Selama ini KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai pelopor dalam mengintrodusir konsep Islam kultural di Indonesia. Menurut konsep ini, masyarakat Muslim harus mampu mengakrabi budaya di sekitarnya, karena prinsip universal dalam ajaran Islam mengharuskan mereka untuk mengakomodir budaya partikular yang hidup di tempat tinggal mereka.
Pandangan seperti itu dimaksudkan, agar kehadiran Islam bisa membawa serta keramahan kepada lingkungannya. Gus Dur tampaknya mengadopsi pendekatan kultural para muballigh awal (wali) Islam. Seperti diketahui bahwa para muballigh tersebut menanggalkan perangkat simbol eksklusif Islam (Arab) dan menggantinya dengan perangkat simbol lokal. Mereka mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam simbol lokal, agar Islam dapat bersinergi dengan kultur Indonesia.
Dengan akulturasi seperti itu, maka transformasi ajaran Islam ke alam pikiran masyarakat Indonesia bisa berjalan dengan sangat efektif Masyarakat Muslim Indonesia akhirnya memang dikenal menjadi komunitas yang paling sedikit penyerapannya terhadap simbol eksklusif Arab (the least Arabisized Muslims).
Pemahaman pada ajaran Islam dengan pendekatan kultural tersebut membuat Gus Dur menolak pembentukan institusi dengan label eksklusif Islam. Penolakannya terhadap pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) membuktikan komitmennya untuk merealisasikan pandangannya tadi. Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mencerminkan penolakannya terhadap institusi dengan label Islam.
Tidak dijadikannya Islam sebagai asas partai dengan basis masa santri ini hakikatnya juga implementasi dari pemahaman keagamaannya sebagai deklarator partai ini. Tidak menjadikan Islam sebagai asas organisasi bukan saja menghindari terjadinya primordialisme agama, tetapi juga mendidik masyarakat (santri) untuk bersikap terbuka terhadap realitas plural di sekitarnya.
Sikap Gus Dur tersebut sangat berseberangan dengan pandangan kelompok Islam militan yang cenderung bersikap antagonistik terhadap budaya lain. Mereka hanya mengakui keabsahan produk budaya yang diperoleh melalui aktivitas internal masyarakat Muslim sendiri. Aktivitas itu pun baru bisa diterima menjadi bagian dari tradisi Islam yang “sah”, setelah mendapatkan justifikasi tekstual dari dua sumber hukum Islam (Alquran dan sunnah) atau dari praktik kehidupan komunitas Muslim era ideal Islam (the Islamic era par-excellence).
Pandangan eksklusif seperti ini kemudian membentuk sebuah model dialektuka dikotomis antara Muslim (self) dan non-Muslim (other). Pandangan dikotomis tentu saja berimplikasi buruk terhadap sikap sosial mereka kepada kelompok agama lain. Mereka, misalnya, selalu bertindak reaktif terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Gus Dur, yang berkaitan dengan kepeduliannya terhadap komunitas agama lain.
Gus Dur memang tidak pernah bergeming dengan sikap reaktif tersebut. Sebagai Presiden saat itu, Gus Dur, yang harus mengayomi semua warga negaranya tanpa melihat denominasi agamanya, justru semakin meningkatkan peran pendekatan Islam kultural, agar komunikasi dengan semua kelompok agama bisa berlangsung dengan baik. Dengan sikap keterbukaan seperti itu, maka tidak mengherankan, ketika ada di antara komunitas non-Muslim yang memberikan predikat Gus Dur dengan sebutan Bapak Agama di Indonesia.
Perilaku Politik Kaum Islam Militan Indonesia: Kasus Aksi Siaga Sejuta Umat, 7 Januari 2000
Mereka yang menentang rencana pembukaan hubungan dagang Indonesia dengan Israel, misalnya, umumnya berasal dari kelompok Islam militan. Pandangan mereka yang formal-legalistik telah menutup visibility keuntungan ekonomi dari hubungan dagang ini. Keterikatan mereka dengan arti literer teks Alquran yang secara lahiriah mendeskreditkan kaum Yahudi telah pula menghalangi mereka untuk mengetahui dengan persis pandangan Islam terhadap komunitas non-Muslim.
Berbagai organisasi militan mereka berfungsi menjadi alat untuk melakukan perlawanan terhadap rencana pemerintahan Presiden Gus Dur tersebut. Padahal hubungan dagang seperti itu sudah lama berlangsung antara negara-negara Islam di Timur Tengah dengan Israel sejak awal tahun 1980-an. Yakni setelah Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menahem Begin menandatangani perjanjian damai di Camp David, Amerika Serikat, 17 September 1978. [Baca: Adel Safty, From Camp David to the Gulf, 42]
Hanya saja, perubahan politik ini proses penyerapannya mengalami keterlambatan ke dalam kesadaran politik masyarakat Indonesia. Keterlambatan seperti itu terjadi, karena pemerintah Indonesia memang seringkali mengedapkan kesadaran masyarakatnya dari berbagai perubahan penting yang terjadi di Timur Tengah.
Kelompok militan ini tidak hanya melakukan aksi unjuk rasa untuk menolak rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel. Mereka juga memprotes pola penanganan pemerintahan Gus Dur atas konflik antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku. Mereka menuduh adanya keberpihakan pemerintah terhadap kelompok agama lain dalam konflik tadi.
Perlawanan mereka tercermin pada pengerahan masa Siaga Aksi Sejuta Ummat tanggal 7 Januari 2000 di Monas. Mobilisasi masa tersebut merefleksikan terjadinya pengerasan ideologi politik Islam. Dalam orasinya, Ketua Panitia Aksi Monas menyatakan hendak mendirikan negara Islam. Beberapa tokoh yang dianggap dekat dengan kelompok Islam militan waktu itu, mulai dari Achmad Soemargono, Didin Hafiduddin sampai Amien Rais dan Hamzah Haz hadir dalam unjuk rasa ini.
Semua tokoh tadi menyampaikan ancamannya kepada Presiden Gus Dur, bila yang disebutkan terakhir tadi tidak segera menunjukan kemampuannya meredam konflik di Maluku. Gus Dur sendiri menilai bahwa peristiwa Monas merupakan upaya untuk menjatuhkan pemerintahannya. Sekalipun demikian, Gus Dir memandang aksi semacam itu sah-sah saja, selama mereka tidak mewujudkan upaya pendongkelan pemerintahannya.
Gus Dur tidak gentar dengan ancaman tadi. Malahan dia mengecilkan daya pressure aksi ini, karena jumlah partisipannya, menurut Gus Dur, tidak melebihi dua puluh ribu orang.
Aksi Monas menunjukan bukti perseteruan antara Presiden Gus Dur dengan kelompok Islam militan. Gus Dur dalam pertemuannya dengan masyarakat di masjid Ciganjur seusai salat Jumat tanggal 24 Januari 2000 menengarahi adanya kelompok militan yang berusaha memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia.
Sebagai orang NU—lanjut Gus Dur—dia tidak akan mendukung gagasan radikal tersebut. Aksi Monas ini sengaja dilakukan untuk menciptakan image ketakmampuan Gus Dur dalam mengatasi disparitas politik di kawasan pergolakan Maluku. [Definisi Kelompok Islam Militan tidak bisa diberikan secara konklusif. Secara umum mereka yang berafiliasi dengan partai politik Islam. Namun kriteria tersebut tidak cukup, karena pendukung partai politik Islam ada yang berhaluan moderat, terutama mereka yang kultur keagamaannya berakar pada tradisi NU. Yang dimaksudkan dengan partai tersebut adalah PPP, di mana pendukung terbesarnya (Jawa) berasal dari basis NU. Untuk mengetahui gambaran umum tentang pemilahan garis politik partai-partai politik, lihat diagram (1) pada Faisal H. Basri, “Perkembangan dan Prospek Poliitik Pasca Pemilu,” Analisis, no. 4, tahun 28 (1999), 383-390.]
Sementara pengamat politik menilai bahwa aksi tersebut merupakan pilot project bagi aktivitas serupa yang akan mereka gelar di berbagai daerah lain. Memang bahwa rentetan aksi serupa kemudian terjadi hanya selang beberapa hari sesudahnya, mulai dari tragedi berdarah di Mataram, kerusuhan di Makassar sampai Tabligh Akbar di Solo. [Tambahan: Perlu diketahui bahwa dalam Tabligh Akbar di Solo hadir beberapa tokoh Islam Militan dari Jakarta. Kehadiran Abdul Qodir Jaelani, mantan napol Tanjung Priok, misalnya, membuktikan adanya skenario aksi demonstrasi yang mereka lakukan. “Istana Wapres Jadi Sasaran,” Surya (Kamis, 20 Januari, 2000), 1-15].
Penyikapan kelompok Islam militan terhadap pendekatan Presiden Gus Dur dalam menangani konflik Maluku sangat tidak proporsional. Mereka telah kehilangan in group solidarity (solidaritas sesama Muslim) kepada Gus Dur, melalui sikap permusuhan dengan mengerahkan masa untuk menekannya.
Padahal “keterlambatan” Gus Dur dalam menangani konflik Maluku bisa dirasionalkan, karena kesulitan koordinasi internal kabinet. Keterlambatan penanganan tragedi Maluku juga akibat dari lemahnya kinerja intelijen. Sebab lain adalah keraguan aparat keamanan untuk menindak kaum perusuh, setelah pencabutan Undang-Undang Subversi.
Pencabutan tersebut membuat aparat tidak dapat melakukan penangkapan secara sembarangan kecuali disertai berbagai bukti yang cukup, sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Lihat “Kasum Akui Intelijen Lemah,” Surya (Sabtu, 22 Januari, 2000), 1.
Di samping itu, tragedi Maluku tidak bisa diredam seketika, mengingat konflik tadi merupakan luapan pertikaian yang sangat emosional antar-elite politik, baik mereka yang tinggal di Jakarta maupun mereka yang sedang berkuasa di Maluku sendiri. Rivalitas terjadi antara Sultan Ternate dengan Bupati Hantara Tengah yang didukung Sultan Tidore dan Bacan Rivalitas tersebut memperebutkan jabatan Gubernur Maluku Utara. [Baca pendapat Tamrin Tomagola dalam “Dia Pakai Preman,” Surya (Jumat, 22 Januari 2000), 1-15; “Sultan Ternate Provokator Maluku Utara?,” Surya (Senin, 24 Januari, 2000), 1-15].
Editor: MZ
-Bersambung-