Sholikh Al Lamongani Dosen Prodi Studi Agama FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; Direktur Kedai Jambu Institute Riset-Survei; Sekretaris DPD KNPI Jawa Timur 2017-2019

Orang Matipun Ditolak: Gejala Paranoia Sosial Akibat Pandemi Covid-19

2 min read

sumber: pinterest.com

Covid-19 berdampak luar biasa terhadap kehidupan bermasyarakat. Bahkan terasa sudah di luar nalar kemanusiaan yang normal. Ketidakwarasan ini tampak jelas misalnya dengan adanya penolakan mayat perawat terpapar Covid-19 oleh sejumlah oknum di desanya. Padahal, mayat tersebut sudah diperlakukan sesuai protokol kesehatan, sesuai standar penanganan Covid-19 dari WHO. Fenomena ini menunjukkan bahwa sedang terjadi gejala “paranoia sosial” di tengah masyarakat.

Saat ini, dunia sedang mengalami krisis global akibat pandemi Covid-19. Hampir semua negara di belahan bumi terpapar. Virus ini menjadi hantu zombie yang menakutkan dan mematikan. Penyebaran Covid-19 secara global masih terus berlangsung dan korban terus bertambah dari hari ke hari. Berdasarkan data Worldomaeters yang dikutip oleh kompas.com, total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 3.719.899 (3,7 juta) kasus hingga Rabu (6/5/2020). Dari data tersebut terdapat 1.235.817 (1,2 juta) pasien berhasil sembuh dan 257.747 orang meninggal dunia.

Data di atas menunjukan bahwa pandemi Covid-19 ini sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia. Virus ini merupakan yang terbesar sepanjang akhir abad terakhir, dengan sebaran hampir di semua negara di dunia.  Covid-19 secara langsung telah menjadi faktor perubahan struktur sosial pada masyarakat global. Tatanan dan struktur sosial masyarakat mengalami percepatan dan perubahan luar biasa. Semua sendi dan aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, kesehatan, lingkungan bahkan wilayah keagamaan tidak luput ikut terdampak mengalami perubahan secara radikal.

Fenomena ini disebut dengan istilah sosiovirologi, yakni sebuah perubuhan sosial yang dipengaruhi oleh sebaran virus (mikroba). 

Salah satu yang mengalami perubahan secara masif dari dampak Covid-19 adalah bangunan relasi kehidupan sosial-budaya. Menurut T. Healthline Legg (2017), paranoia merupakan sebuah gejala atau fenomena dengan rasa curiga dan takut berlebihan. Umumnya, individu dengan kepribadian paranoid selalu menganggap bahwa orang lain ingin menyakiti dan merasa kondisi di sekitarnya mencurigakan atau berbahaya bagi keselamatan dirinya. Gejala paranoid sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun ada hal yang paling diyakini adalah karena pengalaman traumatis semasa kecil, baik secara fisik atau emosional yang didorong oleh emosi ekstrem maupun pengaruh lingkungan.

Baca Juga  Paham Kebangsaan NU Perspektif Gus Dur (1)

Gejala khas paranoid adalah ketidakpercayaan kepada orang lain secara berlebihan. Orang dengan gejala ini juga sangat berlebihan dalam mengontrol orang-orang di sekitarnya. Sehingga, sikap yang sering ditampakan dari orang paranoid adalah kaku, tertutup, atau menujukan sikap acuh terhadap orang lain, terutama orang yang baru dikenalnya. Dari gambaran ini, paranoia sosial adalah gejala fenomena saling curiga dan takut berlebihan pada orang lain, yang dianggap akan menyakiti dan berbahaya bagi keselamatan dirinya.

Paparan gejala di atas sangat tepat untuk membaca situasi dan kondisi sosial masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Hampir semua negara yang terpapar Covid-19 menerapkan kebijakan protokal kesehatan dari WHO untuk mencegah dan melawan Covid-19. Di antaranya adalah physical distancing dan social distancing.  Kebijakan ini berdampak masif terhadap relasi sosial-budaya dan disikapi berlebihan atau dapat dikatakan hampir mengarah pada gejala “paranoia sosial”.

Gejala paranoia sosial yang terjadi di masyarakat saat ini, di antaranya bisa dilihat dari keenganan atau bahkan ketakutan untuk bersentuhan/bersalaman dengan orang lain, keenganan bertemu atau bersilaturahim, cangkrukan, atau ngopi bersama teman dan saudara. Salah satu faktor dari keenganan sosial tersebut adalah kekhawatiran luar biasa terhadap orang lain yang dianggap bisa menularkan Covid-19 dan dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri. 

Kasus paling heboh adalah ditolaknya beberapa mayat terpapar Covid-19 di pemakaman kampungnya sendiri, oleh warga sekitar. Kasus ini menghentak kesadaran sosial kita. Padahal, sebelumnya, karakter sosial-budaya masyarakat Indonesia adalah sosialis, egaliter, guyub, rukun, suka silaturahim, nguwongne wong dan gotong royong. Kultur ini seakan hilang dan terkikis di tengah ketakutan akan Covid-19.

Kita memang harus waspada, tapi tidak boleh panik berlebihan. []

Sholikh Al Lamongani Dosen Prodi Studi Agama FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; Direktur Kedai Jambu Institute Riset-Survei; Sekretaris DPD KNPI Jawa Timur 2017-2019

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *