Thoha Hamim Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Sikap Gus Dur Menghadapi Kelompok Islam Garis Keras [2]

4 min read

Lanjutan dari Artikel Sebelumnya

Dengan tingkat kesulitan seperti itu, maka kemelut Maluku mustahil bisa diredam pada masa pemerintahan Gus Dur. Bahkan kemelut tersebut menjadi semakin parah pada masa pemerintahan Mega. Upaya perdamaian yang diprakarsai Menko Kesra, Yusuf Kalla, awal tahun 2002 melalui Kesepakatan Malino II di Sulawesi Tengah, juga tidak segera membuahkan hasil.

Malino II seharusnya dengan cepat dapat meredam konflik, karena masyarakat Maluku saat itu sedang mengalami trauma stadium tinggi dengan kekejaman konflik yang sudah berlangsung lebih dari tiga tahun dan menelan korban tiga belas ribu orang meninggal, hilang dan cacat. Tekanan trauma tersebut membuat lokasi konflik terkonsentrasi hanya di wilayah kota Ambon saja.

Suasana makro pasca-tragedi World Trade Center di New York 11 September 2001 juga ikut mereduksi agregasi konflik. Meskipun sudah tercipta suasana sangat kondusif seperti itu, Malino II tetap tidak bisa segera berfungsi dengan efektif. Pengeboman dan pembakaran kantor Gubernur Maluku Rabu, 3 April 2002 dan pembantaian 11 warga Kristiani di Soya pasca-peringatan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) 24 April, 2002, merupakan bukti mandulnya Malino II.

Malino II ternyata memang tidak segera mampu meredam aksi kekerasan, seperti tampak dari peristiwa pengeboman di pasar Ambon Sabtu 27 Juli 2002 yang mengakibatkan 50 orang luka-luka. Parlemen Eropa sampai pernah mengajukan resolusi pengiriman fact finding mission ke Maluku, karena pemerintahan Mega dinilai sudah tidak mampu lagi menangani konflik Maluku. Malino II akhirnya mulai bisa berjalan dengan efektif setelah dilakukan restrukturisasi Pemerintah Daerah Sipil (PDS) di Maluku.

Dalam restrukturisasi ini, pemerintah tidak lagi menunjuk perwira tinggi polisi menjadi pemegang otoritas keamanan, tetapi mengalihkannya ke jenderal berbintang dua dari angkatan darat. Di samping itu, struktur kepemimpinannya juga diserahkan kepada komandan pasukan elite dari Kostrad dan Kopasus. [Lihat: “Tentara AS Siap Ke Maluku,” Surya (Senin, 27 Mei, 2002), 11-12]

Dengan kata lain bahwa Malino II baru berfungsi dengan baik setelah perjanjian tersebut mengalami proses sosialisasi selama enam bulan. Di samping itu, keletihan masyarakt pelaku konflik serta restrukturisasi sistem pengendalian konflik menjadi faktor determinan bagi berfungsinya perjanjian tersebut. Namun demikian, keberhasilan Malino II masih bisa kandas di tengah jalan, sekiranya aparat penegak hukum tetap tidak mampu mengadili dan menghukum mereka yang terbukti melakukan pelanggaran dan tindakan anarkis.

Baca Juga  Relasi Kuasa, Persetujuan, dan Kekerasan Seksual (2)

Penembakan terhadap tiga warga Kulur, Saparua Tengah, 8 September 2002, di lokasi yang hanya berjarak 50 meter dari Posko Brimob membuktikan masih kuatnya upaya untuk mencederai efektivitas Malino II. Beberapa hari sebelumnya, empat orang juga tewas akibat ledakan bom di Lapangan Merdeka Ambon [Lihat: “Maluku Bergolak Lagi, 4 Tewas,” Surya (Senin, 9 September, 2002), 1-11.]

Paparan di atas membuktikan betapa sulitnya mengatasi konflik komunalisme-agama di Maluku. Malahan terdapat indikasi keterlibatan aparat keamanan dalam konflik di kawasan seribu pulau ini. Kalangan pengamat menganalisa bahwa bom berkapasitas ledak tinggi yang melatari terjadinya pembakaran Kantor Gubernur 3 April 2002 seperti telah disebut di atas hanya bisa diledakan oleh kalangan aparat.

Seperti diketahui bahwa aparat keamanan memang menghadapi problem internal, mulai dari perseteruan antara TNI vis-à-vis Polri, keberpihakan oknum aparat kepada salah satu faksi yang saling bertikai sampai problem logistik dan rendahnya tingkat kesejahteraan mereka. [Source: “Pro dan Kontra” (Talk Show Kamis 4 April, 2002, stasion TV TPI dengan pemandu Tiur Maida Tampubolon dan narasumber Tamrin Tomagola)]

Peristiwa baku tembak antara anggota Brimob dengan Kopasus di Ambon akhir Mei 2002 mengungkapkan betapa parahnya perpecahan internal di kalangan aparat keamanan. [“Tentara AS Siap Ke Maluku,” Surya (Senin, 27 Mei 2002), 11-12.]

Namun, kejernihan pikiran untuk memahami kesulitan menangani konflik Maluku seperti dalam fakta tersebut tidak bisa tumbuh, karena figur Gus Dur di mata kelompok Islam militan adalah rival politik yang harus digerogoti kredibelitasnya.

Kelompok Islam Militan selalu mencari-cari kelemahan Gus Dur. Di samping kuantitas kritik mereka jauh di atas jumlah kritik yang dilakukan kelompok lain, sasaran kritik tersebut juga mengarah kepada berbagai isu. Mereka terkesan tidak rela Gus Dur bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Misalnya, mereka mengkritik bahwa manajemen pemerintahannya Gus Dur amburadul. [Sumber: “Manajemen Gus Dur Amburadul,” Surya (Rabu, 26 Januari, 2000), 1]

Baca Juga  Mengapa Barat Takut terhadap Islam?

Kelompok Islam militan tidak hanya memanfaatkan konflik berdarah di Maluku untuk melampiaskan kekecewaannya terhadap ketidak berpihakan Gus Dur kepada kelompok Islam.

Menurut sementara pengamat, kelompok Islam militan juga menggunakan momentum Siaga Aksi Sejuta Umat sebagai media untuk mengungkapkan kegusaran mereka atas ketegasan Gus Dur membiarkan para Jenderal diinvestigasi KPP HAM Timor Timur. Salah seorang Ketua Kelompok Islam militan secara eksplisit meminta agar pengusutan terhadap para Jendral tersebut segera dihentikan. [“TNI dan Banser Bela Gus Dur,” 3.]

Mereka tampaknya ingin memaksimalkan upaya pendiskreditan terhadap Gus Dur melalui momentum pengerahan masa ini. Sementara Amien Rais memberikan batasan waktu satu minggu bagi Gus Dur untuk meredam kemelut Maluku, Achmad Soemargono mengancam mosi tidak percaya kepadanya melalui Parlemen. [“Amin Ultimatum Satu Minggu,” Surya (Senin, 10 Januari 2000), 1]

Pendiskreditan mereka melalui aksi Monas ini sudah melampaui ambang kewajaran. Sebagai sesama Muslim, mereka bukannya ikut membantu menjelaskan kepada masyarakat tentang kepelikan persoalan konflik Maluku, tetapi malahan memperkeruh suasana dengan melontarkan bermacam ancaman. Amien Rais sendiri akhirnya menyesali keikutsertaannya dalam pengerahan masa di Monas.

Dalam sebuah pernyataannya, Amien tidak hanya menghimbau masyarakat untuk menghindari terjadinya pengerahan masa lagi, tetapi juga meminta warga Muhammadiyah untuk tidak ikut dalam aksi demonstrasi. Penolakan Amien terhadap tuduhan Gus Dur tentang aksi Monas sebagai upaya menjegal pemerintahannya bisa diartikan sebagai bentuk pereduksian terhadap keterlibatannya menjadi tokoh yang bersikap partisan.

Amien menyatakan akan menelpon Gus Dur untuk membantah tuduhan tersebut. Dia mengatakan bahwa semua orasi yang disampaikan dalam aksi Monas tidak ada yang mengindikasikan ke arah upaya pendongkelan Gus Dur. Bahkan, dia menyatakan sebagai orang pertama yang akan mempertahankan kelangsungan pemerintahan Gus Dur sampai tahun 2004.

Baca Juga  Berhenti Membandingkan Parenting Orang Tua dalam Mendidik Anak

Namun yang perlu dicatat adalah bahwa salah seorang penanggung jawab aksi dipanggil Polda untuk diminati keterangannya tentang pernyataannya untuk mendirikan negara di luar Pancasila dan UUD 1945. Bila benar pernyataan tersebut maka aksi tersebut bermakna gerakan makar terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. [Source: “Penanggung Jawab Aksi Monas Dipanggil,” 16; “Yang Bahaya Justru Kudeta Parlemen,” Surya (Kamis, 20 Januari 2000), 3.]

Amien Rais (saat itu) tampaknya sedang terjebak ke dalam paradigma militan yang dikembangkan oleh kelompok Islam militan. Amien yang mantan Ketua PP Muhammadiyah memang pantas memiliki hubungan emosional dengan mereka.

Kelompok Islam militan umumnya berafiliasi dengan partai politik Islam yang memiliki agitasi politik serupa dengan agitasi politik Masyumi di tahun 1950-an. Masyumi yang kebanyakan anggotanya berasal dari kalangan Muslim (santri) non-NU selalu memperjuangkan berdirinya negara Islam.

Kedekatan emosional tersebut menjadi kendala bagi Amien untuk bisa berdiri di atas kepentingan semua golongan. Kalangan PDI-P sampai menuduhnya telah mengkhianati komitmen persatuan nasional, karena kehadirannya di Monas hanya menyuarakan kepentingan korban konflik Maluku, dari kelompok Islam saja. Kehadiran Amien di Monas memicu banyak kritik, mulai dari kalangan PDI-P, PKB, sampai PAN sendiri.

Goenawan Muhammad, misalnya, menganggap keikutsertaan Amien di Monas merupakan sikap partisan yang tidak layak dilakukan oleh seorang Ketua MPR. Goenawan selanjutnya mengatakan bahwa Amien telah menjadikan dirinya kepanjangan tangan dari kelompok Islam. Ketua Persatuan Cendekiawan Nasional (PCN) mengkhawatirkan keikutsertaan Amien di Monas merupakan isyarat terjadinya perubahan visi politik PAN dari inklusif menjadi eksklusif.

Sebagai Ketua Umum PAN, Amien sebelumnya sudah pernah dicurigai berpartisan dengan Muhammadiyah. Mereka menganggap sikap partisannya telah mendistorsi asas keterbukaan yang menjadi anggaran dasar partai. Kecurigaan beberapa tokoh PAN tadi kemudian mendorong mereka untuk berencana membentuk PANU (Partai Amanat Nusantara). [Baca: “Satgas PDI-P Berpistol Jaga Demo Anti Amien,” Surya (Jumat, 21 Januari 2000), 4]

Editor: MZ

-Bersambung-

Klik di Sini untuk Melanjutkan

Thoha Hamim Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya