

Konsep takdir telah mengganggu pikiran manusia selama berabad-abad, dibahas dalam filsafat, agama, sastra, dan bahkan percakapan sehari-hari. Konsep ini menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa kehidupan, dari kebetulan terkecil hingga momen yang paling mengubah hidup, terungkap menurut pola yang telah ditentukan sebelumnya.
Namun, bagi banyak orang, gagasan tentang takdir bukanlah kenyamanan melainkan ketegangan, terutama ketika hidup terasa seperti serangkaian belokan yang salah, kesempatan yang terlewatkan, dan harapan yang tak terpenuhi.
Ketegangan ini menimbulkan pertanyaan yang sulit: jika memang ada yang namanya takdir, mengapa perjalanannya sering kali terasa begitu tidak selaras dengan aspirasi atau tujuan hidup seseorang?
Takdir, pada intinya, adalah sebuah paradoks. Dalam lensa teologis, takdir sering kali muncul sebagai kehendak kekuatan ilahi yang melampaui pemahaman manusia, sebuah naskah abadi yang ditulis sebelum napas pertama diambil.
Dalam pemikiran sekuler, takdir dapat dibingkai ulang sebagai kombinasi keadaan yang dibentuk oleh kebetulan, genetika, konteks sosial, dan pilihan pribadi. Meskipun begitu, terlepas dari kerangka berpikirnya, takdir ialah jangkar sekaligus misteri. Ia menawarkan gagasan tentang makna di tengah kekacauan, tetapi juga mengguncang keyakinan akan agensi manusia.
Perasaan “berada di jalan yang salah” sering kali lahir dari gesekan antara harapan dan kenyataan. Seseorang memupuk ekspektasi tertentu tentang bagaimana kehidupan seharusnya berjalan, seperti kesuksesan di usia tertentu, hubungan yang mengikuti perkembangan linear, karier yang tumbuh dengan mantap tanpa gangguan.
Nahasnya, ketika pengalaman hidup menyimpang dari narasi-narasi tersebut, rasanya seolah-olah jalan itu telah tersesat. Perasaan ini semakin dipompa di era yang didominasi oleh citra-citra pencapaian yang dipostingkan, di mana perbandingan sosial menjadi refleks yang hampir tak disadari. Dalam iklim seperti itu, jarak antara kehidupan nyata seseorang dan “jalan yang benar” yang dibayangkan terasa tak teratasi.
Namun, persepsi tentang kesalahan mungkin bukan berasal dari ketiadaan takdir, melainkan dari kesalahpahaman tentang hakikatnya. Banyak tradisi religius mengajarkan bahwa jalan yang “benar” belum tentu yang paling nyaman atau paling mudah ditebak.
Dalam kosmologi sufi, misalnya, jalan menuju Tuhan sering kali ditandai dengan kebingungan, kehilangan, dan hancurnya ilusi. Dalam pandangan ini, disorientasi bukanlah bukti telah menyimpang dari jalur, melainkan tahap vital dalam pematangan spiritual.
Demikian pula, dalam filsafat Buddhisme, apa yang tampak sebagai kemalangan bisa menjadi syarat mutlak untuk pencerahan, karena penderitaan memaksa pikiran untuk menghadapi ketidakkekalan dan keterikatan.
Dimensi lain yang perlu dipertimbangkan adalah peran pilihan manusia dalam kerangka takdir. Jika takdir diibaratkan seperti sungai, keputusan pribadi dapat diibaratkan seperti mengemudikan perahu mengikuti arusnya.
Peristiwa-peristiwa tertentu—kelahiran, kematian, pertemuan-pertemuan penting—mungkin merupakan titik-titik tetap, tetapi cara seseorang meresponsnya sungguh membentuk pengalaman perjalanan tersebut.
Dalam hal ini, “jalan yang salah” mungkin bukan tentang penyimpangan, melainkan lebih tentang jalan memutar yang mengungkapkan aspek-aspek diri yang tak terlihat. Apa yang terasa seperti kesalahan pada waktunya dapat menjadi sumber kebijaksanaan atau resiliensi.
Secara psikologis, keyakinan telah mengambil jalan yang salah juga dapat mencerminkan bias kognitif yang negatif. Ingatan cenderung lebih jelas menyoroti penyesalan, kesempatan yang terlewat, dan kegagalan daripada keberhasilan.
Bias negatif tersebut dapat mendistorsi gambaran kehidupan secara keseluruhan, menciptakan narasi kesalahan yang terus-menerus, bahkan di tengah pencapaian yang bermakna. Lebih lanjut, manusia sering kali menilai momen saat ini berdasarkan ekspektasi yang dibayangkan, alih-alih kompleksitas realitas yang dijalani. Ketika ekspektasi itu tak terjangkau—karena tak pernah benar-benar ada—setiap jalan akan terasa salah jika dibanding-bandingkan.
Pertanyaan tentang takdir juga beririsan dengan masalah waktu. Hanya dengan melihat ke belakang, bentuk kehidupan dapat dilihat dengan lebih jelas. Apa yang tampak sebagai kekacauan di masa kini mungkin nantinya akan mengungkapkan koherensi penuh makna yang mendasarinya, seiring pengalaman-pengalaman yang berbeda menyatu menjadi narasi yang tak mungkin direncanakan.
Karya-karya sastra penuh dengan pengungkapan semacam itu: sang protagonis menanggung kesulitan dan kesalahpahaman, hanya untuk menemukan—di babak terakhir—bahwa setiap alur cerita diperlukan untuk mencapai kebenaran yang lebih dalam. Kendati demikian, kehidupan tidak menjamin penyelesaian seperti itu dalam rentang hidup manusia, yang mungkin menjadi alasan mengapa perasaan salah arah tetap ada.
Pada akhirnya, gagasan bahwa seseorang “selalu berada di jalan yang salah” mungkin lebih berkaitan dengan persepsi daripada takdir. Jika takdir memang ada, mungkin takdir bukanlah sebuah rencana perjalanan yang pasti, melainkan sebuah ladang kemungkinan di mana setiap jalan—betapa pun berlikunya—mengandung pelajaran dan tujuan tersembunyinya sendiri.
Pengalaman akan kesalahan mungkin merupakan ajakan untuk mempertanyakan ekspektasi yang diglorifikasi, mendefinisikan ulang kesuksesan, dan memperdalam kapasitas untuk hidup dalam ketidakpastian. Ketidaknyamanan karena merasa tersesat bukannya tanpa nilai. Hal itu dapat menumbuhkan kerendahan hati, membuka hati terhadap empati, dan mematahkan ilusi kendali.
Dalam banyak tradisi spiritual dan filsafat, kualitas-kualitas semacam itu merupakan penanda keselarasan dengan tujuan yang lebih tinggi. Jalan itu, meskipun tampak samar atau menyakitkan, mungkin membawa sang pengelana tepat ke tempat yang seharusnya mereka tuju.
Kita dapat melihat bahwa takdir mungkin bukan tentang tiba di tujuan yang telah ditentukan, melainkan lebih tentang transformasi yang terjadi di sepanjang jalan. Jalan yang salah, jika dilihat dari sudut pandang lain, mungkin hanyalah satu-satunya jalan yang melaluinya perubahan jiwa yang diperlukan dapat berlangsung.
Jika itu benar, maka tugas seseorang bukanlah menemukan rute yang sempurna, melainkan menjalani dan menghayati rute yang ada saat ini dengan kesadaran, integritas, dan keterbukaan sebanyak mungkin, percaya bahwa bagaimanapun juga itu adalah jalan yang benar dan tepat yang mengantarkan dirinya pada titik-titik bermakna.
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com