Filsafat sebegai Olahraga Berpikir untuk Menolak Radikalisme Beragama

Source: Kiagoos Auliansyah/detikcom

Terciptanya sebuah kebijaksanaan selalu menjadi orientasi awal dalam berfilsafat. Ironinya, segilintir orang khususnya kalangan muslim awam sering beranggapan bahwa para filsuf sering menampakkan hal-hal yang memiliki tendensi akan perpecahan di tengah lapisan masyarakat melalui argumentasi dan ciri khas gaya berpikirnya yang terkesan kontroversial. Sekalipun hal yang demikian tidak dapat dibenarkan.

Bila ditelaah dengan teliti, hal yang demikianlah yang menjadi pemicu awal akan adanya perbedaan pendapat di kalangan cendikiawan muslim terkait hukum mempelajari filsafat. Ibnu Sholah dan Imam Nawawi misalnya, dalam kitab Sulamul Munawwaraq, mereka berpendapat bahwa mempelajari ilmu filsafat adalah haram hukumnya.

Bahkan, di dalam kitab “I’anatuth Tholibin” dijelaskan bahwa para filsuf adalah orang-orang yang mengingkari bahwa alam semesta ini adalah hasil dari kemahakuasaan Tuhan, mengingkari Ilmu Tuhan dengan hal-hal yang rinci. Alih-alih pengetahuan Tuhan hanya terbatas oleh hal-hal yang bersifat universal atau global, dan menafikkan terkait kebangkitan dengan tubuh (I’anatuth Tholibin, Juz 2:47).

Lain halnya dengan pendapat menurut Imam Al-Ghazali dan beberapa Qoul Masyhur yang terkesan moderat, mereka menegaskan bahwa hukum mempelajari ilmu filsafat diperbolehkan (jawaz). Itu pun dengan catatan bahwa orang yang mempelajari filsafat mempunyai kecerdasan yang memadai dan bekal pemahaman terkait Alqur’an dan sunnah yang cukup.

Sepintas, dengan mengetahui sejarah singkat terkait kemunculan filsafat dan luas gaung cara kerjanya, kita bisa lebih bijak dalam melihat dampak-dampak positif yang dibawa oleh filsafat ke dalam tubuh Islam sendiri, dengan menjadikan filsafat sebagai sahabat dari agama Islam melalui berbagai macam pendekatan, korelasi, bahkan konfrontasi.

Dikarenakan para filsuf bukanlah orang-orang yang sekedar mencintai kebijaksanaan-jauh di dalam filsafat itu sendiri-filsafat mengajak agar tidak mencintai segala bentuk ilmu pengetahuan dengan as it is (apa adanya atau menelan secara mentah-mentah). Karena pada hakikatnya, filsafat selalu menghadirkan gesekan diantara bertemunya dua disiplin ilmu agar kualitas dan integritas kaum muslimin dalam berpikir dapat terus meningkat dan illmu pengetahuan pun bisa berkembang dengan pesat.

Kemunculan filsafat sendiri diawali dengan orang-orang Yunani kuno yang masih gemar melangsungkan sesembahan-sesembahan kepada dewa-dewi dan beberapa ritual-ritual tertentu sebelum abad ke 4-5 SM. Pada masa itu, masyarakat Yunani tidak terlalu menaruh perhatian lebih kepada perkembangan peradaban, sehingga mengakibatkan sebagian yang lain hanya mengikuti yang telah diikuti yang lainnya.

Orang-orang Yunani kuno menjadikan mitos dan dongeng-dongeng sebagai pembenaran atas setiap fenomena alam yang terjadi dengan mengkorelasikannya dengan dewa-dewi yang mereka sembah.

Bagaimanapun, hal ini masih dalam bentuk mitos, sehingga kontrol dari rasio dirasa luput dan berdampak pada fungsi mitos sebagai sebuah tempat untuk menampung kepercayaan, kegelisahan-kegelisahan masyarakat Yunani kuno dalam menjawab setiap fenomena alam, dan semua permasalahan di dalam kehidupan.

Hingga pada akhirnya, sebuah rasa kagum (thauma) dari seorang Aristoteles yang muncul dari konfrontasi percakapan yang saling berlawan didalam kepalanya, membuat rasa kagum itu berubah menjadi keingintahuan yang teramat sangat terhadap alam semesta dan berujung pada upayanya untuk menjawab bagaimana alam semesta ini bisa terbentuk dan tabiat manusia dalam berfikir secara rasional (Salam, 2012:100).

Filsafat pada awal kelahirannya memang ditandai dengan kemenangan rasio melawan mitos. Namun, tidak menggugurkan definisi lain terkait pengertian filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang selalu mempertanyakan banyak hal, dari bagian yang terbesar hingga potongan yang terkecil sekalipun. Karena melalui pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasio dalam akal itulah perbedaan manusia dengan makhluk hidup yang lain menjadi kentara.

Dengan demikian filsafat bisa hadir dalam hangatnya bumi percakapan umat manusia setelah keruntuhan mitos, disusul dengan Sokrates sebagai aktor utama yang berhasil menurunkan filsafat dari langit metafisik (mitos kosmogonis) sampai kepada telinga orang-orang yang ada di pasar, jalanan, hingga tukang cukur dengan menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek kajian filsafat (Latief, 2006, p. 14).

Filsafat sendiri dalam keilmuan Islam akrab dikenal dengan istilah “Mantiq”, sebuah ilmu pengetahuan yang membahas kaidah-kaidah dalam berfikir. Filsafat juga menuntut agar terus bersikap kritis, beripikir secara ilmiah, radikal (mendasar), sistematis, dan integral. Dengan maksud berpikir secara filsafat sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, dikarenakan pendekatan yang dipakai bersifat integral atau menyeluruh.

Selain itu, kebenaran filsafat pun memang terkesan sangat relatif, dikarenakan bersumber dari akal manusia yang relatif pula. Sedangkan dari sisi agama, nilai kebenaran yang dimiliki bersifat absolut serta abadi karena memang bersumber dari sesuatu yang abadi dan mutlak pula, yakni Tuhan.

Kendati adanya perbedaan antara agama dan filsafat dapat kita lihat dari porsi kebenarannya masing-masing, Namun, bukan berarti antara keduanya tidak bisa saling menyapa (Syarif Hidayatullah, Relasi filsafat dan agama, 2006:135).

Pengaruh positif filsafat yang bisa dirasakan dalam agama pun tidaklah sedikit, salah satunya dengan menjadikan filsafat sebagai “alat” untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dan menjelaskan sekaligus memperkokoh kedudukan agama.

Sebaliknya, banyak sekali pemikiran filosofis yang lahir dengan menjadikan agama sebagai sumber inspirasinya. Sehingga, banyak para filsuf yang semakin kuat keimanannya setelah melangsungkan pengembaraan filosofis yang mereka giati secara mendalam.

Dengan demikian, filsafat pada era modern dapat dikategorikan sebagai suatu metode olahraga dalam berpikir (Intellectual Gym), untuk mengasah sekaligus mempertajam daya nalar umat manusia, tidak terkecuali bagi umat Islam.

Seperti halnya tubuh manusia agar tetap sehat, maka berolahraga secara rutin akan berdampak pada kebugaran jasmani yang diperoleh. Demikian pula dalam berfilsafat, semakin sering kita melatih daya berpikir agar dapat bernalar dengan tepat, maka semakin bijak pula cara berpikir kita dalam melihat kekalutan dunia.

Terlebih lagi masyarakat saat ini yang terbiasa hidup dalam sebuah paradoks-tidak bisa menafikan akan meningkatnya potensi kemampuan mereka untuk memeluk kompleksitas dunia- sebagai Intellectual Gym, filsafat mampu untuk menghindarkan masyarakat awam dari sikap egosentrisme dan relativisme yang bisa berujung pada gerakan radikalisme dalam agama. [AA]

1

Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.