Dari sekian banyak manusia yang hidup di bumi ini belum sepenuhya bisa mengenal dirinya sendiri, dan mungkin hanya ada beberapa yang dapat mengenal dirinya sendiri. Mengenal tentang siapakah diri kita merupakan pekerjaan yang paling penting bagi setiap manusia. Tujuannya untuk menentukan kemana arah langkah kehidupan ini dan juga menyadari untuk apa kita hidup di dunia ini. Peranan penting dalam mengenal diri sendiri adalah sebagaimana mengenali pakaian yang sudah melekat dalam diri kita. Segala macam kelebihan dan kekurangannya akan terlihat oleh diri kita saat bercermin didepan kaca.
Sulit memang mengenali diri. Padahal hanya dirinya lah yang bisa mengenali dirinya sendiri. Mengenal diri merupakan langkah awal mencintai diri sendiri tanpa syarat apapun. Proses mengenali diri dalam agama Islam di sini merupakan usaha meningkatkan kualitas hidup, dan juga proses membaca diri sendiri agar dapat mengenal Tuhan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Kimiyā’ al-Sa’ādah, bahwa mengenal diri sendiri merupakan kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sangat sederhana, yaitu diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita. Bila kita tidak mengenal diri sendiri lantas bagimana mungkin kita bisa mengenal Allah? Sebelum kita dapat mengenal Allah, kita harus bisa mengenal diri sendiri terlebih dahulu. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang berbunyi “Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu”. Artinya, barang siapa mengenal akan dirinya, niscaya mengenal akan Tuhannya”.
Dalam pelajaran mengenal diri sendiri di sini akan memproses kita menuju insān kāmil atau yang bisa dikatakan dengan manusia sempurna. Insān kāmil adalah manusia yang mampu mengaktualisir semua potensinya secara lengkap. Dalam diri manusia sempurna sangat berbeda dengan kategori manusia hewani. Manusia sempurna dapat membimbing individu lainnya untuk sampai pada titik tertinggi menuju Tuhan, bertindak mencerminkan tindakan Tuhan di dalam masyarakat, serta mengarahkan orang pada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat.
Setidaknya ada mpat pilar yang dapat mengantarkan manusia pada gerbang “manusia paripurna atau sempurna”. Empat pilar tersebut, antara lain: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Ajaran mengenali diri di sini terbagi menjadi tiga tahapan pendakian, yaitu syariat menuju tarekat, tarekat menuju hakikat, dan untuk tahapan yang terakhir hakikat menuju makrifat.
Untuk tahap pendakian pertama dalam proses mengenali diri berawal dari syariat menuju tarekat yang ditempuh dengan sikap ketaatan dan kepasrahan total. Setiap hamba Allah yang menempuh jalan perjumpaan dengan Allah harus mengikuti petunjuk jalan syariat yang akan dilalui dan taat pada apa yang telah diajarkan. Kepercayaan dalam ajaran Islam atau keimanan merupakan hal yang pokok yang tidak dapat ditinggalkan seseorang yang mengaku dirinya bertakwa kepada Allah. Kepercayan yang teguh itu yang disertai dengan ketundukan serta penyerahan jiwa secara total.
Sama seperti halnya dalam mencapai derajat insan kamil dalam pandangan Abdul Karim al-Jili, seseorang harus memulainya dengan melakukan pengalaman rukun Islam secara baik dan dilakukan secara lahir dan batin. Setelah seseorang mengamalkan dan menghayati rukun Islam, kemudian meyakini rukun iman secara mantap seperti halnya meyakini sesuatu yang ditangkap oleh panca indra.
Pada tingkat syariat manusia berada pada fase kesalehan. Fase ini seseorang akan mengamalkan amalan-amalan ibadat kepada Allah atas dasar khawf (takut) dan rajā’ (harap). Sedangkan tingkat tarekat disini sama halnya manusia masuk pada fase ih}san (kebajikan) dengan menempuh tujuh macam maqām, yaitu maqām tobat, inabah, zuhud, tawakal, rela, tafwidl, dan ikhlas.
Selanjutnya untuk tahapan kedua dalam proses mengenali diri terdapat peningkatan dari Tarekat menuju Hakikat yang ditempuh melalui kebebasan dalam pengabdian tanpa adanya beban dan paksaan. Sesungguhnya Allah tidak dapat dijangkau oleh manusia, akan tetapi dengan menyelami diri sendiri, mengenali diri, serta mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan juga mempelajari tentang segala yang ada di alam semesta ini sebagai tajallī Allah, maka manusia akan dapat mengenal Hakikat Tuhan untuk dapat lebih dekat dengan-Nya. Untuk tingkat hakikat di sini manusia memasuki fase syahādah (penyaksian). Dalam fase ini, manusia dituntut untuk meyakinkan kemauannya dalam mencintai Allah dengan cara mengingat Allah dan juga melawan hawa nafsu.
Untuk tahapan yang terakhir dalam proses mengenali diri yaitu dari hakikat menuju puncak makrifat yang ditempuh dengan melepaskan segala kehendak diri dan menyerahkan seluruh realitas kepada Tuhan, yang pada akhirnya manusia dapat menjalani hidup dengan penuh keceriaan dan seperti tanpa beban layaknya seorang anak kecil. Puncak mengenali diri pada tahap makrifat merupakan cerminan seorang insān kāmil (manusia sempurna).
Sedangkan untuk tingkatan makrifat ini sama halnya manusia masuk pada fase al-siddīqīyah (kebenaran). Dalam fase ini, manusia akan mencapai tingkat makrifat dalam tiga bentuk, yaitu ‘ilm al-yaqīn, ‘ayn al-yaqīn, dan haqq al-yaqīn. Setelah manusia menyelesaikan beberapa fase tersebut, barulah manusia mencapai tahap qurbah, yaitu tahap yang di mana ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Pada fase ini seseorang bisa dikatakan telah mencapai derajat insān kāmil.
Sebenarnya insān kāmil merupakan kesempurnaan manusia yang tercermin melalui sebuah proses perwujudan yang terjadi di antara keseimbangan serta keselarasan pola hidup manusia dalam mencapai tujuan hidup yang hakiki antara kehidupan manusia dalam konteks kemanusiaan dan juga konteks ketuhanan.
Setiap orang pasti dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan, karena sesungguhnya setiap manusia memiliki potensi untuk mencari dan menempuh jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Bagi mereka yang telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, maka hatinya akan menjadi bening suci layaknya cermin yang baru saja dibersihkan. Perilaku dan kepribadiannya merupakan pantulan cahaya ilahiah dan bukan menurut kemauannya sendiri, sehingga segala yang dijalani dan yang dialaminya merupakan kehendak Allah semata. [MZ]