Rumah indekos Ranti di Wonokromo. Tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Mim. Di siang hari, jika hari sedang normal dan tidak ada peristiwa istimewa di situ, jalanan lancar. Hanya perlu 15 menit perjalanan untuk sampai ke sana.
Tapi jangan tanya bagaimana ruwetnya perjalanan di waktu sore dan pagi hari. Siapkan kesabaran dua hingga tiga kali lipat karena semua kendaran menumpuk di satu titik pada waktu bersamaan. Mereka terdiam mengular, atau berjalan-jalan merambat seperti serombongan kura-kura yang sedang konvoi sambil menikmati Surabaya sore hari.
Alif setengah tancap gas menuju alamat Ranti. Mengejar waktu agar tidak terlalu malam kembali sampai di rumah. Ia malas menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik dari ayahnya. Urusan kepulangan mendadak dari Jogja dan niatan menghadiri wisuda Mim yang gagal itu saja belum beres. Tambah berat urusannya kalau ditambah lagi dengan ketahuan pergi ke Surabaya tanpa pamit, untuk diam-diam menemui Mim.
Ranti sudah bersiap di depan gerbang. Menunggu Alif. Yang ditunggu baru muncul beberapa menit kemudian dengan gestur seperti orang tergesa-gesa. Memarkir motor, membuka helm lalu melangkah mendekati tuan rumah yang sudah menunggu dengan senyum yang manis.
“Masuk dulu, Kang..” Ranti mengajak kakak sepupunya menuju ruang tamu. Alif langsung duduk sambil melepas jaket jinsnya. Ruang tamu itu zona terakhir yang boleh dijamah lawan jenis.
“Mau minum apa, Kang? Adanya cuma air putih,”
“Iya air putih enggak apa-apa.” Alif menjawab asal sembari melesakkan punggungnya ke sofa empuk yang sudah tidak lagi empuk di ruang tamu itu.
“Air putih biasa atau air putih banget?” Ranti bertanya lagi.
“Gembus!” Alif mengancam melempari Ranti dengan bantal kursi. Yang diancam melesat lari sambil tertawa ngakak. Tapi tak lama kemudian balik lagi ke ruang tamu.
“Eh, Kang…ini nanti langsung balik Lumajang?”
“Iya lah. Masak mau nginep di masjid.”
“Aku ikut, ya. Nebeng naik motor.” Ranti menangkupkan kedua telapak tangannya seperti orang memohon.
“Kamu mau pulang?”
Ranti mengangguk.
“Ya ayo. Lumayan aku ada temannya,” Alif menjawab enteng.
“Yes!” Ranti mengepal kedua tangan lalu membuat gerakan seolah striker balbalan habis bikin gol indah.
“Eh Kang tadi mau minum apa? Ada teh, kopi, dan STMJ. Di sini lengkap kok.”
Kali ini Alif melemparkan bantal kursi itu ke arah Ranti. Untuk kedua kalinya Ranti berhasil menghindar dan kembali tertawa menang.
_________________
Alif dan Ranti menyusuri jalan menuju kampung halaman berdua. Baru kali ini Ranti berdua-duaan dengan Alif sejak mereka dewasa. Duduk berdua dalam satu sadel motor untuk perjalanan kurang lebih tiga jam.
Sebenarnya pulang dengan kendaraan umum pasti lebih nyaman buat Ranti. Tapi kenapa tadi tiba-tiba ia spontan minta nebeng pulang bareng Alif. Jika naik bus Ranti bisa leluasa meletakkan kepala dan memasrahkan punggung dengan nikmat ke sandaran bus, lalu…
“Jangan ngantuk. Bahaya! Alif menowel lembut lutut Ranti yang nyaris merem.
“Enggak ngantuk kok.”
“Palsuu.. ngaku enggak ngantuk tapi helmnya jedug-jedug ke helmku.” Alif tertawa. Ranti mencubit pinggang orang di depannya. Yang dicubit langsung melengkungkan tubuh ke depan sambil berteriak “Gendeeeng…”
Di Kota Pasuruan motor Alif berhenti sebentar. Di sebuah warung bakso yang terkenal di kota itu. Bakso Anggrek namanya. Alif ingin bercerita dan meminta tolong kepada Ranti. Soal Mim.
Ada yang harus dibereskan sebelum ia kembali ke Jogja. Sambil menikmati bakso mereka bercakap-cakap. Agak serius kali ini.
“Ran, aku minta tolong.” Yang diajak bicara asyik mengocok-ngocok botol saus tomat yang lubangnya mampet.
“Ran..”
“Eh iya, Kang…pasti kubantu. Apa sih yang tidak buatmu,” Ranti tertawa menyeringai.
“Ah kamu ini enggak serius.”
“Lhoo.. aku serius. Pasti kubantu. Tapi ada syaratnya!”
“Apa?”
“Aku diperbolehkan ngantuk di boncengan.”
Alif tertawa ngakak. “Mbonceng orang ngantuk itu sama saja kayak ngangkut gabah (padi). Berat, tapi enggak bisa diajak ngobrol.”
“Kalau enggak mau ya enggak apa-apa.”
“Oke.. oke.. Boleh ngantuk, boleh tidur. Bebaass!” Alif menyerah.
“Yang penting di rumah nanti bantu aku supaya bisa ketemu Mim.”
‘Siaap.”
Setengah jam kemudian keduanya kembali menuju ke timur. Menyusuri De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibangun Deandels sepanjang 1.000 Kilometer dari Anyer-Panarukan. Pohon-pohon asam Jawa yang berumur ratusan tahun menjadi pemandangan utama di kanan kiri jalan.
Ranti tersentak dari sepuluh detiknya saat towelan halus itu mendarat untuk kedua kalinya di lutut kirinya. Tapi kali ini disusul tangan orang di depannya memegang tangannya dan menariknya ke depan. Mengarahkannya untuk berpegangan pada bagian tepi jaket Alif.
“Ngantuk boleh, jatuh jangan.” Alif berkata lembut.
Ranti menurut. Ia tersenyum diam-diam. Tiba-tiba ada perasaan menghangat jauh di dalam hatinya.
_________________
Di rumah, Mim sedang berbincang dengan bapaknya di meja makan. Perbincangan yang membuat gadis itu beberapa kali harus mengembuskan nafas berat. Berusaha menghilangkan beban berat yang tiba-tiba seperti dipikulkan ke pundaknya.
“Bapak tidak akan memaksamu. Tapi Bapak juga tidak mungkin mencegah mereka datang rumah kita,” Pak Dullah berusaha bicara selembut mungkin kepada putri semata wayangnya.
Mim diam saja. Memelintir-melintir ujung jilbabnya sendiri.
“Kita tidak jadi berangkat ke Semarang. Tapi mereka yang datang kemari. Insyaallah tiga hari lagi.”
“Beri waktu Mim berpikir, Pak!”
“Tentu saja. Tidak usah terburu-buru memutuskan. Hanya kamu yang Bapak punya. Tak putus-putus Bapakmu ini selalu mendoakan dan mengusahakan semua yang paling baik buatmu.”
Tangis Mim meledak..
Bersambung… (AA)