Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja

Berdebat Elegan Ala Al-Ghazali

2 min read

Setidaknya ada dua manfaat dari berdebat, yakni menguji kekuatan argumen yang kita percaya dan menemukan sebuah kebenaran-kebenaran baru yang mungkin belum kita pikirkan atau temukan. Sehingga memang kadang-kadang berdebat itu diperlukan bahkan penting diadakan.

Namun sebelumnya, konteks berdebat yang sedang kita bicarakan saat ini bukanlah berdebat yang asal menang-menangan atau umum kita kenal dengan debat kusir. Debat di sini adalah debat yang menggunakan kepala dingin, hati lapang dan tujuannya memang untuk menguji seberapa kuat argumen yang kita pegang.

Pada kenyataannya memang berdebat adalah salah satu cara yang sering digunakan ulama-ulama Islam dulu dalam menguji seberapa kuat argumen yang dipegang. Sebut saja seperti berdebatan yang dihelat oleh Al-Ghazali dengan para pengikut Syiah Ismailiyah yang tujuannya untuk menguji keabsahan argumen pengikut Syiah Ismailiyah dalam mencari kebenaran dari Imam yang mereka percaya.

Tak perlu jauh-jauh sampai ke ulama abad 11. Bahkan para pendiri Nahdhatul Ulama pun melakukan perdebatan. Kita mungkin pernah mendengar kisah masyhur, tatkala Kiai Bisri dan Kiai Wahab berdebat sengit dalam suatu persoalan. Namun apa yang terjadi ketika adzan tiba? Kedua tokoh besar ini kembali berkawan seperti biasa.

Sehingga memang dalam melakukan debat yang seperti ini, kita harus benar-benar menyiapkan diri pada kondisi kepala dingin dan hati yang lapang. Karena, memang tujuan utama dilakukannya perdebatan ini adalah menguji argumen, bukan ingin menang. Nah karena salah satu tujuannya adalah menguji argumen dan bukan ingin menang, salah satu syarat yang harus disiapkan oleh orang yang mau berdebat adalah luasnya pengetahuan.

Misalnya, kita melakukan debat dengan kaum materialis, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mempelajari dengan sungguh-sungguh apa itu materialis. Artinya, sebelum kita berbedat, kita harus bersengaja menceburkan diri pada alam pikir materialis.

Baca Juga  Demokrasi Islam: Antara Analisis Perilaku dan Pencarian Identitas

Al-Ghazali pun melakukan hal ini. Dalam mempersiapkan amunisi-amunisi perdebatan, beliau menghimpun semua informasi ajaran Syiah Ismailiyah. Beliau mengutus orang untuk mencari tahu apa sebenarnya pokok ajaran Syiah Ismailiyah. Bahkan, beliau tidak hanya mendengarkan semua argumen tentang Syiah Ismailiyah, tetapi beliau juga mensistematisir ajaran Syaih Ismailiyah yang barang kali tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Syiah Ismailiyah itu sendiri. Keren, ya.

Tanpa melakukan hal yang semacam ini, kita hanya akan memukul orang-orangan sawah. Dan ini lah hal yang sangat diwanti-wanti oleh Al-Ghazali. Beliau menuturkan dalam kitab Al-Munqidz Min al-Dlalal, bahwa dalam berdebat jangan sampai kita memukul “orang-orangan sawah.”

Apa itu orang-orangan sawah? Orang-orangan sawah adalah asumsi, pikiran atau pengandaian kita tentang orang yang kita ajak berdebat. Orang-orangan sawah adalah sebuah asumsi yang kita bangun sendiri atas suatu hal.
Kembali ke contoh tadi, saat kita ingin berdebat dengan orang meterialis, kita memikirkan orang materialis itu pasti begini, pasti begitu. Pasti berpendapat begini, berpendapat begitu. Pasti berperilaku seperti ini dan seperti itu.

Tapi sayangnya, itu semua hanya angan-angan kita karena kita tidak pernah berjumpa, membaca dan belajar tentang apa itu materialis. Sehingga dalam berdebat, kita bukannya “memukul” orang materialis yang sejati, tetapi malah memukul asumsi-asumsi kita sendiri.

Hal ini lah yang sejatinya ingin diingatkan oleh Al-Ghazali kepada kita. Saat kita ingin berdebat dengan suatu kelompok, kita harus mempersiapkan kepala yang dingin, hati yang lapang, pikiran yang jernih dan telah diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang akan dibicarakan.

Hanya dengan cara seperti ini, kita menjadi tau apa gagasan yang sebenarnya dibawa oleh orang yang ingin kita ajak berdebat. Kita juga bisa memilih dan memilah, bisa menentukan mana pandangannya yang bengkok dan perlu didebat dan mana yang memang tak memiliki masalah dan membuatnya tidak perlu didebat.

Baca Juga  Bahaya Memberikan Fatwa Tanpa Ilmu Pengetahuan

Dalam pola seperti ini, kita harus menyediakan diri untuk siap mengakui bahwa tidak semua pendapat orang yang kita “benci” itu pasti buruk dan harus ditolak. Bukankah orang yang cerdik adalah yang tahu bijih emas padahal kelihatannya hanya tumpukan tanah?

Dengan kita memilah-milah seperti itu, kita menjadi terhindar dari perdebatan yang kontra produktif. Kita terhindar dari situasi asal kontra atau asal mendebat. Karena berdebatan yang asal mendebat adalah perdebatan yang buang-buang waktu dan tentu tak bermanfaat.

Semisal memang ada sesuatu yang bisa diambil dari ajaran orang yang sedang kita debat dan ajaran itu tidak bertentangan dengan hukum universal menurut kita, kita tidak jadi capek untuk mendebat hal-hal yang tidak bermasalah seperti itu. Kita jadi fokus pada hal-hal yang memang perlu didebat. Dengan begini, kita juga menjadi tidak kehabisan banyak energi.

Setelah amunisi-aminisi disiapkan, selama berdebat kita kondisikan diri tetap tenang. Kita menyusun argumen-argumen yang logis dan tak terpatahkan. Selain itu, kita juga tetap harus menyiapkan diri untuk hadir utuh dan sadar penuh bahwa kita sedang menguji argumen.

Sehingga, setelah pulang dari perdebatan, kita tidak lantas terus-terusan memusuhi musuh debat kita. Seperti yang telah dicontohkan Kiai Bisri dan Kiai Wahab, selepas berdebat ya bersahabat lagi. Ini memang sulit dilakukan, namun indah ya kalau bisa dilakukan. Wallahu a’lam (AA)

Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *