Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Menemukan Kembali Asa Kesetaran Gender Dalam Kebijakan Presiden Gus Dur (1)

2 min read

Judul: Gender dan Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid

Penulis: Ashilly Achidsti

Penerbit: Gading

Tahun terbit: Cetakan Pertama, November 2021

Jumlah halaman: xvii + 149 halaman

 

Dalam sebuah perjalanan, saya ditemani Ashilly Achidsti, nama yang sulit dilapal bagi lidah saya. Ashi menemani melalui bukunya berjudul “Gender dan Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid”, terbitan Gading tahun 2021. Buku ini mengingatkan saya pernah menulis “Warisan Gus Dur untuk Gerakan Perempuan” (baca disini https://arrahim.id/sat/warisan-gus-dur-untuk-gerakan-perempuan-bag-1/)  yang setema dengan isi bukunya. Maka dengan antusias saya membacanya, seperti bertemu seorang teman dimana kami membincang buku atau artikel yang dibaca bersama dan saling mendiskusikan isinya.

Buku ini terbagi dalam empat bab yang mengalir dari “Selayang Pandang Abdurrahman Wahid dan Kebijakan Ramah Perempuan” di bab pertama yang mengantarkan dan memberikan konteks isi dari buku, dilanjutkan dengan “Pemikiran dan Sikap Abdurrahman Wahid terkait Kesetaraan Gender di Tengah Diskriminasi Perempuan Masa Orde Baru” di bab dua yang berisikan pokok-pokok kebijakan Orde Baru, pemikiran Gus Dur dan upaya untuk merubahnya.

Kemudian yang menjadi pembeda dari tulisan-tulisan tentang Gus Dur adalah analisa Pemetaan Aktor dan Komunikasi Politik Kebijakan Kesetaraan Gender Periode Presiden Abdurrahman Wahid dengan menggunakan tolak ukur power dan interest. Buku ini kemudian membahas Isu Kontemporer Kebijakan Kesetaraan Gender: Indonesia Butuh Terobosan Baru, yang membahas kelemahan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, polemik di sekitar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Ketahanan Keluarga. Buku ini ditutup dengan Epilog dari Musdah Mulia berjudul Sulitnya Penegakan Kebijakan Kesetaraan Gender yang menjadi refleksi dari keseluruhan isi buku.

Baca Juga  Suluk Linglung di Tengah Pandemi Covid-19

Aktor dan Komunikasi Politik Kebijakan Kesetaraan Gender Gus Dur

Yang membedakan buku ini dengan buku-buku yang lain yang membahas tentang pemikiran dan kebijakan kesetaraan gender pada era Gus Dur adalah penggunaan tolak ukur kekuasaan (power) dan kepentingan (interest). Power yang dimaksud adalah kekuatan untuk mempengaruhi suatu kebijakan. Sumber kekuasaan sendiri dapat berasal dari kekuatan koersif, kekuatan utilitarian dan kekuatan simbolik (hal 49).

Sementara kepentingn (interest) yang dimaksud adalah willingness (kesediaan) atau kepeduliaan pemangku kepentingan terhadap isu gender. (hal 50). Dimensi kekuasaan dan kepentingan digunakan dalam alat ukur power-interest grid untuk memetakan aktor-aktor yang berperan.

Ashi kemudian mengklasifikasi para pemangku kepentingan dalam empat posisi yaitu A, B, C dan D. Kuadran A adalah aktor yang memiliki kepentingan yang sama dan memiliki kekuasaan tinggi sehingga dapat mempengaruhi pencapaian tujuan. Aktor di kuadran B juga patut mendapat perhatian karena memiliki kekuasaan yang tinggi, meskipun kepentingannya rendah.

Aktor di kuadran C seperti terlihat tidak penting karena memiliki kepentingan dan kekuasaan yang rendah, tetapi mungkin saja mereka lebih berhati-hati padahal sudah memiliki posisi dan hanya menunggu sebelum menunjukkan kepentingan dan pengaruhnya. Sedangkan di kuadran D adalah aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi meskipun tidak memiliki kekuasaan (hal 50-51). Mudah-mudahan saya tidak salah memahaminya.

Berdasarkan alat analisa ini, Ashi menganalisa tiga isu yaitu: (1) Perubahan Nama Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan; (2) Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan (3) Penyelamatan Buruh Migran Perempuan Siti Zaenab.

Untuk perubahan nama Kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW) menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) terdapat dua aktor utama yaitu Presiden Gus Dur dan Khofifah Indar Parawansa yang ditunjuk Gus Dur sebagai menteri mewakili Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kabinetnya. Saya baru mengetahui bahwa Ibu Saparinah Sadli atau biasa kami panggil Ibu Sap ditawari Gus Dur untuk menjadi Menteri UPW, dengan penghubung adalah Khofifah sendiri.

Baca Juga  Soal Sertifikasi Penceramah, Azyumardi Azra Berharap Peningkatan Kompetensi dan Kapabilitas Penceramah

Namun Ibu Sap menolak dan membalikkan tawaran tersebut kepada Khofifah (hal 54).  Khofifah yang menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ibu Sap kepada Gus Dur, mengalami keraguan untuk menjadi Menteri UPW mengingat ia sebagai aktivis perempuan justru kerap mengkritik peran-peran Menteri UPW yang tidak memberdayakan perempuan. Maka salah satu daya tawar Khofifah kepada Gus Dur adalah merubah nama Kementerian UPW menjadi KPP.

Terdapat dua aktor utama dalam perubahan nama kementerian ini yaitu Presiden Gus Dur dan Khofifah Indar Parawansa. Namun, perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konsep Women in Development (WAD) menjadi Gender and Development (GAD) di dunia internasional, serta pengalaman dan pemikiran keduanya yang mengalami kebijakan ‘ibuisme’ di masa pemerintahan Orde Baru.

Selanjutnya: Menemukan Kembali Asa… (2)

Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan