Subhan Saleh Staf Pengajar di Ponpes Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat

Covid-19 dan Pesan Toleransi dari Tuhan

2 min read

sumber: europeanbordercommunities.eu

Untuk menghargai dan bersikap toleran terhadap kelompok lain, sesekali belajarlah merasakan menjadi kolompok minoritas.

Ungkapan di atas rasanya tepat untuk kita lakoni dalam kehidupan nyata, mengingat satu dasawarsa ini sikap toleransi kita sepertinya berada pada titik nadir yang mengkhawatirkan. Isu-isu sektarian seakan makin banyak dihembuskan. Entah kelompok yang mana sedang mengambil untung.

Tindakan kekerasan nirhumanis seperti sedang menemukan jalannya. Persekusi, pengusiran, pelarangan terhadap pembangunan rumah ibadah, serta kekerasan lain atas nama agama seolah sedang menjadi ritual wajib dalam berburu pahala.

Satu sama lain begitu sulit membangun relasi yang harmonis. Dengan mereka yang dianggap berbeda, kita tak mampu berjiwa besar menyikapi keragaman, menerima eksistensi kelompok lain, sebagai bagian dari satu identitas yang patut dihormati keberadaannya. Kita cenderung sibuk menempuh jalan berburu simpati Tuhan, tetapi pada lajur yang sama kita menggilas rasa empati terhadap sesama yang tidak segolongan.

Di tengah gempuran sikap intoleransi, caci maki, serta ujaran kebencian itu, dunia tiba-tiba dikejutkan dengan satu wabah pandemi Covid-19 yang kemudian merampas hampir seluruh kebebasan manusia yang selama ini mungkin dinikmati di atas derita ketidak bebasan kelompok lain. Bermula dari wuhan, satu provinsi di negeri Tiongkok, wabah ini kemudian menyebar begitu cepat ke seluruh belahan dunia. Covid tidak memilih korban berdasarkan identitas, tidak memilih merek, tidak melihat negara, apalagi agama.

Pandemi ini bisa menghinggapi siapa saja: kaya, miskin, ateis, agamawan, bangsawan, pejabat, rakyat biasa, petani, pedagang, nelayan dan lain sebagainya. Para ahli kesehatan dunia memprediksi wabah ini akan bertahan lama, mengingat vaksin Covid-19 diperkiran baru akan ada paling cepat pertengahan 2021. Artinya, selama itu masyarakat dunia akan hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran.

Baca Juga  Bukan Hanya Orang, Islam Juga Ada yang Pribumi dan Nonpribumi (1)

Kehidupan normal pun tak bisa dijalani. Kita berada pada satu kondisi di mana hampir seluruh kebebasan itu dalam tekanan, ekonomi merosot, sumber mata pencaharian terputus. Namun, selalu ada hikmah yang bisa kita petik dari setiap kejadian. Tentu bagi siapa saja yang mau berpikir, merenungi dan mengambil pelajaran darinya. Afala tatafakkarun, demikian potongan ayat dalam al-Qur’an yang mengajak kita untuk senantiasa berpikir.

Kita baru tersadar betapa pentingnya toleransi, menghargai kebebasan orang lain, di saat kita mendapati hampir seluruh kebebasan kita terenggut, aktivitas keagamaan dibatasi, masjid, gereja, vihara dan ruang-ruang keagamaan lainnya ditutup. Barangkali tak akan banyak yang menyadari jika kita tak mau mengambil pelajaran. Teguran kecil Tuhan ini tak seberapa dengan apa yang pernah terjadi pada kelompok minoritas di negeri ini.

Betapa sering kita mendengar kelompok minoritas dipersekusi oleh sebagian kecil dari mayoritas, gereja dibakar, rumah ibadah Ahmadiyah dirusak, dan kelompok Syiah diusir dari kampungnya. Semua terjadi dan berani kita lakukan karena kita tak pernah mengalami bagaimana rasanya menjadi kelompok minoritas yang dirampas hak dan kebebasannya.

Saat ini kita berada pada suasana yang mungkin sedikit sama, kita terkungkung oleh sebuah keadaan yang memaksa kita untuk menekan kebebasan yang selama ini kita jalani. Kita dipaksa merasakan bagaimana rasanya terhalangi shalat di masjid, tidak bisa melakukan ritual keagamaan, tidak boleh melakukan pengajian, peringatan hari-hari besar, jumatan, bahkan ibadah haji. Tuhan seolah hendak memberi pelajaran betapa pentingnya kita menghargai kebebasan primordial manusia yang dibawa sejak dia lahir.

Karena tak semua orang bisa melakukan itu dengan sadar, maka dengan musibah pandemi ini Tuhan sedang mengajarkan hamba-Nya untuk merasakan bagaimana jika ia ditekan oleh pandemi penindasan mayoritas.

Baca Juga  Cegah Ekstremisme dengan Sikap Moderat

Akan tetapi, di balik kejadian ini kita patut bersyukur sebab Tuhan hanya menegur kita dengan pandemi, membatasi banyak hal dalam ruang kebebasan kita bukan dengan kekerasan fisik. Coba bayangkan seandainya kita yang merasakan langsung pengusiran itu, merasakan wajah yang babak belur karena persekusi atau kehilangan keluarga karena dibunuh sebab tak sealiran. Barangkali kita tidak akan setegar mereka.

Dan yang paling penting bahwa di tengah pandemi ini ada harapan besar terhadap nilai kemanusian yang mulai tumbuh. Sebuah nilai yang melampaui toleransi. Solidaritas antar sesama yang saling mendukung dan membantu banyak kita temukan di tengah pandemi ini.

Tidak ada lagi sekat simbolik yang menjadi pemisah untuk menghalangi kita saling membantu. Perbedaan agama tidak jadi penghalang untuk mendoakan mereka yang beda keyakinan.

Kisah menarik itu terhampar lebar di hadapan kita, salah satu di antaranya adalah kisah yang terjadi di Maluku ketika seorang perawat Muslim dinyatakan postif Covid-19, tiba-tiba mobil ambulans yang membawanya ke RSUD dihentikan oleh beberapa orang Kristen, termasuk seorang pendeta. Dengan terlebih dahulu meminta izin pada perawat tersebut, di tengah jalan si pendeta memanjatkan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Satu pemandangan yang indah, bagaimana solidaritas telah melampaui toleransi.

Kita tak lagi hanya berusaha saling menghargai perbedaan, tapi juga melampauinya dengan saling membantu dan mendoakan, tanpa ada sekat agama yang menjadi penghalang. [AH].

Subhan Saleh Staf Pengajar di Ponpes Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat