Ach. Shodiqil Hafil Santri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura dan Dosen IAIN Kediri

Thoha Hamim: Profesor Sederhana yang Tidak Sederhana

3 min read

Foto Prof. Thoha saat Wisuda PhD

For sale: baby shoes, never worn [Ernest Hemingway]

Karena ini tentang kesederhanaan, maka saya mulai dengan sebuah kutipan dari cerita terpendek karya Ernest Hemingway yang ditulis pada tahun 1920 dan menurut saya ini adalah karya fiksi paling sederhana di dunia. For sale: baby shoes, never worn. Benar-benar sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa patah kata, tapi memiliki keluasan kisah dan kedalaman makna. Sastrawan kelas dunia asal Amerika ini membuktikan kepiawaiannya dalam memainkan kata melalui karyanya ini, yang dinilai sebagai cerita pendek terpendek yang pernah dibuat.

Saya tidak akan membuat ulasan sastra di sini, dan biarlah anda yang menafsirkannya sendiri. Tapi sebelumnya akan saya sampaikan bagaimana cerita kelahiran karya ini. Karya ini dimulai pada suatu siang ketika Hemingway membual bahwa ia mampu membuat sebuah karya yang memikat hati hanya dengan enam kata. Rekan-rekannya yang tidak percaya atas bualannya itu bertaruh $10 bahwa Hemingway tidak akan mampu melakukannya. Hasilnya, peraih nobel sastra tahun 1954 itu pun menang dan mereka harus kehilangan uang sepuluh dolar mereka. Inilah karya fenomenal yang terdiri dari enam kata itu: “For sale: baby shoes, never worn.”

Itu baru contoh kecil dari sebuah kesederhanaan yang luar biasa. Kesederhanaan yang memiliki daya pikat dan daya tarik tersendiri. Itu pun baru kata-kata, belum lagi kita temukan sosok-sosok manusia yang sederhana namun mampu “menyihir” orang lain yang mengenalnya. Adakah? Tentu ada. Dalam hal ini sosok Nabi Muhammad SAW layak menempati posisi teratas. Sejarah kehidupannya yang memukau tak perlu kita ragukan lagi. Tapi bila anda berpendapat bahwa hal itu sangat wajar karena beliau adalah seorang nabi, baiklah, saya akan ceritakan sosok lain selain nabi. Karena sejatinya kepribadian yang bersahaja dan sederhana tidak hanya milik nabi, tapi milik siapa pun yang menghendakinya.

Baca Juga  Kisah Cinta Sufi: Khusrau dan Syirin (2)

Saya mulai dengan cerita seorang dosen yang pernah mengajar saya semasa kuliah di IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya tahun 2011-2013 silam. Namanya Prof. H. Thoha Hamim, MA., Ph.D yang lahir di Jepara, 15 Agustus 1952. Melihat gelar di depan dan di belakang namanya, tentu kita sudah bisa menduga bagaimana kapasitas intelektual dan keilmuannya. Saya sendiri mungkin tidak tahu banyak, tapi apa yang saya ketahui tentangnya selama dua semester mengajar saya, sudah cukup membuat saya terkagum-kagum dengannya.

Guru Besar yang juga mantan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini adalah lulusan master di dua kampus ternama, Universitas California Los Angeles dan Universitas McGill, Montreal Canada. Untuk gelar PhD-nya diselesaikan di McGill University. Beliau pernah mengajar di Universität Hamburg di Jerman untuk beberapa bulan dan beberapa kali berkunjung ke berbagai negara lainnya.

Salah satu yang saya dan teman-teman sekelas sukai darinya adalah ketika dalam berbagai kesempatan ia seringkali bercerita tentang pengalaman hidupnya di luar negeri. Tentang UK, USA, Germany, Netherlands, France, dan lain-lain. Rasanya kami sedang dibawa berkeliling dunia dan berkenalan dengan tokoh-tokoh ilmuwan dunia waktu itu. Pemikirannya yang jenius, kritis, dan nyentrik kerap kali membuat kedua alis kami menyambung dengan kepala terangguk-angguk. Tapi tidak jarang pula ia membuat sebuah lelucon atau parodi yang membuat kami tertawa.

Untuk seorang profesor atau guru besar, tentu merupakan hal yang biasa bila ia memiliki mobil atau kendaraan pribadi yang selalu ia gunakan setiap bepergian. Tapi profesor yang juga fasih bahasa Arab, Inggris, dan Prancis ini memang sangat berbeda. Ia lebih suka menggunakan angkutan umum. Naik angkot atau bis kota. Saya mengetahuinya karena saya juga pelanggan angkutan umum. Kalau kebetulan kami pulang bersama, saya selalu memperhatikannya, dan saya selalu tak habis pikir, bagaimana bisa seorang guru besar dengan gaji yang besar berdiri di bawah terik matahari antara jalan raya dan rel kereta api, menunggu datangnya angkutan umum yang akrab dengan bau, sesak, panas, dan lamban.

Baca Juga  10 Cara Terhindar dari Virus Corona

Keadaan ini bertolak belakang dengan mayoritas dosen yang terbiasa keluar masuk kampus dengan kendaraan pribadi atau mobil dinas. Lebih nyaman, sejuk, tidak bau, anti-debu, tidak perlu menunggu di pinggir jalan, dan tidak perlu berdesakan. Inilah kontradiksi yang saya lihat, dan ini pula yang menambah kekaguman saya terhadap guru besar bidang Sejarah Pemikiran Islam ini. Awalnya saya selalu bertanya-tanya, kenapa beliau memilih angkutan umum dan tidak naik mobil pribadi saja. Tapi akhirnya saya menemukan jawabannya sendiri. Jawaban yang sangat sederhana: karena dia memang sederhana! Ditambah lagi kalau melihat pakaian yang dipakainya. Ia sangat khas dengan kemeja polos lengan panjang tanpa jas. Sederhana tapi rapi. Kancing lengan kemeja tampak terpasang tepat posisi. Tidak berdasi, tanpa peci, dan berambut putih dengan potongan yang rapi.

Demikianlah salah satu sosok guru yang telah mengajarkan kepada saya tentang sebuah kesederhanaan yang memikat. Pribadi bersahaja selalu memiliki daya pikat tersendiri yang mampu menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam. Tanpa banyak cakap, tanpa banyak tingkah. Pribadi yang sederhana pasti rendah hati. Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Ini bukan sekadar pepatah, tapi pelajaran penting yang harus diaplikasikan.

Profesor yang saya ceritakan di atas adalah insan dengan kapasitas keilmuan yang luas dan tingkat intelektualitas yang tinggi, tapi penampilannya sederhana. Terlampau sederhana, namun memberikan dampak yang “tidak sederhana” karena begitu membekas dan turut membentuk karakter yang mengaguminya. “Isi kepalanya” luar biasa. Pemikirannya yang cemerlang dan gagasannya yang konstruktif menjadi stimulus dan inspirasi bagi kaum muda untuk menjadi pemikir Muslim yang dapat memberikan pencerahan bagi umat manusia.

Dari beliau saya banyak belajar. Bahwa sederhana bukan berarti tidak berharga. Bersahaja tidak berarti lemah. Justru selalu ada kekuatan besar di balik setiap tindakan kecil yang dilakukan oleh seorang muslim yang berilmu dan bersahaja. Rendah hati tidak akan membuat seseorang menjadi rendah diri. Kesederhanaan tidak akan menurunkan wibawa seseorang. Begitu pula keakraban dan keramahtamahan tidak akan membuat karisma berkurang. Keteladanan dan kepribadian yang baik akan selalu memancarkan cahaya kebaikannya kepada orang lain. Terlebih lagi keteladanan itu dimiliki oleh seorang yang cerdas-cendekia, namun juga bijak dan bersahaja. Lihatlah, pribadi seperti ini selalu mudah “menyihir” siapa pun. Tanpa “mantra”, bahkan tanpa kata-kata.

Baca Juga  Manusia, Mahluk yang Suka Tergesa-gesa Ketika Berdoa (Tafsir Surah Al-Isra: 11)

Terima kasih “Prof. Sederhana” yang “tidak sederhana”. [MZ]

Ach. Shodiqil Hafil Santri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura dan Dosen IAIN Kediri

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *