Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Komodifikasi Agama: Menavigasi Tantangan Komodifikasi Islam

2 min read

Komodifikasi agama, khususnya Islam, menimbulkan tantangan besar dan permasalahan etika yang memerlukan pertimbangan dan refleksi yang cermat. Islam, sebagai jalan hidup yang komprehensif, memiliki makna spiritual, moral, dan sosial yang mendalam bagi hampir tiga miliar pengikutnya di seluruh dunia.

Namun, komersialisasi dan komodifikasi keyakinan, praktik, dan simbol Islam berpotensi melemahkan atau mereduksi esensi dan kesucian keyakinan tersebut. Komodifikasi Islam bisa terwujud dalam berbagai bentuk, bisa dikatakan mulai dari penjualan komersial artefak keagamaan hingga pemasaran pengalaman spiritual dan komersialisasi situs-situs islami.

Meluasnya ketersediaan barang-barang islami yang diproduksi secara massal, termasuk sajadah, pakaian, dan ornamen, terkadang menyebabkan berkurangnya simbol-simbol suci menjadi barang konsumsi belaka. Aspek komersial ini dapat menutupi makna spiritual dari barang-barang tersebut bagi umat beriman, menjadi komoditas belaka yang tidak memiliki makna spiritual yang lebih dalam.

Lebih lanjut, maraknya aspek hiburan islami, termasuk film, musik, dan barang dagangan bertema Islam, secara tidak sengaja dapat berkontribusi pada komodifikasi agama. Meskipun medium dan barang tersebut dapat berfungsi sebagai alat pendidikan atau sarana ekspresi budaya, terdapat risiko penyederhanaan atau distorsi yang berlebihan terhadap pesan-pesan mendalam dan prinsip-prinsip etika Islam demi keuntungan komersial.

Komersialisasi ibadah haji, misalnya, memunculkan kekhawatiran mengenai aksesibilitas, keterjangkauan, dan pertimbangan etika. Lantaran meningkatnya permintaan terhadap layanan haji dan umrah, terjadilah peningkatan komersialisasi paket, akomodasi, dan layanan ibadah haji, yang sering kali dengan harga melambung fantastis.

Aspek komersialisasi tersebut dapat mengurangi fokus spiritual dari ibadah haji dan juga jelas-jelas menciptakan kesenjangan, sehingga menyulitkan sebagian besar umat Islam yang tidak begitu mampu untuk memenuhi kewajiban agama yang mendasar ini.

Selain itu, komodifikasi ulama, khotib, dan pemimpin Islam menjadi figur di media atau influencer dapat menyebabkan distorsi terhadap ajaran agama. Ketika bimbingan keagamaan dipasarkan untuk mendapatkan daya tarik massal atau keuntungan finansial, hal tersebut berisiko melemahkan autentisitas dan kedalaman pesan spiritual, sehingga berpotensi membahayakan integritas ajaran Islam.

Baca Juga  Mengenal Kiai Misbah Mustofa, Penulis Kitab Tafsir al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil

Menjamurnya keuangan Islam dan pemasaran produk keuangan syariah juga menimbulkan kekhawatiran mengenai implikasi etis mengambil keuntungan dari prinsip-prinsip agama. Meskipun ia bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip etika dan keadilan Islam, aspek komodifikasi terkadang memprioritaskan keuntungan finansial dibandingkan tujuan etika dan sosial yang ingin dijunjung oleh sistem keuangan tersebut.

Lebih-lebih, komersialisasi Ramadan, bulan paling suci bagi umat Islam, juga perlu menjadi perhatian. Meskipun dunia usaha dan pengiklan mungkin memanfaatkan peningkatan aktivitas penjualan selama bulan ini, tak dapat dielak hal itu dapat mengaburkan fokus yang diharapkan dalam hal refleksi spiritual, konsistensi amal, dan komitmen komunal.

Bagaimanapun, komersialisasi yang berlebihan dapat menginjeksikan pemahaman yang dangkal tentang kesakralan Ramadan dan kemudian mengalihkan perhatian umat Islam dari esensi spiritual di dalamnya.

Mengatasi tantangan komodifikasi Islam memerlukan upaya bersama dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemuka agama, ulama, masyarakat, dan terutama para konsumennya. Amatlah krusial untuk meningkatkan kesadaran di kalangan umat Islam tentang kesucian dan signifikansi ajaran dan praktik Islam, dengan menekankan pentingnya menjaga integritas spiritual mereka di tengah pengaruh komersialisasi yang tanpa henti.

Dalam hal ini program pendidikan dan kesadaran keagamaan dapat memainkan peran kunci dalam menanamkan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai Islam, mendorong pemikiran kritis, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam membedakan antara ajaran agama yang autentik dan komodifikasi.

Ulama dan pemimpin muslim mempunyai tanggung jawab penting dalam menegakkan integritas ajaran agama dan membimbing umat Islam keluar dari perangkap komodifikasi dan komersialisasi. Mereka dapat merumuskan serta menganjurkan dimensi etika konsumerisme dalam kerangka Islam, mendesak umat Islam untuk memprioritaskan pengayaan spiritual, perilaku etis, dan keadilan sosial jauh di atas perburuan materialistis.

Baca Juga  Digiseksual: Fenomena Seksual Era Modern yang Dilarang dalam Al-Qur’an

Lebih jauh, praktik bisnis etis yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial harus dipromosikan di pasar. Hal ini terutama untuk memastikan bahwa produk dan layanan yang dipasarkan kepada umat Islam menghormati kesucian simbol dan nilai-nilai agama tanpa mereduksinya menjadi sekadar barang komoditas demi meraup keuntungan personal.

Tak dapat dipungkiri, komodifikasi Islam menghadirkan tantangan beragam yang memerlukan pendekatan cermat dalam menyikapinya. Melestarikan esensi ajaran Islam nyatanya memerlukan upaya kolektif untuk meningkatkan pemahaman yang lebih dalam dan tepat tentang spiritualitas, perilaku etis, dan keadilan sosial sambil tetap waspada terhadap komersialisasi yang dapat melemahkan pesan-pesan Islam yang mendalam.

Mencapai keseimbangan antara menyebarkan ajaran Islam dan menjunjung tinggi keautentikannya sangat penting dalam memastikan bahwa agama tetap menjadi sumber bimbingan, kasih sayang, dan persatuan, bukan malah disulap menjadi sekadar produk komoditas demi mengeruk keuntungan pribadi.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com