Qutbisme di sini merujuk kepada sosok Sayyid Qutb, seorang ideolog al-Ikhwān al-Muslimūn/Ikhwanul Muslimin [IM] yang mati digantung oleh presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada 1966, karena deviasi pandangan-pandangannya yang menghasut umat Islam untuk melawan pemerintah yang dianggapnya kafir dan “thāghūt“.
Istilah “Qutbisme” di sini saya pakai untuk menamai sebuah cara pandang terhadap segala sesuatu yang ditandai dengan banyak hal, tetapi dua di antaranya paling menonjol. Pertama, kepongahan yang terbit karena seseorang “merasa” telah memegang kebenaran absolut. Kedua, “self-righteousness”, yaitu perasaan paling “saleh” sendiri, sementara orang lain berada di “lorong kesesatan” dan karena itu perlu diselamatkan.
Qutbisme tidak semata-mata merupakan gejala keagamaan, tetapi bisa juga mengambil bentuk yang sekelar, sebagaimana akan tampak dalam bagian terakhir catatan ini.
Saya pernah mengidap “penyakit” Qutbisme ini dalam dua tahap hidup saya. Pertama, waktu saya masih belia dan terpukau oleh gagasan-gagasan Sayyid Qutb, terutama dalam bukunya Ma‘ālim fī al-Tharīq, sebuah manifesto yang ditulis oleh Qutb dengan bahasa Arab yang indah dan elegan. Buku ini telah menyihir saya pada saat saya baru berumur sekitar 19 tahun. Manifesto ini telah mengilhami ribuan belia Muslim di seluruh dunia, mendorong mereka menjadi fundamentalis-radikal dan terperosok dalam gejala takfīr (mudah mengafirkan orang lain).
Setelah membaca buku ini, selama beberapa saat saya sempat tenggelam dalam semacam “pengalaman mabuk”. Dalam periode “mabuk” inilah saya pernah berpikir dengan amat pongah bahwa semua orang di sekitar saya adalah “jāhiliyyah”, berada dalam kegelapan akidah. Sayalah satu-satunya orang yang ngekepi akidah paling benar. Untungnya, saya hanya “merasa” saja, dan tidak pernah mengutarakannya secara lisan.
Saya sembuh dari “mabuk” ini karena gagasan-gagasan pembaruan Islamnya Cak Nur dan Gus Dur. Saya sebetulnya sudah membaca gagasan-gagasan dua santri-pemikir dari Jombang itu jauh sebelum berkenalan dengan pikiran Qutb. Saat tersihir oleh ide-ide Qutb, saya sebetulnya sedang “lupa”. Tak lama berselang, saya mulai merasakan hal yang aneh pada gagasan Qutb. Saya merasa, jika diterus-teruskan, pandangan Qutbian ini bisa membawa saya kepada sikap hidup yang “totaliter”, mutlak-mutlakan.
Setelah sembuh dari penyakit ini, saya kemudian menjalani “petualangan pemikiran” yang asyik. Inilah masa-masa dalam hidup saya yang paling indah. Saya bersyukur kepada Tuhan karena diberikan kesempatan untuk menikmati petualangan ini. Tetapi ada jebakan juga di sana. Di ujung petualangan ini, saya pernah nyaris “terpeleset” dalam jebakan Qutbisme yang lain. Yaitu jebakan yang ingin saya sebut “saintisme”.
Saintisme di sini saya maksudkan sebagai pandangan yang melihat sains modern—terutama sains dalam pengertian ilmu-ilmu kealaman—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris.
Saya bukanlah seseorang yang belajar sains kealaman. Pendidikan saya adalah Jurūmīyah dan Taqrīb—dua kitab elementer dalam tata bahasa Arab dan ilmu fikih yang diajarkan di pesantren tradisional. Tetapi, dalam petualangan pemikiran itu, dan dalam interaksi saya dengan sejumlah kawan, saya akhirnya berjumpa dengan banyak literatur populer di bidang sains. Saya mulai berkenalan dengan buku-bukunya Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Stephen Hawking, Carl Sagan, Richard Feynman, E. O. Wilson, Steven Pinker, Peter Atkins, Victor Stenger, dan masih banyak yang lain lagi.
Saya amat menikmati literatur tentang sains ini. Minimal, melalui bacaan-bacaan itu saya mengenal bagaimana sains modern memahami pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup manusia: bagaimana asal mula alam raya ini, bagaimana asal mula kehidupan di muka bumi, bagaimana masyarakat binatang dan manusia bekerja, bagaimana fenomena kesadaran manusia mesti dijelaskan, dsb.
Saya sempat “mabuk” sebentar dalam periode saintisme ini. Pada masa ini, saya sempat tergoda sejenak untuk berpandangan bahwa sains modern lah yang bisa dianggap paling sukses menjelaskan “kehidupan”. Ilmu-ilmu lain bersifat inferior.
Ya, saya hanya mabuk sebentar saja. Saya disadarkan kembali setelah mulai merasakan keanehan di kalangan para pendukung sains ini. Mereka memiliki watak-watak yang agak mirip dengan para penganut Qutbisme-religius-pongah, dan merasa dirinya secara moral berada di ketinggian, mengatasi orang-orang lain; self-righteousness.
Pada titik inilah kemudian saya berkenalan dengan gagasan-gagasan seorang matematikawan dan filsuf Amerika, David Berlinski (dia meraih gelar PhD dalam bidang filsafat dari Princeton University). Dia menulis buku dengan judul yang agak “provokatif”: Devil’s Delusion: Atheism and its Scientific Pretension (2008). Buku ini jelas merupakan sanggahan yang blak-blakan atas buku Richard Dawkins yang terkenal: God’s Delusion (2006) dan buku-buku para “new atheists” yang lain, seperti Sam Harris dan Daniel Dennett.
Salah satu paragraf yang “nyambung” dengan pengalaman saya dalam bukunya Berlinski ini berkenaan dengan “kepongahan” sebagian saintis dan para pendukung sains modern. Dalam bagian pengantar, Berlinski, antara lain, menulis:
“Occupied by their own concerns, a great many men and women have a dull, hurt, angry sense of being oppressed by the sciences. They are frustrated by endless SCIENTIFIC BOASTING (huruf besar dari saya, UAA). They suspect that as an institution, the scientific community holds them in contempt. They feel no little distaste for those speaking in its name. They are right to feel this way. I have written this book for them.”
Secara ringkas, Berlinski mengatakan bahwa banyak orang yang merasa jengkel karena kepongahan saintifik (scientific boasting) yang diperagakan oleh komunitas sains. Mereka seperti dipojokkan oleh para pendukung sains, karena hanya diberikan dua pilihan: sains atau agama; kalau sains benar, maka dengan sendirinya agama salah.
Saya merasa diwakili oleh Berlinski melalui kalimatnya yang blak-blakan ini. Berlinski bukanlah seorang penganut agama. Dia menggambarkan dirinya sebagai Yahudi sekuler yang tak pernah pergi ke sinagog. Tetapi dia ikut dibuat jengkel dan senewen oleh gejala scientific boasting itu.
Saya adalah orang yang tak suka pada kepongahan—baik kepongahan religius atau sekuler. Gagasan-gagasan Islam liberal yang pernah saya kemukakan pada awal tahun 2000an dulu adalah persis untuk mengkritik “kepongahan religius” yang diperagakan oleh sebagian kaum Muslim fundamentalis-radikal dengan berbagai spektrumnya.
Pada sisi lain, saya juga memiliki kejengkelan yang tak kalah mendalam terhadap kepongahan sekuler yang saya lihat pada fenomena “saintisme”—sebuah cara pandang yang melihat sains sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap Kehidupan dengan “k” besar. Sementara yang lain, terutama agama, adalah takhayul dan khurafāt yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-kanak manusia.
Saya tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (baca: NU) dan menghirup oksigen kultural bernama ajaran tawadu, ethics of humility, tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda. Kepongahan adalah hal yang paling ditabukan dalam kultur di mana saya tumbuh; kecuali jika “diprovokasi” secara tidak proporsional oleh pihak lain: apa boleh buat.
Setiap bentuk kepongahan, baik religius ataupun sekuler, langsung menimbulkan refleks penolakan pada diri saya. Saya sekarang bisa memahami dengan simpatik “kejengkelan” al-Ghazali terhadap para filsuf (baca: saintis) pada zamannya seperti ia utarakan dalam otobiografinya yang saya “balah” (dikaji dengan metode bandongan ala pesantren) selama bulan puasa kemaren, berjudul al-Munqidh min al-Dalāl.
Apa yang ditulis al-Ghazali hampir seribu tahun lalu menggaungkan pandangan serupa yang ditulis oleh Berlinski pada abad ini. Baik al-Ghazali maupun Berlinski hendak membedakan antara “sains” dan “saintisme”. Sains adalah suatu stetemen mengenai fakta-fakta kealaman yang didukung oleh “evidence” yang kokoh, atau “burhan” dalam bahasa al-Ghazali. Sementara saintisme adalah ideologi yang dipeluk oleh para praktisi sains dengan mengatas-namakan sains. Saintisme adalah “pretense” (dalam bahasa Berlinski) atas nama sains, tetapi bukan sains itu sendiri.
Sebagaimana setiap “pretense”, dia bisa kebablasan dan melahirkan sikap-sikap yang menjengkelkan seperti “scientific boasting”, kepongahan saintifik itu. Ini tergambar, misalnya, dalam pernyataan Peter Atkins, seorang ahli kimia dari Inggris yang mengajar di Universitas Oxford:
“… there is can be no denying the proposition that science is the best procedure yet discovered for exposing the fundamental truths about the world. By its combination of careful experimentation guided by theory, and its elaboration and improvement of theory based on experiments it inspired, it has shown itself to be of enormous for the elucidation and control of nature… No other mode of discovery has proved to be so effective or to contribute so much towards the achievement of the aspirations of humanity.” (Peter Atkins, “Science as Truth”).
“Pretense” seperti inilah yang dikritik oleh para sarjana seperti al-Ghazali, Berlinski, atau John Lennox (seorang matematikawan dari Universitas Oxford yang menulis buku berjudul God’s Undertaker: Has Science Buried God?. Yang dikritik oleh orang-orang seperti al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan “asumsi-asumsi ideologis” yang bersembunyi di balik otoritas sains.
Saya tetap mengagumi sains. Di mata saya, sains adalah salah satu (bukan satu-satunya!) bentuk pengetahuan manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan mereka. Yang tidak saya kagumi adalah saintisme dan “kepongahan saintifik”, atau kepongahan-kepongahan lainnya. [MZ]