Pada edisi 9 Mei 2020, redaksi Arrahim menyajikan tulisan berjudul “Gus Dur dan Gerakan Feminisme” karya Ahmad Zainul Hamdi. Dinarasikan bagaimana Gus Dur berkurang simpatinya terhadap gerakan feminisme, karena menurutnya feminis sendiri merusaknya. Hal ini dipicu ketersinggungan Gus Dur terhadap Julia Suryakusuma yang menuduhnya bias gender atas guyonan Marlyn Manroe dan Einstein. Cerita dan ulasan opini tersebut berasal dari tulisan Gus Dur berjudul “Islam dan Hak Asasi Manusia”.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menjawab apakah Gus Dur seorang feminis atau pro feminis. Walau Zainul Hamdi secara tersirat menyatakan ‘ketersingungannya’ ketika ada seorang feminis yang menggebu-gebu menyatakan tidak mungkin ada seorang laki-laki yang feminis karena laki-laki tidak pernah merasakan pengalaman akan penindasan berbasis gender sebagaimana yang dirasakan perempuan. Atau prasangka bahwa feminis bekerja untuk dinilai “heroik”.
Tulisan ini juga tidak untuk menempatkan di gelombang feminisme mana pemikiran Gus Dur berada. Karena gelombang keempat yang sekarang kita jalani merupakan pengembangan dari gelombang sebelumnya. Gelombang keempat merupakan “era pembebasan” feminisme sehingga tidak perlu lagi dikotak-kotakkan dalam kategorisasi liberal, radikal, marxis, postmodern atau yang lainnya, dan saat ini para perempuan serta masyarakat pada umumnya mempunyai akses teknologi dan pengalaman pribadi mengenai gender yang merubah ruang juang feminis itu sendiri.
Saya berkeyakinan, Gus Dur tidak membutuhkan penyebutan feminis atau pro feminis untuk menunjukkan keberpihakannya kepada agenda gerakan perempuan. Mempersoalkannya justru akan menguatkan berbagai upaya untuk terus membangun label negatif terhadap feminis dan mengaburkan warisan Gus Dur. Saya juga tidak akan memberikan pembelaan terhadap Julia Suryakusuma, karea saya berpikir ketersinggungan Gus Dur dan gaya Julia adalah proses untuk menuju “keseimbangan, kesalingpemahaman, dan keadilan” dalam membangun persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Setahu saya tidak banyak karya Gus Dur yang secara spesifik membahas isu perempuan. Bahkan dalam thread terkait warisan Gus Dur selama masa singkat kepemimpinannya, isi ini luput didokumentasikan. Dari literatur yang terbatas, saya mencoba mengindentifikasikan warisan-warisan Gus Dur untuk gerakan perempuan, diantaranya:
Demokrasi dan Anti-Kekerasan
Sebelum menjabat Presiden Indonesia, jauh hari Gus Dur telah dikenal sebagai aktivis pro demokrasi dengan komitmen penuh pada kemanusian dan pluralisme. Melalui Forum Demokrasi, Gus Dur menyatakan membela pluralisme dan demokrasi sebagai penyeimbang gerakan sektarian dan politik rezim Soeharto. Dalam biografi yang ditulis Greg Berton kita mendapati tekanan-tekanan terhadap Gus Dur dan NU, termasuk langkah-langkah Gus Dur yang mengambil langkah “damai” menjelang tahun-tahun kejatuhan Orde Baru sebagai langkah untuk konsolidasi masyarakat sipil.
Baca Juga: High Noon In Jakarta: Kisah Keberanian Gus Dur Melawan Politisi Bandit
Dalam pengantar buku karya Gene Sharp berjudul Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan Gus Dur mengulas pemerintahan diktator, militeristik dan upaya-upaya untuk membangun pemerintahan yang demokratis. Hakikat dari kediktatoran adalah penolakan terhadap pluralitas pandangan atau keragaman pandangan dan pendapat, dan selalu bersifat militeristik. Namun, untuk menggantikan pemerintahan diktator, Gus Dur menolak untuk menggunakan kekerasan. Bagi Gus Dur, tidaklah berarti tegaknya sebuah pemerintahan yang demokratis jika diperjuangkan dengan penuh kekerasan. Dengan tegas Gus Dur menyatakan:
“Perjuangan menegakkan masyarakat pluralistik tanpa menggunakan kekerasan dan bertumpu pada ketabahan untuk menegakkan pandangan yang objektif dan dengan sendirinya pluralistik terhadap kebenaran adalah satu-satunya jalan menegakkan demokrasi.” (Wahid;1997;ix)
Sedangkan untuk proses pembangunan nasional di negara-negara dunia ketiga yang mayoritas muslim, dalam Islam, Anti Kekerasan dan Transformasi Nasional, Gus Dur berpendapat bahwa untuk transformasi nasional sebuah bangsa ada dua aspek yaitu perubahan struktur sosial yang mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara, dan perubahan itu diperlukan dalam hubungan sosial antara tingkatan sosial yang berbeda.
Perubahan ini bisa dilakukan dengan kekerasan atau anti kekerasan. Perubahan dengan menggunakan kekerasan akan melahirkan kekerasan balik yang mungkin akan lebih hebat, yang kemudian kekerasan tidak dapat dikontrol lagi. Gus Dur menyatakan posisinya bahwa: “Gerakan Islam harus mengabdikan diri mereka pada anti-kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka”(Wahid,1998;73). Gus Dur menawarkan dua kerangka kerja anti kekerasan bagi organisasi Islam yaitu menjadi penjamin pemenuhan hak asasi warga negara dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga non-religius, dan lintas agama dengan pendekatan sosio-kultural pluralistik (Wahid,1998;75).
Lantas, apa kaitannya dengan gerakan perempuan? Hanya di sistem pemerintahan demokratislah pendapat dan cara pandang perempuan dijamin sama sepertihalnya suara-suara kelompok minoritas dan rentan lainnya. Hakikatnya gerakan perempuan mengarah kepada keseimbangan relasi dan anti kekerasan. Upaya-upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan haruslah dilakukan tanpa kekerasan dan membutuhkan kerja bersama dari berbagai komponen masyarakat.
Hal ini hanya mungkin terjadi, dalam negara di mana kebebasan berpendapat, berkumpul dan berekspresi dihormati oleh negara dan warganya. Karenanya, gerakan perempuan di Indonesia adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari gerakan demokrasi dan HAM. Pencapaian kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari upaya pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Persamaan Hak Perempuan adalah Hak Konstitusional
Dalam memandang hak asasi perempuan, Gus Dur melandaskan pada lima prinsip umum HAM dalam Islam yang berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan yaitu: hak hidup (hifdz al-nafs), hak beragama (hifdz al-din), hak kepemilikan (hifdz al-maal), hak profesi (hifdz al-‘irdl) dan hak berkeluarga (hifdz al-nasl). Gus Dur mengakui terdapat hak asasi perempuan yang menjadi permasalahan di kalangan muslim, yaitu persamaan kedudukan lelaki dan perempuan, kepemimpinan perempuan dan keberlakuan fikih terkait pembagian peran gender.
Untuk menegaskan terkait penafsiran teologis terkait tiga isu tersebut, Gus Dur menekankan pada pendekatan persamaan di hadapan hukum sebagai hak konstitusional perempuan (Wahid,1997:37). Yaitu:
“Pada dasarnya perempuan dan lelaki mempunyai persamaan hak dan derajat di muka undang-undang. Itu perlakuan konstitusional, karena persamaan hak adalah masalah konstitusional, bukan teologi… Dengan demikian, kita harus melihat persoalan perempuan dari sudut pandang yuridis dan konstitusional. Di Indonesia secara konstitusional hak perempuan dan lelaki sama, dan ini tidak mengurangi nilai keislaman”
Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, Komnas Perempuan mengidentifikasikan 40 hak konstitusional sedangkan hak-hak hukum atau yuridis timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Secara khusus hak asasi perempuan dijamin dalam UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Pengahpusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Baca Juga: Sukarno, Gus Dur Dan Komitmen Kebangsaan Kaum Nasionalis Dan Agamais
Pilihan untuk melihat persoalan perempuan sebagai hak konstitusional dan hak yuridis, seharusnya menjadi dasar gerak negara dan aparatur pemerintah untuk memenuhi, melindungi dan memenuhinya. Namun, terjadi pengurangan kerangka hukum dan kebijakan yang bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi atau kekerasan berbasis gender, yang seringkali dibenarkan atas nama tradisi, budaya, tafsir keagamaaan atau ideologi fundamentalis. Juga kekerasan berbasis jender terkait erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan perempuan, diantaranya tafsir keagamaan. Hal ini nampak misalnya dari kebijakan daerah yang diskriminatif, yang menjadikan golongan masyarakat yang paling rentan seperti perempuan menjadi sasaran pelembagaan diskriminasi.
Dengan demikian, jika merujuk pada posisi dan pendapat Gus Dur, berarti dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat kita masih memiliki agenda bagaimana menempatkan persamaan hak perempuan dalam kerangka konstitusional dan yuridis, bukan teologis.
Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan perempuan menjadi sebuah perdebatan di kalangan umat Islam. Hal ini tidak terlepas dari penafsiran terhadap Alquran dan hadis khususnya al-rijalu qawwamuna ala al-nisa, yang umumnya diartikan laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, dan hadis “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan negara pada perempuan”. Gus Dur menafsirkan qawwamuna sebagai isyarat bahwa lelaki bertanggungjawab secara fisik atas keselamatan perempuan. Sedangkan untuk hadis larangan menyerahkan urusan kepada perempuan, Gus Dur menilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. (Wahid,1999:39)
Baca Juga: Obituarium Sayyidah Khadijah: Keabadian Cinta Dan Tonggak Perjuangan Perempuan
Saat menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar NU (PBNU) Gus Dur melakukan upaya-upaya legitimasi peran politik perempuan NU. Secara formal, dihasilkan keputusan musyawarah nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Nomor 004/Munas/11/1997, pada 17-21 Nopember 1997 di Lombok tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam (Sukardi, 2018:104). Hal ini berlanjut dengan Muktamar NU 1999 di Lirboyo, Kediri yang menghasilkan ruang yang lebih besar bagi para kader perempuan yang terhimpun dalam Badan Otonom perempuan NU untuk berpartisipasi aktif dalam keputusan-keputusan organisasi NU (Rahayu:2015:1). Keputusan tersebut menjadi entri point serta sumber legitimasi bagi gerakan perempuan dan lembaga-lembaga dalam struktur NU maupun di luar NU dalam upaya meningkatkan representasi politik perempuan dan penyadaran terhadap hak-hak perempuan di Indonesia.
Namun, Gus Dur mengkritik bahwa isu gender menjadikan ‘dapur’ baru bagi perempuan yang menyebabkannya melupakan mengejar prestasi. Ujarnya: “Kalau di Indonesia berujung di kantor Menteri UPW… Sudah dikasih mainan itu sudah senang, nikmat, sehingga dia lupa bahwa kewajiban mereka adalah kompetisi di bidang-bidang lain” (Wahid,1993:231). Kritik ini untuk mengingatkan bahwa kepemimpinan dan partisipasi perempuan tidak boleh terbatas atau dibatasi pada bidang-bidang yang terkait erat dengan isu keperempuanan, namun harus merambah di seluruh bidang kehidupan. (Bersambung) [HM]