Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang

Hingga Ujung Nyawa (4): Kerinduan Seorang Ibu

2 min read

Shunt adalah selang khusus yang dipasang di dalam kepala untuk mengalirkan cairan otak ke bagian lain di tubuh, agar mudah terserap ke dalam aliran darah. Bagian tubuh yang dipilih untuk mengalirkan cairan otak adalah rongga perut. Operasi ini juga disebut dengan nama VP shunt.

Beberapa penderita hidrosefalus bisa memerlukan shunt untuk seumur hidupnya. Pemeriksaan rutin perlu dilakukan, guna memastikan shunt tetap bekerja dengan baik.

Aku bersyukur operasi berhasil. Meski ada selang dan botol cairan melekat erat di botak kepala. Setidaknya aku melihatnya masih bernapas. Ada harapan dia sembuh walau tidak total. Kutahu untuk penyakitnya pasti sulit sembuh seperti sedia kala.

Tak mengapa, kutekadkan merawat sepanjang usia. Girang memenuhi dada. Aku bahagia. Kesempatan hidup dengan belahan nyawa lebih lama terbuka. Apalagi yang lebih indah selain hidup dengan kekasih tercinta?

Wajah indah tersaji di hadapanku, kucium pelan pipinya, juga kepalanya yang botak. Sambil tersenyum kubisikkan kata yang selalu berulang setiap saat.

“Aku sayang kamu, mas.”

Matanya menatap sebentar, mengangguk, terpejam lama. Seolah meresapi betul rasa sayang yang kukatakan.

Kutahu dia juga merasakan hal yang sama. Tatapannya menghunjam menarik hasratku menciuminya lagi. Kulakukan dengan sangat lembut untuk itu.

Tangannya kugenggam, menguatkan, memberinya semangat agar terus bertahan, berjuang untuk kehidupan bersama sepulang dari rumah sakit.

“Kubuatkan closet duduk ya, biar kalau mau BAB tidak jongkok. Trus nanti kamar mandi ku beri bathup. Untuk mandi mas, supaya bisa selonjor kaki. Aku mudah memandikan mas.”

Persetujuan kudapatkan, dengan isyarat anggukan  Ada uang pencairan sebagai guru tersertifikasi. Itu akan kupakai mempermak kamar mandi. Agar mudah bagiku merawat suami.

Baca Juga  Jika Ada yang Mudah Kenapa Memilih yang Sulit, Begitu Kata Syekh Yusuf al-Qaradhawi

Maka segera kuhubungi sulungku. Mencari tukang, merenovasi kamar mandi seperti yang kurencanakan. Semangat betul sulungku mengawasi tukang. Pengerjaan terus dilakukan sambil menanti kami pulang.

Gemuruh suka di dada bertalu talu memenuhi rasa. Kondisi suamiku terus membaik. Diizinkan oleh petugas aku menyuapi dan menyeponi tubuhnya tiap pagi. Ini adalah kegembiraan luar biasa. Hingga kukabarkan pada sulungku bahwa bapaknya mungkin segera pulang.

Rupanya terus membaiknya suamiku ini disampaikan sulungku pada emak mertua, ibu dari suamiku yang merupakan anak tunggalnya. Tak bisa dicegah, emak ngotot minta pula segera datang ke rumah sakit.

Duh, ini tentu saja membuatku bingung. Emak sudah sepuh manalah tega aku membiarkannya tidur bersamaku di emperan lorong ruang Rumah Sakit. Ku cegah sebisa mungkin. Ku katakan anak semata wayangnya  makin baik, sebentar lagi bisa pulang.

Ngototnya tak bisa dicegah, sulungku menyampaikan hal ini. Akhirnya, kuturuti kehendak emak. Boncengan, menembus malam, sulungku membawa emak menuju rumah sakit lepas maghrib. Perkiraan satu jam akan sampai bila lancar.

Bukan perjalanannya yang kupikirkan, tapi masuk ke rumah sakit untuk menjenguk itu sulitnya minta ampun. Penjagaan berlapis, hanya mereka dengan kartu kunjungan yang bisa masuk. Itupun hanya melalui pagar utama. Yang jaraknya lumayan jauh dari tempatku menunggu.

Belum usai pikiran membayangkan bagaimana emak bisa datang. Notif gawai berbunyi.

“Ma, aku di tempat tunggu.” isi pesan dari sulungku

Kaget bercampur penasaran, tapi tak berani menjawab. Aku sedang bersama suamiku saat itu. Diberi kesempatan agak lama oleh petugas. Membacakan surat Al Mulk, pengantar dia tidur.

Ayat terakhir selesai sudah. Mencium tangannya, juga pipi. Lalu pamit dengan salam. Jawaban lirih darinya mengakhiri perjumpaan. Janji bertemu esok hari saat subuh menjadi pamungkas perjumpaan menutup malam.

Baca Juga  Air Mata Badar: Senandung Cinta dan Dilema ala Rasulullah

“Emak kok datang sih. Dingin mak tidur di sini.”

Langsung itu yang kuucapkan begitu sampai di ruang tunggu pasien.

“Tak mengapa. Daripada di rumah aku kepikiran terus. Kalau di sini kan aku bisa menemanimu, mengetahui kabar langsung.”

“Terus tadi kok bisa masuk bagaimana caranya?”

Sulungku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Bersambung…[AA]

Anis Hidayatie Penulis; Guru SMP Islam 1 Pujon, Malang