Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Etos Welas Asih Nabi Muhammad

3 min read

Islam, salah satu agama besar dunia, sering dikaitkan dengan beragam perspektif, budaya, dan praktik. Tak dapat dielak bahwa media dan wacana populer terkadang fokus pada aspek negatif dari Islam, padahal sangat penting untuk mengetahui bahwa Islam sendiri baik secara historis maupun substantif memiliki tradisi perdamaian, kasih sayang, dan harmoni sosial yang mendalam.

Islam yang damai mewujudkan prinsip-prinsip inti dari keimanan itu sendiri, yakni secara komunal menekankan keadilan sosial, welas asih, dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup. Sudah saatnya kita mesti menyadari dan mengetahui aspek-aspek kedamaian yang secara intrinsik termuat dalam Islam, menyoroti ajaran-ajarannya yang mempromosikan persatuan, pemahaman, dan hidup berdampingan.

Islam dibangun di atas fondasi perdamaian. Kata “islam” (islām) sendiri berasal dari akar kata bahasa Arab “salām”, yang diterjemahkan menjadi “perdamaian”. Asal-usul etimologi kata Islam ini menggarisbawahi akar utama perdamaian yang dibawa Islam itu sendiri. Lebih lanjut, ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis menekankan pentingnya hidup harmonis dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Prinsip dasar ajaran Islam adalah kasih sayang dan welas asih. Al-Qur’an menggambarkan Nabi Muhammad, sebagai pembawa risalah Islam, sebagai “rahmat bagi semesta alam” (rahmatan lil-‘alamin). Hal ini disampaikan secara tersurat dalam Al-Qur’an, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya: 107).

Ayat tersebut menggarisbawahi peran Nabi sebagai teladan welas asih dan perdamaian, bahkan bukan hanya pada sesama manusia, melainkan lebih jauh dari itu, yakni ke segenap penjuru alam. Peran Nabi Muhammad sebagai teladan dalam hal “rahmat bagi semesta alam” ini mesti ditiru oleh umat muslim. Selain itu, Al-Qur’an sendiri juga meneguhkan keteladanan Nabi, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. al-Ahzab: 21).

Baca Juga  Indonesia di Mata Gus Dur (1)

Salah satu contoh tentang peran Nabi Muhammad sebagai pembawa kedamaian dan perdamaian adalah perlakuannya terhadap tawanan perang. Dalam hal ini, Nabi menunjukkan welas asih, pengampunan, dan komitmennya untuk menegakkan martabat manusia, bahkan di tengah terjadinya konflik.

Setelah memenangkan peperangan, Nabi Muhammad menghadapi keputusan kritis, yaitu bagaimana memperlakukan tawanan perang. Pendekatan yang beliau lakukan menunjukkan sifatnya yang penyayang dan komitmennya pada prinsip-prinsip yang tidak berbasis balas dendam. Kendati terdapat kegeraman dari pihak musuh kepada Nabi, Nabi memilih jalan rekonsiliasi dan kasih sayang.

Nabi Muhammad memerintahkan para tahanan untuk diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Beliau menekankan pentingnya memperlakukan mereka secara baik, dengan cara menyediakan makanan dan pakaian yang memadai.

Pendekatan belas kasih ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam konflik kesukuan saat itu. Apa yang dilakukan Nabi amatlah kontras dengan norma balas dendam dan kebrutalan yang berlaku saat itu. Para tawanan diperlakukan tidak selalu sebagai musuh, tetapi sebagai sesama manusia yang pantas mendapatkan kebaikan dan kasih sayang.

Nabi juga menggunakan metode penebusan bagi para tawanan. Mereka yang terpelajar dan bisa mengajar dibebaskan dengan syarat mereka mau mengajar anak-anak muslim di Madinah. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong pemahaman dan kerja sama antara kedua komunitas, bahkan setelah konflik.

Contoh ini mengilustrasikan bagaimana Nabi Muhammad mewujudkan prinsip-prinsip belas kasihan, pengampunan, dan rekonsiliasi yang diperjuangkan Islam. Tindakannya menekankan pentingnya memperlakukan semua individu dengan bermartabat, terlepas dari tindakan atau afiliasi mereka di masa lalu. Teladan ini tetap menjadi simbol penting dari perannya sebagai “rahmat bagi semesta”, yang mencerminkan cita-cita tertinggi ajaran Islam.

Umat Islam didorong untuk mewujudkan sifat Nabi sebagai teladan welas asih dalam kehidupan sehari-hari mereka, yakni memperluas cinta kasih dan welas asih mereka tidak hanya kepada sesama orang beriman belaka, apalagi hanya sesama muslim, melainkan malahan kepada semua makhluk atau bahkan kepada musuh sebagaimana yang dilakukan Nabi.

Baca Juga  Berdebat Elegan Ala Al-Ghazali

Etos welas asih tersebut tentunya kemudian menjadi prinsip mendasar yang dapat menciptakan suasana toleransi dan keakraban satu sama lain agar bisa hidup berdampingan secara damai kendati satu sama lain berbeda, entah dari segi etnis maupun agama.

Islam yang damai juga memperjuangkan penyebab keadilan sosial dan kesetaraan. Al-Qur’an menggarisbawahi pentingnya memperlakukan semua individu dengan adil dan hormat, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau ras mereka. Dalam pandangan Islam, semua manusia adalah setara di hadapan Allah. Sejarah Islam penuh dengan contoh para pemimpin yang memperjuangkan keadilan sosial, redistribusi kekayaan, dan mengangkat komunitas yang terpinggirkan.

Selain keadilan sosial, Islam juga mendorong dialog dan pemahaman sebagai sarana untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun jembatan bagi masyarakat yang plural. Al-Qur’an mendesak orang-orang beriman untuk terlibat dalam wacana yang saling menghormati dengan orang-orang yang berbeda agama: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah…” (QS: 3:64).

Ajakan untuk menemukan titik temu semacam itu tentu saja mendorong umat manusia hidup berdampingan secara damai tanpa pandang agama dan sehingga dapat berkontribusi untuk mengembangkan budaya saling menghormati. Dengan kata lain, upaya menggapai perdamaian dan resolusi konflik merupakan komponen integral dari Islam itu sendiri.

Ajaran Nabi Muhammad tentang resolusi konflik menekankan rekonsiliasi dan pengampunan. Umat Islam didorong untuk mencari solusi damai atas perselisihan dan menggunakan semua jalan dialog sebelum melakukan segala bentuk agresi atau represi. Praktik mencari keadilan tanpa balas dendam mencontohkan komitmen islami untuk penyelesaian konflik demi mencapai kedamaian dan keharmonisan.

Islam, yang didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, yang sejatinya memiliki spirit membawa perdamaian dan kedamaian, mengejawantahkan nilai-nilai yang mendorong persatuan, pemahaman, dan hidup berdampingan. Penekanan Islam ada pada nilai-nilai cinta kasih, empati, keadilan sosial, welas asih, dan kesetaraan martabat manusia.

Baca Juga  Refleksi 1 Tahun Pandemi (1)

Dengan berfokus pada aspek-aspek demikian, umat Islam di seluruh dunia mesti berkontribusi untuk membina masyarakat yang damai dan membangun jembatan antara beragam budaya dan agama sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad pada masanya.

Di masa ketika stereotipe dan miskonsepsi merajalela, memahami esensi Islam yang damai sangat penting untuk mempromosikan dunia yang berdiri di tanah keharmonisan, saling menghormati, dan kerja sama dalam perbedaan.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com