Shofiyyah Mahasiswa Pascasarjana INKAFA Gresik; Tenaga Kependidikan di TKM NU 294 Ya Tamam Gresik

Disfungsi Toa: Menahan Rindu Mendengar Suara “Bilal”

2 min read

Foto: www.kompasiana.com
Foto: www.kompasiana.com

Tanpa terasa, purnama Ramadan telah purna. Perlahan namun pasti, bulan terus bergerak dalam lingkaran orbitnya mengantarkan purnama pada sabit, hingga matahari dan bulan berada pada nilai bujur yang sama, terhitung sempurna satu putaran. Tepat saat langit menampakkan hilal yang baru, maka Ramadan telah melambai berlalu.

Ramadan menjadi momentum untuk meningkatkan iman dan takwa. Ramadan adalah bulan yang mulia; sepuluh hari pertama adalah rahmat, sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka, demikian lah dalam sebuah hadis disebutkan. Mendapat kemulian dari bulan ini adalah harapan besar kaum muslimin, maka tidak heran jika tiap Ramadan datang, masyarakat muslim begitu antusias menyemarakkan. Masjid dan musala tak pernah sepi, mulai kegiatan jemaah salat tarawih, tadarus Alquran, kultum, pengajian kitab kuning, dan tausiyah. Spiker toa—sebagai media pendukungnya—ikut andil menghidupkan hari-hari Ramadan, sampai tiba pada hari gema takbir kemenangan dikumandangkan.

Namun Ramadan kali ini terasa berbeda. Spiker toa itu seperti kehilangan fungsinya, tak lagi bersuara. Di beberapa daerah, ia masih dapat “diperjuangkan” hanya saat azan dikumandangkan, itu pun terbatas untuk masjid, tidak untuk musala. Di beberapa daerah yang lain, sang toa sama sekali tidak dapat “dimerdekakan”. Pagebluk Covid-19 menjadi alasannya.

Semenjak pandemi, pemerintah mengeluarkan aturan 3b (belajar, bekerja dan beribadah) dari rumah, segala aktivitas dibatasi, social distancing diberlakukan, tagar di rumah saja menghiasi seluruh laman media sosial, meski realitasnya sebagian besar masyarakat kesulitan mengikuti aturan ini secara disiplin.

Belum genap satu bulan toa didisfungsikan, masyarakat mengaku gelisah. Semangat Ramadan perlahan meredup. Mereka rindu suara pujian dan shalawat di musala dekat rumah mereka, rindu suara pengajian (tausiyah) di penghujung senja sambil menunggu waktu berbuka, rindu suara bilal yang menggema saat salat tarawih, dan rindu suara tadarus para jemaah. Menahan kerinduan itu hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Baca Juga  Syeikh al-Azhar Prof. Ahmad al-Thayyib: Khilafah Islam yang Ideal Era al-Khulafā’ al-Rāsyidūn Tidak Dapat Dihadirkan Kembali

Barangkali demikian pula kerinduan yang dirasakan masyarakat Madinah pada kumandang azan sahabat Bilal bin Robbah—muazin Rasulullah—yang enggan lagi mengumandangkan azan pasca-wafatnya baginda Nabi Muhammad SAW. Ia memutuskan pergi ke Suriah, meninggalkan Madinah yang penuh kenangan. Begitulah kata orang bijak, “Hanya ada dua alasan yang membuat seseorang pergi sejauh mungkin. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena cinta yang amat dalam”. Alasan kedua ini lah yang menguatkan tekad Bilal meninggalkan kota Madinah, karena setiap sudutnya selalu mengingatkan kenangan indah bersama Rasul tercinta. Alhasil kepergian Bilal menyisakan kesunyian di kota Madinah.

Masyarakat Madinah begitu merindukan suara emas Bilal bin Rabbah. Apalah daya tak ada yang berhasil membujuknya. Begitu besar kerinduan itu hingga khalifah Umar bin Khattab pergi ke Suriah demi membujuk sahabatnya kembali mengumandangkan azan di kota Madinah. Sayangnya nihil, Bilal tidak menyanggupi permintaan sang khalifah. Sampai suatu malam, Rasulullah datang dalam mimpi Bilal dan bertanya “Ada apa gerangan yang membuatmu tak lagi mengunjungiku, dan kau tempuh jarak yang jauh untuk meninggalkan Madinah?”. Tersadar dari mimpinya, kerinduan itu menyeruak di dalam dadanya, Bilal pun bergegas menuju kota Madinah, bersimpuh di Raudlah, menangis pilu, menanggung rindu.

Mendapati seseorang tersedu di samping makam Rasulullah, dua cucu baginda Nabi pun mendekatinya. Menyadari lelaki itu adalah muazin Rasulullah, keduanya merayu Bilal untuk kembali mengumandangkan azan sebagai tebusan rindu keduanya pada kakek tercinta. Namun Bilal menolak dengan halus. Baginya, kumandang azannya akan menambah rasa rindu pada baginda Nabi. Tidak jauh darinya, khalifah Umar bin Khattab yang sedang melihat hal tersebut kemudian mendekat dan ikut merayu cukup lama. Senang tiada kepalang, rayuan itu diamini akhirnya.

Baca Juga  Semua Takdir Bisa Berubah

Ketika waktu salat tiba, Bilal menuju tempat di samping masjid, tempat biasa dia dulu mengumandangkan azan semasa Rasulullah masih hidup. “Allahu Akbar”. Suara Bilal menggema, seketika kota Madinah terasa senyap. Ada yang berdenting di sudut mata mereka. “Asyhadu An Lā Ilāha illā Allah”. Seluruh masyarakat histeris, berlari menuju masjid agar suara azan terdengar lebih jelas, memastikan bahwa Bilal lah yang mengumandangkannya. “Asyhadu Anna Muhammadan Rasūlullah” Seketika suara Bilal tercekat, air matanya tumpah, kerinduan itu memuncak. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan dari kedua pelupuk mata masyarakat Madinah, tak ada yang mampu membendungnya. Semua pun ikut menangis pilu, merindu baginda Nabi. Dan hari itu menjadi azan pertama Bilal—setelah lama menghilang—sekaligus terakhir, karena tidak lama kemudian Bilal menutup usia menyusul kepergian Rasul yang dicintainya.

Kala itu, masyarakat kota Madinah yang sangat merindukan kumandang azan Bilal bin Rabbah mendapat manis buah rindunya meski dalam penantian yang tidak sebentar, dan tentu setelah beberapa kali membujuk dan merayu. Kini masyarakat Islam tengah dilanda rindu pada suara “Bilal” meski dalam konteks yang berbeda. Belajar dari masyarakat Madinah, kaum Muslim saat ini selayaknya terus merapal doa agar pandemi segera berakhir. Bukan sekadar doa, namun ada langkah konkret untuk mengembalikan “legalitas” suara toa dengan tanpa menyimpang dari aturan pemerintah serta tetap mengutamakan keselamatan jiwa manusia.

Semoga dalam waktu dekat, masyarakat kembali mendengar azan dari tiap masjid dan musala di dekat rumah mereka, kembali mendengar suara pujian dan shalawat yang biasa dilantunkan sebelum salat maktūbah, kembali mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang menggema. Toa kembali difungsikan, dan masyarakat kembali diizinkan mendengar suara-suara merdu “Bilal” yang tengah dirindukan. [MZ]

Shofiyyah Mahasiswa Pascasarjana INKAFA Gresik; Tenaga Kependidikan di TKM NU 294 Ya Tamam Gresik

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *