Raha Bistara Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Syekh Yusuf al-Makassari dan Jaringan Tarekat Syattariyah di Nusantara

2 min read

Hubungan antara kaum Muslim Melayu-Indonesia dan Muslim Timur Tengah sudah terjadi sejak masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab Persia dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam di daerah yang mereka singgahi. Sementara penetrasi Islam di masa setelahnya tampak dilakukan oleh para guru pengembang sufi, sejak akhir abad XII, yang datang ke Nusantara dalam jumlah banyak.

Ketika hubungan bilateral antara Nusantara dan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad XIV dan XV, semakin banyak pula para penuntut ilmu dan jamaah haji dari Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji (Azumardi Azra, 1994:17). Ini mendorong munculnya komunitas yang oleh sumber-sumber Arab disebut sebagai Ashāb al-Jāwiyyīn (teman-teman dari Jawa) di Haramayn, Mekah dan Madinah.

Murid-murid Jawa di Haramayn merupakan inti utama dari tradisi intelektual dan keilmuan Islam bagi kaum Muslim Melayu-Indonesia. Terdapat sejumlah murid Jawi yang menjadi penyebaran agama Islam yang bercorak “neo-sufisme”, yakni gabungan antara syariat dengan tasawuf, seperti Abd al-Rauf al-Singkili, Abd al-Shamad al-Palimbani, Nur al-Din ar-Raniri dan Muhammad Yusuf al-Makassari.

Yang terakhir ini adalah tokoh sufi yang bersal dari Makassar. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa mendalami ilmu agama. Pemahamannya terhadap ilmu agama lebih condong pada aliran sufi. Dalam pengembaraan keilmuan, ia lebih banyak belajar kepada guru-guru sufi di Aceh hingga Haramayn. Sewaktu di Haramayn, ia didaulat sebagai guru sufi ternama Nusantara yang nanti akan mengembangkan tarekat di Nusantara.

Syekh Yusuf dan para ulama dalam jaringan ini mempunyai komitmen terhadap pembaharuan Islam, walaupun tidak terdapat keseragaman di antara mereka dalam metode dan pendekatan. Mayoritas mereka memilih jalan damai dan evolusioner, tapi sebagian kecil memilih pendekatan radikal, seperti kaum Padri di Minangkabau dengan tokoh Tuanku Imam Bonjol. Dengan begitu, jaringan ulama di Haramayn memberikan dasar bagi semangat pembaharuan bagi masyarakat Muslim Nusantara, terutama abad XVII dan XVIII.

Baca Juga  Amien Rais dan Gagasan Tauhid Sosial

Mekah dan Madinah, yang sering disebut sebagai Haramayn (dua Tanah Haram), menduduki tempat istimewa dalam Islam dan kehidupan Umatnya. Kedua kota ini menjadi tempat pertemuan Umat Muslim dari berbagai penjuru dunia. Haramayn juga menjadi pusat intelektualitas dunia Muslim, di mana ulama, kaum sufi, para filsosof, penyair, pengusaha dan sejarawan Muslim bertemu, saling bertukar ilmu dan informasi.

Inilah salah satu alasan mengapa para ulama memilih ke Mekah dan Madinah untuk menimba ilmu. Mereka menganggap cara pandang keagamaan di sana lebih kosmopolit dibanding kota-kota Muslim lain (Azumardi Azra, 1999:132). Hal ini yang membuat munculnya jaringan ulama yang nantinya juga menjadi cikal bakal jaringan ulama Nusantara dan Haramayn.

Ibnu Batuta, yang melakukan haji selama dua kali yakni pada tahun 728 H dan 756 H, memberikan sebuah penjabaran tentang kota Mekah dan menegaskan kota ini sebagai titik-temu kosmopolitan bagi lembaga-lembaga pendidikan di luar Mekah (Rose E Dunn, 2011:72). Sayangnya, meski Ibnu Batuta menjelaskan biografi para tokoh yang ada. ia tidak menjelaskan bagaimana proses keilmuan yang berlangsung pada saat itu.

Jaringan ulama pada abad XVII lebih bersifat kosmopolitan, terbukti dengan adanya dua ulama besar yang lahir dari luar Hijaz: Sayyid Shibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji dan Ahmad bin Ali bin Adl Qudus al-Sinnawi al-Misri al-Madani. Kedua ulama ini yang akan melahirkan tokoh-tokoh pada abad XVII, di antaranya Abdul Rauf al-Singkili dan Syekh Yusuf al-Makassari. Jaringan ulama Nusantara mendapat dorongan kuat ketika Ibrahim al-Kurani, murid al-Qusyasyi, memapankan karirnya di Madinah setelah menempuh pendidikan di berbagai tempat di kawasan Timur Tengah.

Karena keistimewaan intelektual dan kepribadian al-Kurani, banyak ulama dan murid berasal dari tempat yang jauh menghadiri halaqahnya. Tidak ada sumber yang mengatakan pasti berapa jumlah murid dari al-Kurani, tapi pada masa itu hampir semua ulama adalah murid al-Kurani. Di antara yang terkenal dari murid-murid al-Kurani, yang memainkan peran jaringan ulama, adalah Ahmad al-Nakhli (1044-1130 H), Muhammad Abd Hadi al-Sindi (1138 H), Abdullah bin Salim al-Basri (1048-1131 H), Ishaq bin Jaman al-Yamani (1096 H), al-Sinkili dan al-Makassari.

Baca Juga  Alif dan Mim (12): Rencana Perjodohan yang Membingungkan

Syekh Ibrahim al-Kurani membaiat Syekh Yusuf al-Makassari menjadi pengikut Tarekat Syattariyah dan mengajarinya kitab karya Abdurrahman al-Jami, al-Durrah al-Fākhirrah (Martin Van Bruinessen, 2012:397). Di bawah bimbingan al-Kurani, Syekh Yusuf menyalin kitab tersebut sebanyak dua salinan yang masih ada sampai saat ini. Jaringan tasawuf Syekh Yusuf lebih berorientasi kepada tasawuf falsafi, karena pengaruh Ibrahim al-Kurani sangat kuat, baik secara intelektual maupun spiritual. [AH].

Raha Bistara Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta