Sebelumnya: Kyai Mutamakkin dan Corak Islam… (2)
Saya kira, salah satu muasal ketenaran Kiai Mutamakkin adalah “konflik”-nya dengan Keraton Kartasura sebagaimana dicatat dalam Serat Cebolek. Serat yang konon dikarang oleh R. Ng. Yasadipura I (w. 1803) ini, mengabadikan kisah pengadilan Kiai Mutamakkin di hadapan Pakubuwono II, raja Mataram di Kartasura saat itu. Pengadilan ini konon berlangsung pada 1725 (artinya jauh sebelum Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua itu).
Dalam narasi yang umum kita dengar selama ini, Kiai Mutamakkin digambarkan sebagai representasi “ulama haqiqat” yang berhadapan dengan “ulama syariat” yang didukung oleh pihak keraton. Narasi ini juga diafirmasi oleh Milal Bizawie dalam bukunya. Kiai Mutamakkin digambarkan sebagai penerus tradisi “pemberontakan spiritual” yang dimulai oleh sosok-sosok seperti Siti Jenar, Kiai Panggung, Ki Ageng Pengging, Syekh Amongraga, dll.
Meskipun narasi ini tidak seluruhnya salah, tetapi sejumlah catatan kritis harus dikemukakan. Menggambarkan Kiai Mutamakkin sebagai wakil dari “kiai haqiqat” yang bersengketa dengan “kiai syariat” (dalam pengadilan di Kartasura itu, pihak terakhir ini diwakili oleh Ketib Anom, seorang kiai dari Kudus), menurut saya tidak seluruhnya tepat.
Seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, Kiai Mutamakkin sejatinya hanya mengikuti “tradisi Singkil” yang menggabungkan antara ilmu syariat dan haqiqat sekaligus. Dalam kategori kesarjanaan modern, tradisi ini disebut sebagai “neo-sufisme” (meskipun saya kurang terlalu setuju!). Ilmu yang dibawa dan diajarkan oleh Kiai Mutamakkin bukan hal yang aneh dan “menyimpang” sama sekali; tidak menyimpang dari ortodoksi.
Jika kita baca naskah “Arsy al-Muwahhidin” (dengan mangasumsikan bahwa kitab ini benar karya Kiai Mutamakkin), tidak ada sesuatu yang “aneh” di sana. Seluruh isi kitab ini sesuai belaka dengan ajaran Sunni yang ortodoks. Sekali lagi, Kiai Mutamakkin mengikuti tradisi Singkil yang lazim diikuti oleh ulama lain yang hidup pada zaman itu.
Sumber konflik dengan Kartasura, saya kira, bukan berasal semata-mata dari pandangan keagamaan yang dianut oleh Kiai Mutamakkin, melainkan dari sumber lain yang lebih bersifat “politis”. Saya kira memang bisa diasumsikan bahwa Kiai Mutamakkin memiliki simpati pada Syekh Siti Jenar, sosok kontroversial dalam sejarah Jawa itu, terutama dalam aspirasinya untuk membangun kekuatan-kekuatan sosial yang independen.
Dugaan saya, Kiai Mutamakkin adalah sosok yang agak kurang suka pada “kalangan istana”. Etos yang melandasi perjuangannya adalah membangun masyarakat yang otonom yang tidak seluruhnya menjadi “obyek kekuasaan” dari para kaum bangsawan dan raja, meskipun dia sendiri keturunan seorang bangsawan. Harus diingat: dia keturunan bangsawan dari daerah pinggiran, yaitu Tuban, bukan bangsawan dari kekuasaan yang di “pusat.”
Mungkin juga layak dipertimbangkan pula bahwa dalam diri Kiai Mutamakkin mengalir darah Kiai Ageng Pengging, seorang sosok yang dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai pemberontak dan dihukum mati oleh Raden Patah, raja Demak yang pertama. Ia membangun kekuasaan yang “otonom” di luar Demak, yaitu di Pengging (daerah yang sekarang ada di sekitar Boyolali), mungkin juga karena pengaruh Syekh Siti Jenar.
Sebagaimana kita tahu, Kiai Ageng Pengging yang semula bernama Kebo Kenanga masuk Islam karena pengaruh Syekh Siti Jenar. Saya menyetujui tafsiran Agus Sunyoto bahwa hukuman mati yang dialami oleh Syekh Siti Jenar bukan dipicu oleh soal akidah (semata-mata), melainkan karena ia ingin membangun kekuatan sosial yang independen di luar struktur resmi yang berpusat di Demak. Syekh Siti Jenar dihukum karena ia ingin membangun kekuatan sosial yang independen. Ini jelas mengkhawatirkan bagi pemerintah pusat di Demak yang sedang mengkonsolidasikan kekuasaan.
Saya kira, tafsiran Agus Sunyoto ini, dalam konteks yang agak sedikit beda, bisa juga diterapkan untuk melihat sosok Kiai Mutamakkin. Memang kita tidak melihat pada Kiai Mutamakkin sosok seorang pemberontak seperti pada kasus Kiai Ageng Pengging. Tetapi Kiai Mutamakkin juga bukan “kiai ngluthuk” (ini istilah yang populer di daerah Kajen untuk menyebut kiai yang hanya tahu kitab saja, tidak mengerti kedaan di luar) yang tidak mengerti sejarah politik di Jawa.
Dia sendiri adalah bagian dari keluarga bangsawan yang jelas memiliki perhatian atas peta politik pada zamannya. Jika memakai istilah Kiai Sahal Mahfud dari Kajen (beliau masih merupakan keturunan langsung dari Kiai Mutamakkin), Kiai Mutamakkin adalah sosok yang sangat sadar tentang paradigma “fikih sosial”. Sikap Kiai Mutamakkin, saya kira, mendekati sosok seperti Syekh Siti Jenar: mengambil jarak dari kekuasaan politik.
Entah sedikit atau banyak, sikap berjarak ini sudah pasti akan tercermin dalam “tindakan sosial” dan kehidupan sehari-hari Kiai Mutamakkin. Inilah yang direkam, misalnya, dalam “legenda populer” yang berkembang di masyarakat Kajen dan sekitarnya: bahwa Kiai Mutamakkin memelihara dua anjing yang ia beri nama: Abdul Kohar dan Komarudin.
Cerita ini, jika benar-benar terjadi, tidaklah melambangkan “pemberontakan” terhadap syariat, sebab memelihara anjing bukanlah hal yang dilarang agama. Cerita ini sebetulnya mencerminkan “pemberontakan simbolik” terhadap kekuasaan ulama yang pro-kekuasaan. Oleh masyarakat Muslim di Kajen dan sekitarnya, kisah ini dimaknai secara “metaforis” sebagai perlawanan “rohani” terhadap hawa nafsu. Dengan memiliki anjing, Kiai Mutamakkin secara simbolik berhasil menguasai hawa nafsu-nya. Demikianlah tafsiran yang populer.
Saya mengajukan tafsiran lain yang lebih bersifat sosial-politis untuk melengkapi tafsiran yang sudah ada. Dalam tafsiran yang lebih politis, kisah Kiai Mutamakkin memelihara anjing itu melambangkam semacam “perlawanan kultural” (dalam bahasa Milal Bizawie) terhadap struktur sosial-politik yang berpusat di Kartasura saat itu.
Dalam tafsiran seperti ini, kita harus mempertimbangkan sejumlah hal, terutama menyangkut konteks sosial dan politik pada saat mana Kiai Mutamakkin hidup. Misalnya: kita harus melihat sejarah hubungan antara Mataram sebagai pusat kekuasaan baru dengan “local powers” yang ada di pinggiran; kekuasaan-kekuasaan setempat yang ada di Jepara, Pati Tuban, Gresik, Surabaya, dsb.
Daerah-daerah ini sudah muncul sebagai pusat kekuasaan lokal jauh sebelum era Mataram atau Demak. Bahkan sejarah mereka bertaut dengan sejarah Majapahit. Kiai Mutamakkin hidup dalam konteks “kekuasaan pinggiran” semacam ini. Fakta seperti itu tentu harus diperhitungkan dalam memberikan interpretasi atas ketokohan Kiai Mutamakkin.
Yang menarik, etos “hendak-mandiri” ini masih terus bertahan hingga saat ini di kalangan kiai-kiai di daerah Kajen. Salah satu terjemahan etos ini adalah sikap penolakan yang begitu keras dari madrasah Mathali’ul Falah di Kajen untuk mengikuti kurikulum negara. Sikap ini bertahan hingga sekarang. Kiai Abdullah Salam, salah satu keturunan dari Kiai Mutamakkin, dikenal luas di daerah ini sebagai sosok yang tidak terlalu suka pada bantuan dari pemerintah.
Kita bisa melihat sikap-sikap yang mengehendaki adanya jarak dan otonomi dari pemerintah di kalangan kiai-kiai Kajen ini sebagai kelanjutan dari “etos Mutamakkin” yang terus bertahan hingga sekarang. Sekian. (mmsm)