

Bulan Desember dikenal sebagai bulan Gus Dur, karena pada bulan ini Gus Dur meninggal dunia. Tepatnya pada 9 desember 2009, ia berpulang. Kata-kata Gus Dur yang yang cocok pada momen seperti ini adalah, “aku tidak pergi, hanya pulang.” Begitulah. Bahkan, kata-kata tersebut pernah dijadikan sebagai judul sebuah buku tentang pemikiran Gus Dur.
Pria tersebut pada awalnya memiliki nama Abdurrahman Ad-Dakhi, yang bermakni “sang penakhluk”. KH. Wahid Hasyim, seorang tokoh nasional sekaliGus putra KH. Hasyim Asy’ari kesem-sem dengan kiprah dan sepak terjang Abdurrahman Ad-Dakhil, seorang muslim yang berhasil menaklukkan Cordoba, Spanyol dan melakukan ekspansi islam di sana. Agaknya, kyai Wahid ingin putranya nanti menjadi orang besar, bermanfaat pada banyak orang dan tentunya selalu menjunjung tinggi agama islam.
Hingga beberapa waktu berjalan, nama tersebut kemudian diubah atas titah Mbah Bisyri Sansuri yang juga menjadi kakek dari Gus Dur sendiri menjadi Abdurrahman Wahid. Dengan segala didikan orang tua, lingkungan, nasab, dan proses yang tidak kenal lelah, akhirnya mengantarkan Gus Dur menjadi manusia yang begitu luhur yang. Tidak hanya di mata manusia, tapi juga di sisi Tuhannya. Amiin.
Mengapa Gus Dur layak disebut sebagai orang yang luhur ?
Disinilah, kajian kita mulai mengerucut. Sebagaimana para wali, Gus Dur tidak hanya terkenal ketika masih hidup, bahkan ketika ia sudah dikubur pun namanya tetap harum dan wangi. Namanya terus ditulis, jasanya terus dikenang, pemikirannya dilestarikan hingga atribut-atribut yang berkaitan dengan Gus Dur hampir bisa dipastikan selalu laku dan laris di pasaran. Ini menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa. Gus Dur berhasil menarik simpati dan mengambil hati manusia Indonesia.
Tak berhenti disitu, anak-anak Gus Dur, baik secara biologis maupun ideologis meneruskan perjuangan ini. Perjuangan Gus Dur, secara konseptual dan pemikiran terangkum dalam delapan hal, yakni: perdamaian, toleransi dan pluralisme, demokrasi, relasi agama-negara, relasi agama-budaya, keberpihakan kepada kaum lemah, pribumisasi islam dan humanisme.
Sebagai cucu pendiri ormas islam terbesar di Indonesia, sudah bisa dipastikan kiprah dan sepak terjang Gus Dur tidak lepas dari Nahdlatul Ulama’ (NU). Sebagai tokoh nasional karena berperan di kancah politik nasional, sekaliGus relegius karena Gus Dur merupakan sosok penting di tubuh NU, ia memiliki paham kebangsaan sendiri dalam menunggangi NU.
Lalu, bagaimana peran Gus Dur dalam merumuskan paham kebangsaan NU? Saya rumuskan dalam P2B
Pertama, Profesional.
Pada sebuah acara pertemuan pra-Rakernas yang diadakan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang diselenggarakan, Gus Dur diminta untuk berceramah tentang paham kebangsaan di kalangan warga NU. Pada kesempatan itu Gus Dur tampak menyoroti sambutan sebelumnya, yakni Prof. Cecep Syarifudin, salah seorang ketua PBNU periode itu, menceritakan bagaimana profesionalitas KH, Moh. Hasyim Asy’ari pada tahun 1943 menyampaikan kepada laksamana Maeda dari pemerintahan kedudukan Jepang bahwa Soekarno adalah pilihan NU untuk melakukan diplomasi dan negoisasi tentang kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang. Ini sebenarnya adalah bagian dari perjanjian lisan secara diam-diam antara pemerintah pendudukan Jepang di satu pihak, dengan pemimpin Indonesia, di sisi lain. Mereka berjanji, jika tentara sekutu mendarat ke kepulaun Jepang, tanah-tanah jajahannya akan memperoleh kemerdekaan.
Perjanjian itu dimaksudkan untuk membuat bangsa-bangsa bekas jajahan sekutu tidak dikuasai oleh sekutu lagi. Penunjukan bung Karno oleh Kyai Hasyim Asy’ari itu merupakan bukti profesionalitas Nahdlatul Ulama’, yang dinahkodai oleh Kyai Hasyim tersebut tidak memikirkan kepentingan NU lebih dari kepentingan bangsa. Hal ini menunjukkan profesionalitas dan kualitas kerja bukan ditentukan dari ormas atau golongan tertentu, termasuk NU. Apalagi urusannya dengan nasional-kebangsaan, maka orang terbaiklah yang harus ditunjuk untuk mewakili rakyat meskipun itu bukan dari kalangan NU. Bagi saya ini menarik, dan bisa dijadikan landasan paham kebangsaan NU, meskipun secara eksplisit tidak disebutkan kata “profesional” dalam warisan tulisan dan pemikiran Gus Dur.
Selanjutnya: Paham Kebangsaan NU…(2)
Mahasantri di di Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton-Probolinggo, Jawa Timur