Nahdiyatul Ummah Mahasiswi PGMI STAI Al Fithrah Surabaya

Abu Hanifah versus Dahri: Jangan Panggil Aku Anak Kecil Paman

2 min read

Ada sebuah kisah menarik perihal Abu Hanifah yang dapat membungkam seorang yang sangat sombong akan ilmunya, namanya Dahri. Karena luar biasa pintar saat itu, seluruh ulama belum ada yang mampu mengalahkannya saat berdebat. Sangking sombongnya, sampai-sampai ia berani mengatakan bahwa Allah itu tidak ada.

Namun, pada suatu pagi para ulama berkumpul dalam halāqah milik Syekh Hammad (guru Abu Hanifah). Pada hari itu Abu Hanifah ikut hadir dalam halāqah tersebut, saat itu beliau berusia sekira tujuh tahun. Dahri pun tak ingin ketinggalan, ia juga ikut serta dan langsung naik ke mimbar dan berkata dengan sombongnya, “Siapa di antara kalian yang akan sanggup menjawab pertanyaanku?”.

Atas ucapan ia, suasana pun langsung hening sehingga para ulama yang hadir tak ada yang bersuara satu pun. Namun tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang sangat lantang bak prajurit yang menentang musuhnya ya siapa lagi kalau bukan si Abu Hanifah, beliau berdiri dan berkata, “Pertanyaan apa? Siapa pun yang mengetahui, pasti akan menjawab pertanyaanmu?”

Dahri yang tercengang melihat hal tersebut, kemudian berkata “Siapa kau wahai anak kecil, beraninya kau bicara denganku, ketahuilah kamu bahwa banyak yang bersorban dan berjubah putih, para pejabat, dan ada pula orang yang sudah berumur tua bungkam dan diam atas beberapa pertanyaanku, kamu masih yang bocah kecil dan ingusan berani-beraninya mau menantangku”.

“Allah tidak akan pernah menghadiakan dan mengangkat kemulian kepada orang-orang tersebut melainkan kemulian tersebut hanya akan dihadiakan kepada para ulama”, timpalnya dengan tegas.

“Hai bocah, sanggupkah kamu menjawab semua pertanyaan dariku?”, tanya si Dahri yang congkak itu.

“Ya, saya akan menjawab semua pertanyaan yang kau berikan dengan pertolongan Allah”, balas Abu Hanifah dengan menampakkan keberaniannya.

Baca Juga  Dakwah Islam adalah Akhlak, Bukan Teriak

“Oke, apakah Allah itu ada?” tanya Dahri.

“Ya, Allah ada?” Jawab Abu Hanifah.

“Jika Allah ada di manakah Dia berada?”, tanya Dahri.

Lalu Abu Hanifah menjawabnya “Tiada tempat bagi-Nya”

Dahri pun membantah “yang benar saja kau, bila memang Dia wujud tentunya Dia memiliki tempat di dunia ini?”

“Buktinya ada ditubuhmu?”, jawab Abu Hanifah.

“Maksudnya?” Balas Dahri dengan kebingungan.

“Apakah tubuhmu memiliki ruh?”, tanya Abu Hanifah.

“Iya”, jawab Dahri.

“Lantas dimana letak ruhmu? Apakah ada di kepala, apakah ada di perut, atau bahkan berada di kakimu?”, tanya Abu Hanifah.

Dahri pun diam seribu bahasa untuk pertama kalinya dengat raut muka kebingungan dihadapan abu hanifah, namun tidak berhenti sampai itu saja, beliau meminta segelas susu.

“Apakah susu ini mengandung lemak?”, kata beliau.

“Iya”, jawab Dahri.

“Di mana tempat lemaknya? Di atas atau di bawah?”

Dahri pun menampakkan kebingungannya untuk kedua kalinya. Abu Hanifah langsung menimpali “Sebagaimana kau mengetahui ruh yang tak dijumpai tempatnya di tubuhmu, sebagaimana susu yang tak kau ketahui tempat lemaknya. Pula dengan keberadaan Allah yang tidak diketahui tempat-Nya di alam semesta ini. Hanya Dialah Yang Mahamengetahui”.

Belum puas dengan pertanyaan pertama, Dahri pun melontarkan sebuah pertanyaan lain kepada Abu Hanifah, “Apa yang ada sebelum dan sesudah Allah?”

Abu Hanifah pun menjelaskannya bahwa “Tidak ada sesuatu apapun yang mengawali dan mengakhiri-Nya, karena Allah merupakan pemilik Dzat Yang Mahaawal dan Mahaakhir”.

“Hai bocah, lantas apa buktinya?”, tantang Dahri.

“Buktinya masih berada di tubuhmu”, timpal Abu Hanifah.

“Apa itu?”, tanya Dahri.

“Wahai Dahri, lihatlah telapak tanganmu, coba katakan! Apa sebelum ibu jarimu dan setelah jari kelingkingmu?”, tanya Abu Hanifah.

Baca Juga  Ingin Hati Damai, Amalkan Zikir Imam al-Shadiq

“Aku tak melihat suatu apapun sebelum ibu jari dan sesudah kelingkinku”, jawab Dahri.

“Wujudnya Allah juga demikian. Dia ada sebelum semuanya diciptakan dan Dia tetap ada jika semuanya telah dimusnahkan”, balas Abu Hanifah.

Untuk kedua kalinya Dahri tetap tak bisa menjawabnya dan merasa sangat kesal dan tertunduk malu atas semua jawaban yang diberikan Abu Hanifah. Namun dengan semua penjelasan Abu Hanifah, ia pun masih bersikeras untuk tidak takluk atas jawaban Abu Hanifah.

“Hai bocah tengil, satu pertanyaan lagi untukmu. Apakah yang sedang dan akan diperbuat Allah saat ini?”, tanya Dahri dengan muka kesal. Namun sebelum Abu Hanifah menanggapi pertanyaannya, beliau berkata, “Wahai Dahri, karena engkau yang dari tadi bertanya maka seharusnya kamu yang ada di bawah mimbar dan saya yang berada di atas mimbar”.

Mendengar ucapan Abu Hanifah, Dahri bergegas untuk turun dari atas mimbar dan selanjutnya Abu Hanifah naik ke atas mimbar dan menjawab pertanyaannya, “Ketahuilah bahwa perbuatan Allah saat ini adalah menggugurkan perkara yang bathil sepertimu, dan mengangkat perkara yang benar sepertiku”.

Dahri pun tak berkutik dan lagi-lagi diam seribu bahasa. Dari ketiga pertanyaan yang dilontarkan tak dapat lagi membungkam lawannya, justru ia yang takluk didepan seorang anak yang masih belia tersebut yakni Abu Hanifah. [MZ]

#Kisah ini dinukil dari salah satu karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Syafi’i dalam kitab Fath al-Majīd

Nahdiyatul Ummah Mahasiswi PGMI STAI Al Fithrah Surabaya