Dr. KH. Rofiq Mahfudz, M.Si Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rois Cendekia Semarang

Mudik dan Kepercayaan terhadap yang Kosmik

2 min read

Menjelang hari raya lebaran, umat Islam di Indonesia akan disuguhkan dengan fenomena mudik. Mereka yang merantau untuk mencari nafkah, ilmu atau memang berpindah domisili mengikuti pasangannya masing-masing, akan pulang ke kampung asalnya demi merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Secara bahasa, akar kata “mudik” berasal dari “menuju udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “udik” bermakna desa, dusun, kampung (lawan kota). Untuk itu, mudik disebut juga dengan pulang kampung.

Mudik, apabila kita tarik ke dalam kosmologi Jawa yang sangat lekat dengan laku spiritual akan memunculkan makna yang sangat dalam. Kosmologi Jawa merupakan konsep tentang kehidupan mistis manusia Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik dengan Tuhan maupun alam raya. Alam semesta dalam pemaknaan orang Jawa disebut jagad gedhe, sementara manusia merupakan representasi dari jagad cilik. Orang Jawa meyakini bahwa relasi antar keduanya memiliki hubungan erat yang tak terpisahkan.

Relasi antara jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos) inilah yang menjadi medan manifestasi dalam kosmologi Jawa. Manusia Jawa memiliki konsep tentang kepercayaan terhadap mitos, norma dan pandangan hidup yang di dalamnya terkandung sebuah keyakinan yang melihat bahwa relasi antara jagad gedhe dan jagad cilik mempunyai pengaruh pada semua aspek kehidupan sebab keduanya dilihat sebagai kemanunggalan kedigdayaan (manunggaling kawulo gusti).

Tidak mengherankan jika manusia Jawa terus berupaya untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos sebab mereka meyakini bahwa segala aspek yang ada di dalam kehidupannya dipengaruhi oleh dua kekuatan ini. Hal ini, dalam hemat saya, salah satunya termanifestasi ke dalam tradisi mudik menjelang lebaran. Jika kita mau merenungkannya kembali, ada makna yang sangat mendalam dari tradisi mudik ini, yaitu semangat “kembali ke asal” (fitrah). Secara psikologis, ”udik” (kampung halaman) merupakan tempat, ruang dan waktu yang masih murni, religius, bersih dan belum dikotori oleh polusi peradaban materialis kota.

Baca Juga  Covid-19 dan Keheningan Ramadan

Laku mudik sejatinya merupakan manifestasi relasi antara jagad gedhe dengan jagad cilik. Jagad gedhe direpresentasikan dengan kota yang mana adalah tempat kerja, mencari nafkah, mengejar cita-cita duniawi entah berupa kekayaan maupun popularitas, sementara udik atau kampung halaman kita adalah manifestasi dari jagad cilik.

Saya menempatkan jagad gedhe di sini sebagai representasi dari yang material atau duniawi, yang diwakili oleh kehidupan kota yang kejam dan penuh persaingan. Jadi, ketika manusia mudik ke kampung halaman, sejatinya ia sedang berupaya untuk melepaskan kesenangan duniawi dan kembali ke asal (fitrah) yang penuh kedamian dan ketenangan. Artinya, ketika semua diperoleh, “udik” atau kampung halaman memanggilnya untuk memberikan kedamaian dan ketenangan. Selain itu, dengan mudik, manusia sejatinya sedang menyeimbangkan relasi antara makrokosmos dengan mikrokosmos.

Dalam sebuah buku yang dikarang Cak Nun berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu (1994), ia menulis “orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya”.

Sementara di dalam Islam, mudik erat kaitannya dengan silaturahim. Islam memang tidak memerintahkan bahwa ketika seseorang merantau tatkala hari raya tiba mereka diharuskan untuk mudik. Akan tetapi bertemu sanak saudara di kampung halaman yang sudah sejak lama tidak bertemu dapat menjadi ajang untuk menyambung tali persaudaraan agar dekat kembali. Dan menyambung tali silaturahim ini menjadi salah satu dari ajaran Islam yang sangat dianjurkan. Konon, katanya, silaturahim bahkan dapat menambah rizki dan memanjangkan umur seorang muslim.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturahim”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

Sebagaimana disebut juga dalam Al-Qur’an bahwa silaturahim begitu dianjurkan:

Baca Juga  Salat Tarawih Super Cepat dan Beragam Pendapat Tentangnya

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ

Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim”. (QS. An Nisa’: 1).

Bahkan, sebuah hadis mengatakan bahwa orang yang memutus tali silaturahim tidak akan dimasukkan ke surga oleh Allah, ini menandakan betapa pentingnya silaturahim.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud).

Apabila ditarik ke spektrum yang lebih luas, laku mudik yang kita lakukan menjelang hari raya Idul Fitri ini merupakan miniatur dari mudik yang lebih agung, mudik yang mencerminkan kerinduan kita sebagai manusia pada tempat asalnya, yakni Rabbul Izzati. Mudik setidaknya sudah mewakili rasa kita akan kerinduan terhadap kampung halaman. Sebagaimana pula mudik dalam pengertian yang hakiki, yakni kembali kepada jiwa tauhid, iman-Islam hingga menjadikan syariat Islam sebagai pedoman hidup bagi manusia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dr. KH. Rofiq Mahfudz, M.Si Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rois Cendekia Semarang