Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Air Mata Badar: Senandung Cinta dan Dilema ala Rasulullah

2 min read

Source: https://bit.ly/2ST1PRH

Seketika wajahnya muram. Hari-hari yang mestinya dirayakan, kini menyisakan kenangan yang teramat dalam. Tiba-tiba, bayangan kekasih hatinya hadir tanpa permisi. Seperti baru saja bunga berguguran di musim semi. Tampak pula desir pasir melukis wajah kekasih. Aneh, bagaimana bisa suka dan duka saling berpapasan di jalan yang sama.

Sudah bertahun-tahun tak berjumpa, meski hanya sekedar berkunjung, ke maqbarahnya. Ia tidak hanya terpisah ragawi, tapi juga oleh tanah kelahiran. Keinginan untuk bertemu terhalang oleh tembok keangkuhan pemuka Quraish yang tak lain sanak keluarga sendiri.

Kalung ini..?? hatinya berdetak kencang. Tangannya gemetar. Bibirnya kaku, terkunci oleh ingatan demi ingatan yang bergemuruh. Kaki-kakinya lemas, lunglai hampir tak berdaya. Sepertinya, kedua matanya tak kuat lagi menatap matahari. Sedikit malu bercampur pilu. Sungguh teramat pilu.

Ia hafal betul siapa pemilik kalung itu. Sebagaimana ia tak akan pernah lupa sosok pemberinya. Seribu satu kenangan hadir, tentang ketulusan, pengorbanan, cinta dan kasih sayang yang abadi. Juga tentang darah dan air mata yang mengendap, kekal di dasar lautan ikhlas. Hingga pena sejarah tak mampu menulisnya.

Khadijah, istri tercintanya. Iya, kalung tersebut adalah pemberian istrinya!

***

Di sisi lain, sebenarnya tidak ada sama sekali kesengajaan. Yang dilakukan perempuan ini murni hanya negoisasi. Sebagai syarat supaya suaminya dilepaskan. Perempuan mana yang tega membayangkan kekasih hatinya tertawan? Menjadi budak perang seperti mati dalam kehidupan. Detik demi detiknya terancam. Jangankan kebebasan, nyawa melayang sewaktu-waktu pun mungkin terjadi. Ia tidak membayangkan bagaimana kekejaman mendera kulit tulang suaminya.

Ketakutan yang berlebihan sebenarnya. Hampir tak wajar jika ia tertutup ingatannya atas sifat mulia majikan baru suaminya.  Tapi, bukankah ketidakwajaran dalam cinta adalah sah?

Baca Juga  Tadarus Litapdimas (18): Islam Moderat Dalam Konteks Multi-track Diplomacy

Zaenab nama perempuan itu. Ia tak lain merupakan salah satu buah hati nabi Muhammad bersama Khadijah. Waktu itu, ia telah dipinang dan menjadi istri resmi dari sepupu Khadijah, Abu al-Ash bin al-Rabi’. Hati suaminya belum sepenuhnya menerima cahaya hidayah hingga ia bergabung dalam barisan Abu Jahal. Bersama ketika penyerangan badar, bersama pula menerima kekalahan. Ia jauh lebih beruntung karena nyawanya terselamatkan dan seketika menjadi satu dari sekian tawanan badar saat itu. Tertawan! Dan kalung itu dikirim untuk jasa pembebasannya.

***

Peperangan memang tak pernah mudah. Terlebih oleh dan bagi mereka yang memiliki hati selembut Nabi. Bertahun-tahun ia dibenci, selama itu pula ia dimaki. Semakin banyak penderitaan, semakin luas pula samudera pemaafan. Rasa-rasanya, tidak mungkin peperangan dikehendakinya hanya karena wujud balas dendam. Tidak pula hanya karena didzalimi. Karena jika saja ia mau, mungkin warga Thaif hanya ada dalam buku sejarah. Iya, cinta kasihnya menolak tawaran malaikat meratakan tanah Thaif dengan Gunung. Empat tahun sebelum peristiwa badar terjadi.

Terlebih, yang dihadapinya bukanlah orang lain. Mayoritas mereka adalah sanak keluarga sendiri. Setidaknya tokoh-tokoh mereka. Muhammad, juga para sahabat yang hijrah ke Madinah sangat hafal nama-nama saudaranya. Jamak diketahui, keturunan Arab adalah rajanya dalam hal menghafal bapak nenek moyangnya. Sebuah bentuk cinta keluarga, juga cinta klan kabilah yang amat dalam. Sungguh tak bisa dibayangkan, harus melawan saudara sendiri dalam medan pertempuran.

Dilema.

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah: 216)

Baca Juga  Tingkatan Bersuci Menurut Imam Al-Ghazali

Di pihak lain, perdebatan sengit juga terjadi. Dengan mengerahkan seribu lebih bala tantara, unta terbaik serta pacuan kuda yang mentereng, rasanya mereka hendak melakukan pembantaian. Tak ada satupun yang terselip pikiran terburuk, kalah. Bagaimana tidak, lawannya hanya ratusan manusia, tiga ratusan dan tak lebih. Wajar, beberapa tokoh Quraish mencoba berkompromi atas ide dan siasat Abu Jahal. Sebagian mereka tak tega jika melihat sanak keluarga yang ikut Muhammad dicabik-cabik pedang klan sendiri. Merasa iba. Manusiawi!

Apakah ketakutan telah mengerutkan nyalimu hingga kau bertanya seperti itu?”

“Mari kita buktikan, kehormatan dan harga diri Mekkah ke penjuru alam!”

Hentakan dan sambaran Abu Jahal ini menutup cela perdebatan. Tepat pertengahan Ramadan mereka merengsek menuju Badar. Muhammad dan para sahabatnya adalah incarannya. 

Peristiwa itu tak terbendung. Tanggal 17 Ramadan tahun kedua setelah hijrah. Sebuah kemenangan besar umat Islam yang terpatri dalam catatan sejarah. Termaktub dalam susunan indah untaian kalam ilahi. Seperti keajaiban. Mereka bertempur, tapi bukan sesungguhnya mereka. Mereka membunuh, tapi sejatinya bukan merekalah pelakunya. Ada pertolongan dari Sang Maha Kuasa. Sang Maha Kasih, Ya Rahman Ya Rahim.

Umat kini mengerti, ada cinta dibalik peperangan. Peristiwa ini mengajarkan bagaimana arti cinta yang sesungguhnya. Mungkin saja hati menolak untuk berperang, melawan keluarga maupun klan yang dicintai. Tetapi, jika perintah itu datang dari Sang Maha Cinta, tak ada lagi pilihan. Cinta harus berbalas. Bukankah Cinta butuh pengorbanan? Peperangan adalah satu bagian dari cinta itu sendiri.

***

Kembalilah ke rumahmu. Bawalah serta kalung ini. Sampaikan salamku pada isterimu. Aku tak kuasa menerimanya.” Aku, seorang nabi sekaligus sosok bapak bagi isterimu.

Baca Juga  [Cerpen] Monolog Lukisan Rimba di Sebuah Ruang Kerja

Kalung ini semacam pengingat, bahwa perang tidak hanya mengalirkan darah, tetapi juga meneteskan air mata. Kemenangan dalam peperangan berselancar di atasnya. Kelak, akan kuceritakan tentang kemenangan yang tanpa melukai. Kemenangan tanpa darah, juga tak ada air mata. Fathu Makkah..!! (AA)

Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *