah putra bibinya yang bernama Halah binti Khuwailid. Dari pernikahannya ini, Zainab dikarunia dua orang anak: laki dan perempuan. Sang putra yang diberi nama ‘Ali dan meninggal semasa kecil, sementara anak perempuannya bernama Umamah, yang kelak dinikahi oleh sayidina ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Siti Fatimah.

Anak perempuan Nabi yang kedua ialah Ruqayyah. Dia lahir tujuh tahun sebelum pengangkatan Nabi sebagai rasul. Sayidina ‘Utsman bin ‘Affan menjadi pria beruntung yang mendampingi Ruqayyah hingga akhir hayatnya. ‘Utsman bin ‘Affan menjadi suaminya yang kedua, selepas bercerai dengan ‘Utbah bin Abu Lahab. Perceraiannya dengan ‘Utbah terjadi atas perintah Nabi tatkala turun ayat Alquran yang mencela Abu Lahab dan istrinya.

Bersama sayidina ‘Utsman bin ‘Affan, Ruqayyah berangkat hijrah ke Habasyah. Di sana dia melahirkan seorang putra yang dijuluki ‘Abdullah. Sayangnya, si buah hati meninggal ketika masih kanak-kanak. Ada yang memperkirakan kala itu umurnya baru enam tahun dan meninggal sebab sakit.

Baca Juga  Hijrah Itu Mempersatukan dan Mendamaikan, Bukan Sebaliknya

Sama dengan Ruqayyah, Ummu Kultsum juga bercerai dengan suaminya setelah turunnya ayat yang mengutuk Abu Lahab tersebut. Sebab, suaminya adalah ‘Utaybah yang juga putranya Abu Lahab. Namun, dia sama sekali belum pernah dijamah oleh ‘Utaybah. Ummu Kultsum lantas tinggal bersama Nabi dan ikut pula berhijrah ke Madinah. Lalu, sepeninggal sang kakak, Ruqayyah, Nabi menikahkan Ummu Kultsum dengan ‘Utsman bin ‘Affan. Dari pernikahannya ini Ummu Kultsum tidak memperoleh momongan sama sekali. Sekalipun begitu, Ummu Kaltsum tetap hidup langgeng bersama ‘Utsman bin ‘Affan hingga tutup usia pada tahun ke-9 Hijriah.

Selanjutnya adalah Siti Fatimah yang masyhur dengan gelar al-Zahra’. Gelar ini diambilkan dari nama neneknya, Siti Aminah binti Wahab al-Zuhriyah, yang notabene ibunda Nabi. Sama seperti ketiga putri Nabi sebelumnya, Siti Fathimah pun lahir sebelum sang ayah dikukuhkan sebagai rasul. Usia Nabi ketika itu sekitar 35 tahun. Lalu, pada tahun delapan Hijriah atau persisnya seusai Perang Badar, Nabi menikahkannya dengan ‘Ali bin Abi Thalib. Keduanya kemudian dianugerahi lima orang anak, yaitu Hasan, Husein, Muhsin, Zainab, dan Ummu Kultsum. Siti Fatimah wafat berselang 6 bulan dari wafatnya Nabi.

Anak-anak dan keluarga Nabi ini sudah selayaknya mendapatkan cinta kita, umat Muhammad. Apalagi, ayat 23 surah Asy-Syura menjelaskan, Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.’ Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.”

Dalam beberapa kitab tafsir, seperti ad-Durr al-Mantsur karya Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Syaikh Ibnu Katsir, dan Mafatih al-Ghaib atau al-Tafsir al-Kabir karya Syaikh Fakhruddin al-Razi, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-qurba dalam ayat tersebut ialah keluarga (ahlul bait) Nabi.

Baca Juga  Covid-19 dan Penguatan Komunikasi Keluarga

Mengenali lalu mencintai putri-putri Nabi tadi sama artinya dengan menambah kecintaan kita terhadap ayahanda mereka, Muhammad saw. Sebuah hadis menyatakan, “Tidak sempurna iman seseorang sampai kemudian kecintaannya kepada saya melebihi dari cintanya kepada orang tuanya, anak-anaknya, serta kecintaannya terhadap semua manusia.” (HR. Bukhari). []

Ahmad Rijalul Fikri Santri Ma'had Aly dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur