Ketika berbicara moderasi beragama, kita tidak bisa menutup mata dari dunia kampus. Lingkungan akademik yang satu ini menjadi ladang basah sekaligus penjara bagi konsep moderasi beragama. Di sini, kita akan melihat moderasi beragama dikampanyekan serius di semua lini. Seperti coloteh teman-teman di warung kopi, apa pun masalahnya, moderasi agama obatnya. Begitu kira-kira.
Kementerian Agama Republik Indonesia menetapkan tahun 2019 sebagai “Tahun Moderasi Beragama”. Term moderasi menjadi semacam karet gelang, cukup lentur dan ditarik ke mana-mana.
Begitu pun di dunia kampus. Hampir setiap seminar dan diskusi bicaranya tidak jauh-jauh dari hal itu. Kemenag hadir dengan senjata moderasi, dan Kemendikbud menggunakan perisai literasi. Dua-duanya memiliki kesamaan, yaitu berhenti di gagasan.
Saya memiliki pengalaman baik, setidaknya dari sudut pandang sebagai mahasiswa universitas Islam di Yogyakarta.
Pada tahun 2019, ketika duduk di bangku semester satu, dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, Duta Damai Yogyakarta Bersama Komunitas Lintas Iman dan Pemuda Gereja mengadakan kegiatan bertajuk “Spirit of Love in Diversity” (SOLID) yang bertujuan mengajak dan mengenalkan anak-anak muda tentang keberagaman lintas iman.
Kegiatan itu seperti berkunjung dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain, di antaranya Pesantren Waria Al-Fatah, Gereja Kalasan Marganingsih, Masjid Mataram Kotagede, Klenteng Poncowinatan, dan terakhir Gereja Merpati di Magelang.
Pada momentum itulah saya lebih membuka cakrawala berpikir saya. Yogyakarta sudah membentuk cara pandang saya tentang moderasi beragama. Fondasi keberagamaan semacam ini belum pernah saya dapat sebelumnya, terutama masa SMA di pesantren.
Jangan tanya perihal moderasi beragama dan toleransi, lantaran saya anak muda paling konservatif pada waktu berkegiatan di salah satu organisasi anak muda di kampung. Tentu saya tidak akan banyak menyinggung tentang model keberagamaan di kampung, tetapi lebih pada bagaimana pola keberagamaan terbangun dan terus tumbuh seiring dengan proses bertemu dengan teman-teman di luar golongan keagamaan.
Jika boleh, saya akan menyeret teman kelas di Sosiologi Agama, seorang anak muda fundamentalis, karena sedikit-sedikit melabeli teman sendiri dengan term liberal, kafir, dan kadang-kadang menjustifikasi seseorang dari nilai-nilai islami.
Saya tidak akan menyalahkan teman yang bersikap seperti itu. Setidaknya, dia bisa berargurmentasi tentang statement-nya. Akan tetapi, lagi-lagi beberapa teman di kelas menutup mata tentang dialog dan kerukunan umat beragama. Mereka lupa bahwa kampusnya memiliki tokoh Mukti Ali yang menggagas model kerukunan antarumat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional.
Dialog antaragama sudah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Gusdur, Mukti Ali, Cak Nur, Romo Mangun, dan yang lainnya. Mukti Ali sendiri mengembangkan Perbandingan Agama sebagai salah satu kajian di UIN Sunan Kalijaga. Tentu usaha ini memberikan dampak signifikan terhadap berkembangnya wacana dan gagasan dialog dan kerukunan antarumat beragama.
Lebih jauh, saya kira sikap terburu-buru menilai seseorang akan jatuh pada lubang kesalahpahaman, saling curiga, dan akhirnya mengklaim paling benar dan menyalahkan tanpa melihat konteksnya. Di sini, saya mengingat betul apa yang disampaikan Ibu Elga, Interfidei/DIAN tempo hari, bahwa kita perlu adanya perjumpaan untuk merekatkan hubungan antarumat beragama.
Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam lini kehidupan kita. Keberagaman dalam konteks beragama di Indonesia adalah bagian dari sunnatullah. Program moderasi beragama adalah program yang sudah dimulai sejak tahun 2016 oleh Kemenag RI di bawah kepemimpinan Lukman Hakim Saifuddin.
Apalagi di kalangan kampus, sudah seharusnya moderasi beragama bukan sekadar wacana dan berhenti di tataran gagasan di ruang kelas, melainkan lebih membumi, hadir dalam konteks kekinian untuk merespons relasi antarumat beragama.
Sejauh ini, tak jarang kita temukan pemahaman di masyarakat yang keliru mengenai nilai-nilai moderasi beragama. Ada semacam anggapan bahwa orang yang moderat sama persis dengan orang liberal. Bahkan kadang-kadang dibenturkan dengan mereka yang kokoh dan teguh berpegang pada ajaran agamanya. Hal ini tentu sangat disayangkan.
Moderat dalam beragama adalah mereka yang percaya dengan esensi ajaran agama yang dipeluk, menjunjung tinggi prinsip-prinsip adil dan berimbang, dan berbagi kebenaran dalam konteks tafsir agama saja.
Secara etimologis, kata “moderasi” berasal dari bahasa Latin moderatio, yang artinya ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Dalam KBBI, kata “moderasi” memiliki arti pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Artinya, moderasi itu jalan tengah, tidak berat sebelah. Lagi-lagi, moderasi hanya akan menjadi pigura dan proyek yang belum rampung bila tokoh agama dan juga akademisi masih menganggap bahwa moderasi beragama adalah solusi semua persoalan di negeri ini.
Sekali lagi, kita sibuk pada bagian jargon-jargon, dan lupa bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang belum selesai dengan persoalan definisi dan konsep moderasi beragama itu sendiri. Untuk itu, dan mungkin ini cukup terburu-buru, menurut saya, moderasi beragama masih sebuah bayang-bayang yang kabur apabila tidak menyasar semua kalangan. [AR]