Islam sering disalahpahami dan ditafsirkan secara kurang tepat oleh masyarakat sosial kita akhir-akhir ini. Salah satu kesalahpahaman dan misinterpretasi yang paling sering terjadi adalah bahwa Islam mendorong perpecahan di antara umat manusia.
Padahal, jika ajaran Islam dicermati dengan saksama dan komprehensif, terungkap bahwa Islam tidak pernah mengajarkan perpecahan, melainkan justru menekankan persatuan, kesetaraan, dan persaudaraan di antara semua individu, tanpa memandang ras, etnis, ataupun status sosial.
Kita tahu bahwa jantung agama Islam adalah ajaran tauhid, yakni penekanan atas keesaan Tuhan. Islam mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan, yang merupakan Pencipta dan Pemelihara seluruh alam semesta.
Keyakinan terhadap keesaan Tuhan ini menjadi landasan persatuan di kalangan umat Islam. Ditegaskannya bahwa seluruh umat manusia adalah sama atau setara di hadapan Allah, dan tidak ada ruang bagi perpecahan berdasarkan ras, suku, atau status sosial merupakan konsep kunci yang mesti terus dipraktikkan dalam kehidupan bersosial.
Al-Qur’an berulang kali menekankan keyakinan mendasar ini, seperti terlihat dalam surah al-Ikhlas [112]: 1-4: “Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa; Allah tempat meminta segala sesuatu; tidak beranak dan tidak pula diperanakkan; dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.’” Pernyataan tegas tentang keesaan Tuhan ini memperkuat gagasan bahwa seluruh umat manusia mempunyai Pencipta yang sama, yang meneguhkan persatuan dan kesetaraan.
Nabi Muhammad mencontohkan ihwal ini melalui tindakan dan ajarannya. Selain itu, dalam khotbah terakhirnya pada tahun 632 M di Gunung Arafat, Nabi menyatakan, “Seluruh umat manusia berasal dari Adam dan Hawa. Orang Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang non-Arab, dan orang non-Arab juga tidak mempunyai keunggulan atas orang Arab… Tidak seorang pun mempunyai keutamaan atas orang lain kecuali dengan ketakwaan dan amal saleh.”
Pesan mendalam tersebut menyoroti universalitas Islam dan komitmennya untuk menghapuskan perpecahan atas nama etnis, ras, atau kebangsaan. Prinsip ini menetapkan bahwa semua umat manusia adalah setara dan satu-satunya faktor yang membedakan adalah perbuatan seseorang dan ketakwaannya. Selain itu, Islam sangat menekankan keadilan sosial dan kesetaraan. Al-Qur’an memuat banyak ayat yang menyerukan perlakuan adil terhadap semua individu, tanpa memandang latar belakang mereka.
Salah satu ayat tersebut terdapat dalam surah al-Hujurat [49]: 13 yang menyatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat tersebut menggarisbawahi gagasan bahwa keberagaman di antara manusia adalah tanda kebesaran Tuhan dan harus menjadi sumber pengetahuan dan peradaban, bukan malah perpecahan. Lebih lanjut, ayat tersebut menekankan bahwa ketakwaan dan akhlaklah yang menjadi tolok ukur utama kemuliaan seseorang di hadapan Allah, terlepas dari suku atau latar belakang sosialnya.
Dalam Islam, konsep “umat” (ummah) mengacu pada komunitas muslim global yang melampaui batas-batas nasional, etnis, dan budaya. Konsep ini menitikberatkan persatuan dan tanggung jawab kolektif umat Islam dari seluruh dunia. Contoh sederhananya, ketika musibah menimpa salah satu bangsa atau etnis, umat Islam dianjurkan untuk bergotong royong membantu saudara-saudari mereka yang membutuhkan, terlepas dari lokasi geografis dan kebangsaan mereka.
Rasa memiliki atas komunitas global yang lebih besar menumbuhkan ikatan yang kuat di antara umat Islam dan mencegah perpecahan yang dilatarbelakangi kebangsaan atau etnis. Hal ini menandaskan pandangan bahwa umat Islam adalah bagian dari satu keluarga yang harus berdiri bersama di saat-saat sulit dan diserukan untuk mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan bersama.
Lebih jauh, Islam secara aktif mendorong dialog dan kerja sama antarpelbagai agama dan komunitas yang berbeda. Al-Qur’an mengakui eksistensi agama lain dan menyerukan keterlibatan umat Islam dengan penuh hormat kepada mereka yang memiliki iman yang berbeda. Surah al-Kafirun [109]:1-6 adalah contoh sederhana yang nyata tentang hal ini, yang sari poinnya, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”
Ayat tersebut menyoroti pentingnya menghormati keyakinan dan praktik orang lain dan menyerukan hidup berdampingan secara damai. Al-Qur’an tidak memaksa non-muslim untuk menjadi muslim apalagi mengajarkan perpecahan, melainkan malah mendorong dialog sebagai sarana untuk memahami dan membangun jembatan antarumat beragama.
Sumirnya, alih-alih mengajarkan dan membiarkan perpecahan, Islam merupakan agama yang—dengan semangat humanismenya—menekankan persatuan, kesetaraan, dan persaudaraan dari seluruh individu. Sari pati ajarannya pada pengesaan Tuhan, persaudaraan umat manusia, keadilan sosial, dan konsep umat menunjukkan pesan universalnya perihal persatuan dan inklusivitas.
Meskipun kesalahpahaman dan mispersepsi tentang Islam mungkin masih ada, penting untuk menyadari bahwa inti ajaran Islam mendorong keharmonisan dan kerja sama di antara setiap individu dari berbagai latar belakang. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif, di mana individu-individu dari berbagai latar belakang berkumpul dan berjumpa dalam semangat persatuan dan persaudaraan.